Blog

Takhrij al-Hadis, Hal-Ihwal Mutu Hadis

Takhrij Hadits
Artikel Mahasantri

Takhrij al-Hadis, Hal-Ihwal Mutu Hadis

Oleh: Muh. Sutan*

 “Ada kepelikan mengenai makna Hadis dan Sunnah menurut para penulis modern, tetapi dua hal yang mesti diungkapkan. Pertama, Nabi Saw. selalu membedakan ucapannya sendiri dengan ayat al-Quran. Kedua, putusan dan arahan Nabi Saw. bersifat ad hoc.” – Fazlur Rahman

Dinamika Awal

Mari, kita awali semua perilaku dan pikir kita dengan sholawat kepada Nabi Saw. sebagai tanda cinta dan takdzim kepada beliau. Di samping itu, sampai sekarang darah kasihnya masih bisa kita rasakan dalam-dalam. Terbaca kisaran awal tahun Hijriyah sampai beliau wafat pada tahun 11 H/632 M, Nabi Saw. memang mempunyai value dan ketrampilan lebih, dalam mengolah serta membentuk milieu normatif –monoteisme dan perangkatnya– yang beliau capai secara swadaya. Dalam bahasa sehari-hari, bisa dikatakan beliau hebat dalam mengemban tugas dari Allah, sebagai penyampai risalah Islam.

Sumber keislaman (naql) masih terkontrol baik dan tanpa kritikan, pewartaan wahyu (Al Quran) dan warisan preseden Nabi Saw. (Sunnah) masih ‘terjaga’ dengan baik meski dalam bentuk informal dan belum dikodifikasikan. Seperti yang kita pahami, Al Quran dalam teks yang diterima umum, baru ada di masa khalifah ketiga, Utsman bin Affan. Sedangkan Sunnah/Hadis sempat menerima pergolakan cukup lama setelah Nabi Saw. wafat dan mulai mapan pada pertengahan abad ke-3 H/9M. Semua rincian isinya telah rampung, dan hampir tidak ada lagi penolakan. Karya masyhur milik Imam Bukhari dan kitab hadis yang lain, menandakan kemapanan itu.

Di samping semua hal di atas, ada yang perlu kita cermati. Jauh sebelum pembakuan sanad, seperti kitab-kitab hadis yang ada sekarang Shahih Bukhari dan semisalnya. Tahapan awal, sikap sejumlah ulama generasi tabi’in lebih memfokuskan pada esensi isi yang dikandung oleh matan (isi) hadis. Karena kepentingan yang mendasarinya adalah membangun pemikiran praktis. Pemberdayaan hadis lebih ditekankan pada substansi (dirayah) dan untuk sementara waktu, aspek eksistensi hadis terkait dengan validitas (kesahihan) dan otentisitas riwayatnya tidak dijadikan acuan utama.

Melihat yang terjadi sekarang, seperti banyak perselisihan pendapat mengenai hadis yang dijadikan acuan utama hujjah dan hadis yang bermasalah. Kalau boleh menelisik, hal itu terjadi karena ada sejumlah ulama yang kadar wawasan ilmu hadis riwayatnya tidak begitu unggul. Maka terjadi praktik penggunaan hadis yang tidak selektif dari segi mutu kehujjahan. Himpunan hadis yang dikoleksi oleh ulama dengan kadar profesionalitas kehadisan rendah, cenderung mengejar kuantitas dan mengabaikan kualitas. Maka indikasinya adalah terjadi pembauran antara hadis nabawi dengan atsar sahabiy hingga tabi’in, kisah israiliyat dan petuah para hukama.

Maka seiring dengan tuntutan sikap beragama yang kritis, dialogis dan kompetitif di masa sekarang, maka solusi “kaji ulang” atau takhrij menjadi sulit dihindarkan. Takhrij al-Hadits secara metodologis merupakan langkah awal dari tahqiq (meneliti) yang memeranaktifkan naqd (kritik) sanad dan matan hadis.

Kaji Ulang

Kritik hadis bukanlah hal baru yang muncul di dunia keislaman, tetapi embrio ini sudah ada sejak zaman Rasul Saw masih hidup. Motif kritik pemberitaan hadis bercorak konfirmasi dan klarifikasi. Melalui teknik investigasi dilokasi kejadian, bertemu langsung dengan subjek narasumber berita (Rasul) serta melibatkan peran aktif pribadi Rasul dalam memutuskan permasalahan soal pemberitaan (hadis) yang belum jelas.

Konfigurasi kritik pemberitaan terarah pada esensi matan hadis, kiranya cukup menjadi bukti sejarah betapa di masa hidup Rasul Saw. telah berlangsung tradisi kritik hadis yang paling intens dan kadar validitasnya terjamin objektif. Dan tradisi itu mendapat dukungan dari Rasul Saw.

Pada periode sahabat, proses transfer informasi hadis di kalangan sesama sahabat Rasul Saw. cukup berbekal kewaspadaan terhadap kadar akurasi pemberitaan. Mulai dari metode  muqaranah antar riwayat sampai metode mu’aradhah yang berupa pencocokan konsep yang menjadi muatan pokok setiap matan (isi) hadis, agar terpelihara keselarasan antar konsep dengan hadis lain dan dalil syari’at dari al-Quran.

Begitu pun berlanjut pada kalangan muhadditsin generasi tabi’in, perkembangan metode kritik hadis bergerak mengikuti spesialisasi keilmuan dan kecenderungan kritikusnya. Seperti ulama hadis yang menekuni keahlian bahasa maka ia akan memperbandingkan bahasa, mencermati uslub teks matan. Ulama hadis yang menaruh perhatian pada sektor istinbath terhadap kandungan hukum, hikmah, dan nilai keteladanan hadis, mengarahkan penelitiannya pada nisbah ungkapan dari narasumber hadis (Rasul). Dan sebagainya.

Al-Khatib (Ahmad bin Ali) al-Baghdadi (w. 463 H) dari kalangan ulama hadis yang mengawali perhatian mengembangkan takhrij. Secara gamblang, gambaran umum mengenai metode takhrij hadis ada tiga tahapan. Pertama, naql, yakni penelusuran tentang penukilan hadis dari sejumlah kitab hadis (masadir al-ashliyyah). Kedua, tashih, berupa tindak lanjut dari tahap awal. Dengan mencermati dan analisa kesahihan hadits melalui rawi, sanad, dan matan, berdasar kaidah naqd ala ilmu hadis. Semisal mengacu pada kitab bertema jarh wa ta’dil hadis, hal ar-rijal, dan sebagainya. Ketiga, I’tibar, tahapan akhir berupa penilaian akhir. Tergolong hadis apa, bagaimana kualitasnya, apakah bisa diamalkan, menilai sabab wurud, analisa problem dalam hadis tersebut, dan penilaian yang lainnya.

Dalam Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid karya Muhammad Ahmad al-Tahhan, kegiatan takhrij hadis menghasilkan, pertama kitab koleksi hadis yang menjadi sumber penukilan lengkap sanad, utamanya nama sahabat/perawi hadis. Kedua, struktur ungkapan matan yang mencerminkan format qawli, taqriri, sifati, khalqi. Ketiga, nisbah matan hadis pada maqam nubuwah. Keempat, informasi tentang peringkat nilai kehujjahan hadis sekira diperlukan. Kelima, tema atau judul bab, sebagai payung hadis dan sekaligus mendeskripsikan persepsi mukharij (kolektor) terhadap isi esensi kandungan matan hadis.

Dinamika kaji ulang hadis juga merambah ke sektor kitab-kitab keilmuan syariah non-hadis, seperti al-Muhaddhab karya Abu Ishaq al-Shayrazi (w. 476 H) dalam disiplin fikih di-takhrij oleh Muhammad bin Musa al-Hazimi (w. 584 H) yang termaktub dalam kitab an-Naskh wa Mansukh fi al-Hadis pada bab ketiga. Juga kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya tasawuf Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), semua kutipan hadis dikaji ulang oleh Zainuddin al-Iraqi (w. 806 H) dengan judul “al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi al-Asfar”.

Urgensi ke Depan

Perkembangan keilmuan syariah di masa sekarang, semakin kuat untuk menerapkan pendekatan perbandingan dengan mendialekkan persepsi, pemahaman, pemikiran, dan kreasi ijtihad produk ulama masa lalu, serta menghadapkan antarmadzhab/aliran/pandangan perseorangan maupun institusi. Dan melalui tataran kaji banding ini, dalil naqli  yang berupa hadis disikapi dengan kritik guna mengukur kadar kehujahannya.

Penilaian individual ulama hadis tentang status kehujjahan hadis tidak selamanya sama, maka pengkajian ulang terhadap validitas dan originalitas hadis akan membawa kritik total (naqd dakhil/matan, naqd kharij/sanad), tidak sesederhana takhrij data keberadaan hadis semata (sahih, hasan, atau dhoif).

Maka di balik harapan tersebut, kalangan elite ulama masih dibayangi keragu-raguan terhadap beberapa hal. Seperti, bukankah kaji ulang selaku argumen (hujjah) akan berdampak langsung pada pemahaman keagamaan yang telah mapan, yang telah mengakar di tengah masyarakat. Setarakah level ‘kita’ sebagai subjek pengkaji ulang dengan figure pengarang kitab yang berbekal tanggung jawab ilmiahnya menempatkan hadis tersebut. Dan apa kriteria yang menjadi standar kelayakan bagi seseorang untuk terjun ke sektor kaji ulang mutu kehujjahan hadis.

Tulisan ini hanyalah sebagai kata pengantar dari keluasan dan kedalaman hal-ihwal soal hadis. Mengenai metode takhrij dan seluk-beluk rincian soal hadis akan lebih baik dijawab oleh para sarjana dan pengkaji hadis masa kini. Kurang-lebih, selamat dan mari kita belajar dan terus belajar.


*Mahasantri angkatan 2015

Tulisan ini dimuat dalam MAHA Media edisi 35

Leave your thought here

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *