Takhrij Kontekstual: Jawaban Untuk Hadis Shahih yang Bermasalah
Takhrij Kontekstual: Jawaban Untuk Hadis Shahih yang Bermasalah
Penulis: Ahmad Fikri
Hadis adalah penjelas dari al-Quran, demikian menurut Yusuf Al-Qaradhawi. Hadis juga merupakan aktualisasi dari ajaran yang ada di dalam al-Quran melalui Nabi Muhammad SAW dan kehidupan yang dihadapinya kala itu. Maka, otoritas hadis sebagai sumber ajaran agama Islam mutlak untuk diikuti.
Salah satu cabang keilmuan hadis yang berperan besar dalam proses menentukan autentik atau tidaknya suatu riwayat adalah takhrij hadis. Menurut Mahmud al-Thahan takhrij hadis ialah mengemukakan letak asal hadis pada sumber aslinya dari beberapa kitab, lalu menunjukkan sanadnya secara lengkap berikut menyebutkan kualitas hadisnya. Definisi tersebut hingga hari ini menjadi pegangan mayoritas pengkaji hadis.
Dalam Islam, sanad memiliki posisi yang sangat vital. Ibnu al-Mubarak mengatakan bahwa,
Tanpa sanad, seseorang bisa mengatakan tentang apa saja sesuai yang ia kehendaki
Ibnu Mubarak
Artinya, ajaran agama bisa saja dimanipulasi sesuai kepentingan pihak tertentu dalam menggapai tujuan subjektifnya. Mengingat bahwa awal mula periwayatan hadis terjadi dengan periwayatan lisan, maka penetapan sanad sebagai unsur penting dalam tradisi periwayatan hadis merupakan langkah untuk mencegah kesalahan atau kebohongan yang mengatas namakan Nabi.
Seperti berita, hadis disebarkan atau diriwayatkan oleh orang tertentu kemudian diterima oleh orang tertentu dan selanjutnya seperti itu hingga akhir. Dr. Idri mengatakan bahwa kebenaran berita sangat bergantung pada kebenaran pembawa berita. Demikian pula dengan hadis, otoritatif atau tidaknya suatu hadis bergantung pada periwayat yang tercatat dalam rangkaian sanadnya. Selain itu, sanad bisa memberikan bukti periwayatan secara historis. Maka, matan hadis yang tidak memiliki sanad sangat besar kemungkinannya bahwa ia bukanlah hadis yang bisa disandarkan pada Rasulullah SAW.
Sebagai alat analisis, di sinilah ilmu takhrij hadis bekerja. Ia digunakan untuk mengetahui letak asal hadis pada sumber aslinya dari beberapa kitab, lalu mengetahui sanadnya secara lengkap berikut kualitas hadisnya.
Selain sanad, matan hadis yang merupakan materi dari hadis itu sendiri juga tidak luput dari sorotan pengkaji hadis. Sebabnya, matan hadis yang memuat ajaran, tuntunan, dan nilai-nilai Islam ternyata (tampak) tidak luput juga dari permasalahan. Apa lagi hadis tidak hanya berbicara soal Islam sebagai agama dan ajarannya. Ada kalanya ia bicara tentang sains, kesehatan, sosial kemasyarakatan, sejarah, dan sebagainya. Berangkat dari situ, tidak menutup kemungkinan ditemukan hadis musykil meskipun dalam riwayat-riwayat shahih. Ridha Humaydah mendefinisikan Hadis musykil sebagai hadis yang bertentangan dengan dalil lain seperti al-Qur’an, hadis, ijma’, akal, dan realitas yang ditangkap oleh panca indera.
Faiqotul Mala mengutip dari Abror (2011) menyebutkan tiga latar belakang kemusykilan dalam hadis. Pertama, terjadinya periwayatan hadis secara makna. Kedua, kesamaran ungkapan bahasa sebuah hadis. Ketiga, rentang waktu yang cukup lama antara zaman Nabi dan masa sebuah hadis dipahami.
Tiga sebab yang disebutkan di atas hingga hari ini masih mempengaruhi cara baca kita terhadap hadis-hadis Nabi SAW. Sehingga, kemusykilan hadis bisa saja terus terjadi hingga kapan pun. Dan butuh metode-metode tertentu untuk menyelesaikannya.
Faiqotul Mala menawarkan metode yang bisa diaplikasikan untuk dijadikan jalan keluar dari permasalahan di atas. Ia menawarkan “Takhrij Kontekstual” sebagai solusi dari persoalan tersebut. Takhrij kontekstual, merupakan sebuah perpaduan antara takhrij konvensional dengan kontekstualisasi fiqh al-hadis untuk menemukan pemahaman hadis yang aktual dan faktual. Beberapa realitas yang menjadi pendorong adanya usaha kontekstualisasi ini adalah; a) jumlah muslim yang semakin pesat penyebarannya di berbagai wilayah, b) letak geografis yang berbeda dan berpengaruh pada waktu, cuaca, beserta lainnya, c) berakhirnya masa Khilafah Islamiyyah yang mengharuskan umat muslim mengikuti aturan negara tempat tinggalnya masing-masing, dan d) arus modernisme yang mempengaruhi berbagai sektor kehidupan.
Sebagai pencetus metode ini, Faiqotul Mala mengaku bahwa pada era sebelumnya telah banyak ulama menawarkan metode-metode tertentu dalam memahami hadis musykil. Akan tetapi, metode mereka masih berupa kajian yang terpisah antara takhrij dan fiqh al-hadis. Oleh karena itu, dirinya mencoba untuk menjadikan kajian sanad dan matan sebagai satu bentuk metode yang bisa digunakan dalam usaha menyelesaikan persoalan hadis musykil.
Metode ini disusun untuk menjaga otoritas hadis shahih yang matannya tampak bermasalah-yang seandainya ditelaah secara mendalam maka hadis dimaksud sebenarnya tidak bermasalah. Dalam takhrij kontekstual, hal pertama yang harus dilakukan adalah analisis sanad. Yaitu, memastikan ulang kualitas sanad hadis yang hendak diteliti. Apabila ternyata kualitas sanadnya dha’if atau maudhu’, maka penelitian dihentikan. Akan tetapi, jika kualitas sanadnya shahih, maka kajian dilanjut. Sebab, di situlah masalah yang harus diselesaikan. Yaitu, sulit dipahami atau sulit diterimanya suatu hadis padahal kualitas sanadnya shahih.
Setelah dipastikan sanadnya, langkah kedua adalah analisis matan. Dilakukannya analisis matan dengan harapan untuk mengetahui permasalahan yang ada di matan, seperti adanya ‘illat dan syadz. Selain itu, dalam tradisi periwayatan hadis juga dikenal yang namanya riwayat dengan makna. Tindakan periwayatan seperti ini menyebabkan banyaknya perbedaan teks meskipun berbicara tentang satu topik yang sama. Dengan keragaman redaksi matan tersebut, satu sama lain bisa saling melengkapi sehingga kita bisa mendapatkan pemahaman yang lebih luas. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa juga ada fenomena dengan beragamnya redaksi matan hadis dengan satu topik yang sama justru saling mendistorsi. Dalam kasus yang kedua itulah kemudian musykil hadis tidak bisa dihindari.
Analisis matan yang ditawarkan oleh Faiqotul Mala merupakan studi muqaranah. Yaitu, mebandingkan matan hadis dengan matan hadis lain yang semakna, atau juga membandingkan pandangan para ulama dalam syarh-syarh hadis.
Langkah terakhir, adalah reinterpretasi hadis dengan menggunakan berbagai macam pendekatan untuk mendapatkan pemahaman hadis yang kontekstual. Ada banyak pendekatan yang ditawarkan oleh Faiqotul Mala di antaranya historis, sosiologis, antropologis, bahasa, psikologis, kultural, dan ilmu pengetahuan. Namun, bagi saya pendekatan yang tersebutkan dalam tawaran itu sifatnya tidak tetap dan bisa saja berubah sesuai kebutuhan untuk memahami hadis sebagaimana ia ucapkan sendiri bahwa pengertian hadis kontekstual selalu bisa ditafsir ulang sesuai konteks ruang dan waktu yang selalu berubah.
Metode takhrij kontekstual memiliki keunggulan dibandingkan dengan metode takhrij konvensional pada umumnya. Ini karena selain menganalisis sanad dan matan, peneliti juga memberikan reinterpretasi pemahaman dengan menggunakan beberapa pendekatan, seperti pendekatan historis, sosiologis, antropologis, bahasa, psikologis, kultural, dan ilmu pengetahuan. Dengan beragam pendekatan tersebut, diharapkan hadis dapat lebih dipahami sesuai dengan konteks permasalahannya. Sehingga, walaupun hadis telah dinilai shahih dari sisi sanad, namun jika maknanya terlihat musykil atau bertentangan dengan logika, dapat dipahami sesuai dengan maksud asli dari hadis tersebut.
Penulis merupakan Mahasantri angkatan ats-Tsurayya dan Penerima beasiswa BCB Cendikia Baznas