(Tidak) Ada Nasionalisme?
(Tidak) Ada Nasionalisme?
Oleh : Muh. Sutan*
Rekaman jejak
Hari kita cerah, angin lembut dan suasana damai serentak menyejukkan badan dan pikir. Ini keramahan yang ditawarkan bangsa Indonesia selepas beberapa tahun silam cukup mencekam. Lantas, syukur menjadi hal yang penting untuk mengiringi perjalanan kita menuju ‘kebenaran’ sikap hidup. Kaum pribumi, memang sudah melewati corak kultural yang menakjubkan dari masa lampau, berawal konteks kerajaan menuju lima butir suci dalam Pancasila. Lalu, mengapa nasionalisme disebut melatarbelakangi semua itu?
Abdurrahman Wahid menyebut gagasan negara bangsa ini berasal dari pahit getir pengalaman sejarah Nusantara sendiri. Pada satu sisi, sejarah panjang Nusantara pernah melahirkan dan mengalami peradaban-peradaban besar. Seperti peradaban Hindu, Budha, dan Islam selama masa kerajaan Sriwijaya, Mataram Kuno, Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, Aceh, Makasar, Goa, Mataram Islam, dan lain-lain. Hal itu telah memperkuat kesadaran tentang signifikansi pestarian kekayaan dan keragaman budaya serta tradisi bangsa.
Sementara pada sisi yang lain, dialog terus-menerus antara Islam -sebagai seperangkat ajaran agama- dengan nasionalisme yang berakar kuat dalam pengalaman bangsa Indonesia, telah menegaskan kesadaran bahwa negara bangsa yang mengakui dan melindungi beragam keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia merupakan pilihan yang tepat bagi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sikap berbangsa dan bernegara ini disadur dari prinsip Mpu Tantular, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”. Prinsip ini telah mengilhami penguasa Nusantara dari jaman Hindu-Budha hingga dewasa ini. Begitupun ajaran dan gerakan Sunan Kalijaga –yang terkenal akomodatif terhadap tradisi lokal- mendidik para penguasa pribumi tentang Islam yang damai dan toleran, serta keteladanan yang lain. Manusia pribumi lahir dari kultur semacam ini, ketentraman sudah menjadi darah dan nafas yang dihirup sejak dini. Tapi siklus toleransi ini tidak berlangsung lama, dalam arti beberapa dasawarsa ini kadar rasialisme mulai muncul dan berbelok jalan dengan sikap majemuk bangsa.
Wajah Islam Rasul
Islam bisa dibilang turut berperan membangun pengalaman sejarah Nusantara, meski hanya berkisaran beberapa abad yang lalu. Ajaran Islam memberikan tengara sebagai konsumsi terlengkap bagi nilai kehidupan. Rasulullah SAW dalam penyampaian ajaran dan penerapan nilai, membebaskan manusia tanpa “pengotakan” dan “pelabelan”. Beliau juga sudah berupaya menyelaraskan dan menjadi teladan terbaik dalam menghadapi ranah sosio-kultural yang beragam, bahkan berseberangan faham.
Islam mempunyai perangkat nilai bernama egaliterianisme yang langsung diatur oleh Tuhan. Aturan bukan bermakna pemenjaraan atas manusia, tetapi bentuk kasih sayang. Kalau Tuhan membolehkan makan-minum, Dia juga membatasi ‘jangan berlebihan’. Batasan tidak berlebihan ini mengandung ilmu kesehatan dan ajaran moral.
Penting memperhatikan Rasulullah SAW sebagai manusia. Kalau boleh membaca dengan tafsir bebas dan logika, proses dari Muhammad-manusia menuju Muhammad-nabi memang Beliau tempuh dengan cara yang sama persis seperti manusia pada umumnya. Beliau berjuang untuk jujur, tekun, bersih, dan kerja keras, sehingga dijuluki Al-Amin. Terlibat secara langsung dalam kehidupan sosial: kontemplatif, bertanya, mempertanyakan, serta mengembangkan wawasan-wawasan tentang persoalan masyarakat sekitarnya.
Sampai masuk usia 40 tahun, wawasan Beliau belum sempurna sehingga Tuhan berkata iqra’, bacalah. Membaca apa? Al-Quran belum ada, hanya ada beberapa ayat pertama. Jadi bacalah problem sekitarmu. Dari sini timbul pemurnian nilai, hasilnya bukan ini ‘Arab’ atau ‘Non-Arab’ tetapi itu jahiliyah ini Islam, itu kebodohan ini ilmu, itu penindasan ini perlawanan untuk keadilan, dan sebagainya.
Semua pengetahuan alternatif ini tidak datang “gratisan” dari Tuhan, melainkan Beliau “dibeli” dengan laku yang panjang dan sakit. Berawal dari pengasingan diri di Goa Hira, Muhammad bersujud beratus kali lebih lama dari manusia lain, berpuasa lebih lapar, belajar tanpa buku, dan otodidak. Itu semua bukan untuk cita-cita kearaban, tetapi kemanusiaan dalam ke-iIlahi-an. Tidak untuk obsesi Arab Über alles (Jerman, baca: di atas segala-galanya) tapi universalisme.
Komitmen kebangsaan Rasulullah SAW tidak dibatasi ras dan geografis, bahkan meluas ke berbagai aspek kehidupan. Rasulullah SAW tidak mendirikan negara Arab atau negara Islam yang memaksakan setiap warganya untuk beragama Islam. Melainkan Beliau menyebarkan keselamatan dan memperjuangkan kemanusiaan, dengan tetap memelihara hak setiap manusia dalam laa ikraha fii al-diin.
Selepas zaman Rasulullah SAW, implementasi dari ajaran Islam harus dipertimbangkan atau disaring dengan baik. Karena otoritas wilayah penerapan ajaran bersinggungan erat dengan interpretasi dari para penafsir. Jadi, ukuran dan kadar konsumsi ajaran dari para penafsir ini tidak boleh sembarangan. Sikap solutif dalam masalah tersebut adalah memandang keberagaman ini sebagai pengetahuan dan pilihan, take-positivly tanpa lupa untuk mengindahkan nilai norma universalisme.
Arab Modern
Kita bisa langsung me-review kembali ucapan Rasulullah SAW selepas perang Badar. “Kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar”, sekejap para sahabat dibuat heran dan bertanya-tanya apa maksud dari perkataan Rasulullah itu. “Perang melawan hawa nafsu”, ucap Rasulullah melanjutkan perkataannya. Melawan musuh di dalam selimut memang dibutuhkan ketegasan, ketegaran, dan keseimbangan emosional.
Hawa nafsu adalah suatu kekuatan yang menyimpan potensi destruktif dan membuat jiwa selalu resah, gelisah, dan tidak pernah tenang. Siapapun yang telah menjinakkan hawa nafsu, dia akan tenang dan mampu menggunakan hawa nafsunya untuk melakukan aktifitas atau mencapai tujuan luhur. Sebaliknya, siapapun yang masih dikuasai hawa nafsu, dia membahayakan dirinya dan orang lain.
Dari perspektif ini ada dua kategori manusia. Pertama, orang-orang yang sudah mampu menjinakkan hawa nafsu sehingga bisa memberi manfaat kepada siapapun (al-nafs al-muthmainnah). Kedua, mereka yang masih dikuasai hawa nafsu sehingga selalu menjadi biang keresahan dan masalah bagi siapapun (al-nafs al-lawwamah). Kedua kelompok ini hadir dalam berbagai tingkat realitas dan interaksi sosial dengan intensitas yang beragam.
Di Indonesia modern, kita menyaksikan kehadiran jiwa-jiwa yang tenang ini. Antara lain dalam proses kelahiran dan tumbuhnya kesadaran kebangsaan kita, khususnya dialog antara Islam dan nasionalisme Indonesia. Sedangkan jiwa yang dikuasai oleh hawa nafsu diwakili oleh kelompok “tak-ramah” era sekarang, yang bertujuan memperdaya masyarakat dengan meneriakkan simbol-simbol keagamaan demi memuaskan agenda hawa nafsu mereka. Dan disinyalir aktivitas mereka mengancam keberadaan dan eksistensi Pancasila.
Kemunculan pengikut paham Ibn Abdul Wahab yang dikenal sebagai kelompok Wahabi menjadi fenomena yang mencuri perhatian khalayak muslim di dunia. Muncul di jazirah Arab pada abad ke-18, Muhammad ibn Sa’ud juga ikut andil dalam perkembangan golongan ini. Sebagai politikus cerdas, Ibn Sa’ud melihat peluang politik yang besar dengan kehadiran Ibn Abdul Wahab, yang nantinya melahirkan Kerajaan Saudi-Wahabi Modern.
Pemandangan timpang yang bisa kita lihat dari gelagat Wahabi adalah sikap kurang ramah terhadapa tradisi. Menimbang juga dari literalisme Ibn Abdul Wahab secara kasatmata terasa kaku. Semisal hanya meninjau pembacaan harfiah atas sumber-sumber ajaran Islam. Hal ini membuat teks-teks suci menjadi corpus tertutup terhadap cara baca selain pembacaan mereka: menolak rasionalisme, tradisi, dan khazanah intelektual Islam yang sangat kaya. Teks-teks suci tak lagi komunikatif dengan konteks penganutnya.
Dari perspektif Ibn Abdul Wahab, tujuan literalisme semacam ini mungkin untuk menghindari kompleksitas pemahaman, praktik hukum, teologi, dan tasawuf umat Islam sejak berakhir masa rasul. Tapi, literalisme tertutup yang dicanangkan Ibn Abdul Wahab ini akan membatasi makna sebuah teks dari makna-makna lain yang berkemungkinan sama benarnya. Ini merupakan reduksi dan distorsi terhadap pesan teks itu sendiri. Berbeda jika dibandingkan dengan literalisme terbuka yang berusaha mencari makna teks secara luas dan terbuka, tapi tetap berpegangan pada makna harfiah teks tanpa terikat secara kaku.
Efek yang ditimbulkan dari literalisme tertutup ini adalah melahirkan klaim-klaim kebenaran sepihak (one-sided truth claims), menolak dan menyalahkan apapun atau siapapun yang berbeda. Penolakan terhadap perbedaan merupakan dampak langsung literalisme tertutup ini. Setiap konklusi dari metode yang kurang sehat (literalisme tertutup) akan menyebabkan aksi-aksi kurang sehat pula. Seperti aksi kekerasan dengan mengatasnamakan agama, menghancurkan peninggalan-peninggalan sejarah, membakar buku-buku yang tak sejalan dengan paham mereka, dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Terminologi nasionalisme dan bela negara berkumandang lagi baru-baru ini, sebagai paham yang menolak keras aksi kurang ramah minoritas muslim di sebagian tempat. Kita tidak tahu betul apa yang mendasari mereka melakukan aksi tersebut. Tapi efek yang ditimbulkan jelas terlihat, seperti kecenderungan politik praktis, kekuasaan ekonomi, mengotakkan kelompok sosial, dan sebagainya.
Nasionalisme sesungguhnya suatu formula yang mengandung sedikit rasialisme, atau sekurang-kurangnya merupakan legal-excuse (pembolehan) terhadap hakikat rasialisme. Jika dihubungkan dengan konteks bangsa Indonesia, maka konsekuensi paling logis adalah nasionalisme disini berarti menjaga rumah kita sendiri. Rumah besar yang berisi ras, suku, agama, budaya, dan kultur masyarakat yang sangat beragam.
Tetapi dewasa ini, kasus intoleran nyatanya masih bergejolak di Indonesia. Perilaku kaku dalam beragama menjadi fenomena baru bagi kaum muslim abad ini. Seperti kasus gerakan Padri di Minangkabau, dengan kronologi perkenalan Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif dengan Wahabi saat menunaikan ibadah haji pada awal abad ke-19. Sepulang dari sana, Haji Miskin dan dua temannya berusaha melakukan gerakan pemurnian sebagaimana yang dilakukan oleh Wahabi.
Mereka menvonis tarekat Syattariyah yang hadir di Minangkabau beberapa abad sebelumnya sebagai kesesatan yang tidak bisa ditoleransi karena banyak takhayul, bid’ah, dan khurafat yang harus diluruskan. Tuanku Nan Receh, misalnya, memusuhi Tuanku Nan Tuo, gurunya sendiri karena memilih bersikap moderat dalam mengajarkan Islam. Tuanku Nan Receh juga mengkafirkan Fakir Saghir, sahabat seperguruannya, dan menyebutnya sebagai raja kafir dan rahib tua. Kita bisa menerka bahwa mereka sudah merasa cukup mengerti dan memahami dalam belajar agama. Padahal khazanah keilmuan dalam Islam sangat luas, tidak berhenti pada pemaknaan yang kaku dan menimbulkan intoleran seperti itu.
Dulu ada kecenderungan zaman Orde Baru untuk menyeragamkan segala hal. Bukan hanya pakaian yang seragam, sampai-sampai menanam padi dan mengecat pagar rumah sendiri juga harus seragam. Bahkan masjid pun diseragamkan semua, dengan alasan harmonis. Karena terlalu lama diseragamkan, masyarakat menjadi mudah kaget ketika terjadi perbedaan. Disebut dalam al-Quran, keberagaman merupakan keniscayaan dari Tuhan. Jadi, sikap terbaik adalah menerima perbedaan itu, tanpa mengambil sikap negatif kepada yang lain.
Nilai santri sejati seperti yang dimiliki oleh Hadratussyaikh KH. M. Haysim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, dan KH. Abdurrahman Wahid adalah sebagian dari figur ulama karismatik yang memiliki kecintaan besar kepada bangsa Indonesia. Cinta yang melekat pada keislaman yang baik, tanpa memantik api perpecahan. Aliran darah Rasulullah SAW juga turut andil membimbing bangsa ini menuju kemerdekaan, yang diwakili oleh nilai santri sejati yang mereka miliki.
Hal yang harus diprioritaskan adalah mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar. Kepercayaan kita milik kita, kepercayaan dia milik dia. Ambillah sudut pandang dia untuk memperkaya sudut pandang kita, dan juga semoga sebaliknya. Kita mengambil jalan masing-masing. Karena nomer satu yang Tuhan beri adalah kedaulatan hidup di dunia ini. Semoga kita bisa terus belajar dan terus belajar.
*Mahasantri angkatan 2015
Tulisan ini dimuat dalam MAHA Media edisi 34