7 Pesan Penting Ning Khilma Anis untuk Merawat Eksistensi Literasi Pesantren
7 Pesan Penting Ning Khilma Anis untuk Merawat Eksistensi Literasi Pesantren
Dalam rangka memperingati hari santri Nasional ke-77, Pondok Pesantren Tebuireng menggelar serangkaian acara untuk memeriahkan HSN. Salah satunya adalah seminar nasional literasi digital bertema “Transformasi Digital di Era 5.0”, dengan menghadirkan penulis handal sebagai narasumber pagi ini diantaranya Ning Khilma Anis. Bertempat di aula lantai 3 Gedung Yusuf Hasyim, Minggu (23/10/2022).
Ning Khilma Anis, salah satu penulis novel best seller, di antara karya novelnya yang sangat populer dan menyentuh hati pembaca yaitu novel dengan judul “Hati Suhita”. Ia mengatakan jika kita sebagai santri atau generasi milenial sudah sepantasnya melek digital.
“Kita harus sadar bahwa medan dakwah kita di zaman sekarang sudah bergeser pada media sosial, maka santri harus punya figur penting dalam hal ini,” tegasnya.
Pada kesempatan kali ini, Ning Khilma Anis membagikan 7 pesan penting untuk merawat keeksistensian literasi di dunia pesantren. Pertama, karena pergeseran cara dakwah di era digital ini, maka santri tidak cukup berdakwah dengan bil lisan dan bil hal saja, namun santri era digital juga perlu berdakwah dengan bil qolam (tulisan) yang di sebar luaskan melalui platform-platform media sosial.
Kedua, seorang santri harus menulis. Dalam istilah Jawa dikatakan ojo mati tanpo aran (jangan mati tanpa meninggalkan karya). Selanjutnya, santri harus menjadi sumur sinobo, yaitu sumur di padang sahara yang dihampiri para musafir. Artinya seorang santri harus mempunyai banyak ilmu pengetahuan dan menjadi tempat bertanya, tidak hanya diam saja. Seperti halnya sumur yang terus mengeluarkan air dan airnya dapat bermanfaat untuk seluruh makhluk.
Ketiga, dalam menulis seseorang harus mempunyai idola sebagai panutan, contoh, dan teladan. Hal ini akan menuntunnya dalam survive di dunia literasi, agar kita mempunyai arahan dalam mengikuti sesuatu termasuk dalam berkarya. Selanjutnya, santri harus berani keluar dari zona nyaman. Santri harus bisa berinovasi dan menciptakan hal-hal baru, sebisa mungkin hasil karyanya dapat diterima dan dinikmati oleh berbagai kalangan, tidak hanya pada lingkungan pesantren saja.
Keempat, seorang santri harus klungsu-klungsu menawa udhu. Maksudnya, meskipun dengan hal kecil, akan menjadi lebih baik. Jadi, seorang santri lebih baik berkarya, meskipun karyanya berupa hal kecil atau sederhana, dari pada tenggelam dalam angan-angan yang banyak. Terakhir, tetap cintai budaya, tradisi, dan sejarah sebagai nutrisi literasi.
Di penghujung kata, novelis muda ini juga berpesan kepada seluruh peserta seminar yang kebanyakan adalah santri untuk tidak menafikan keberkahan. “Jangan pernah melupakan sebuah keberkahan. Karena hidup yang penuh berkah adalah cita-cita setiap santri. Maka sertakanlah tawasul kepada gurumu dalam setiap kebaikan yang kamu lakukan. Karena dengan tawasul hasilnya akan berbeda,” tandasnya.
Kontributor : Yusni Ar.
Editor : Syofiatul Hasanah.