Gerakan Gus Dur dalam Merawat Multikulturalisme dan Moderasi
Gerakan Gus Dur dalam Merawat Multikulturalisme dan Moderasi
Dalam seminar pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diadakan oleh IKAPETE pada hari rabu kemarin, 21 desember 2022. Dr. Kiai Ngatawi Al-Zastrow, S.Ag., M.Si. (Asisten Gusdur (1998-2009), akrab dipanggil kang Sastro sekaligus menjadi narasumber pertama dengan tema “Perjuangan Gus Dur dan Masa Depan Moderasi Beragama”, mengawali kalimat dengan pertanyaan “kenapa Gus Dur kok bisa seperti itu? Apa akar-akar pikiran Gur Dur yang mendasari tindakan, gagasan dan pemikiran beliau?
Pertanyaan ini disampaikan di gedung Yusuf Hasyim, sebelum masuk ke pembahasan mengenai pemikiran Gus Dur beliau menyinggung arti multikulturalisme serta menjelaskan secara singkat, inti dari multikulturalisme adalah keberagaman baik dari segi tradisi, etnik, pemikiran yang ada di suatu masyarakat yang hidup bersama-sama dalam suatu lingkup kebersamaan di suatu wilayah. Di barat sendiri sumber dari multikulturalisme adalah filsafat humanisme-liberal, perangkatnya adalah filsafat modern barat untuk menjelaskan multikulturalisme.
Menurut kang Sastro sumber dari konsep multikulturalisme yang dibayangkan Gus Dur ada tiga (3), diantaranya pertama, pemikiran barat. Kedua, pemikiran-pemikiran keislaman yang dipresentasikan oleh ulama-ulama klasik sampai kontemporer dan selanjutnya yakni akar tradisi nusantara yang awalnya memang sudah beragam.
Hampir seluruh kontruksi pemikiran Gus Dur pada tiga unsur diatas termasuk metodologinya. Gus Dur sangat memahami bagamana para walisongo mengkontruksi kebudayaan, sehingga pada saat islam masuk ke nusantara memiliki wajah yang berbeda. Jadi sangat aneh jika ada orang yang mengatakan bahwa Gus Dur liberal. Ketika Gus Dur menjelaskan multikulturalisme, rujukannya adalah (Q.S Al-Hujurat:13), untuk penjelasan rasionalitas dalam memberikan tafsir, gus dur menggunakan teori-teori barat sebagai pendekatan juga ushul fiqh dan tasawuf. Namun disamping mempelajari teori-teori barat, Gus Dur juga mempelajari pemikiran wali sanga, akhlak, pemikiran dan perbuatan wali sanga. Ini akan menjadi sumber referensi yang mentautkan rasionalitas dan spiritualitas, dan ini adalah paradensif dari intelektualias ke-Nusantaraan.
Diakhir presentasi, kang Sastro memberikan pertanyaan kepada seluruh peserta yang ikut seminar tersebut berupa “Bagaimana gerakan Gus Dur dalam merawat multikulturalisme dan moderasi?,” ujarnya.
Pertama, secara konsepsional Gus Dur menggali dan mempelajari akar tradisi nusantara, hal ini juga dilakukan oleh ulama terdahulu sehingga dapat mengetahuii sanad keilmuan dan sanad sejarah.
Kedua, mengerti sejarah karena bagi Gus Dur sejarah tidak hanya peristiwa masa lalu. Menurut pendapatnya, Gus Dur memahami sejarah menjadi tiga peran: 1. Sejarah sebagai rute peradaban; jika kita ingin mengkontruksi suatu peradaban kita harus tahu sejarahnya, agar terjadi kesinambungan. 2. Sejarah menjadi referensi hidup; jika tidak punya referensi, diberi referensi apa saja akan langsung ditelan mentah karena saking tidak mengerti sejarah. 3. Sejarah dipahami sebagai pengetahuan; Gus Dur menjadikan pengetahuan dari sejarah sebagai strategi untuk merawat multikulturalisme dan moderasi beragama serta toleransi.
Ketiga, melakukan rekonsrtuksi tehadap pemikiran dan gerak kebudayaan. Hal ini persis seperti yang dilakukan wali sanga ketika berdakwah yang mengganti isi dari pertunjukan wayang (yang pada saat itu menjadi alat komunikasi yang paling efektif) dengan cerita-cerita yang mengandung ajaran islam. Hal ini juga dilakukan Gus Dur ketika menggunakan isu moderasi, multikultuasi, HAM dan sebagainya.
Selain itu Gus Dur memasukkan konsep-konsep al kulliyatu al-khamsah, al-asybah wan nadhair, pemikiran-pemikiran tasawuf menjadi pemikiran aksiologis yang tawasuth, tasamuh, tawazun dan itidal.
Kemudian kang Sastro juga menjelaskan secara fraksis hal yang dilakukan Gus Dur untuk merawat multiluturalime yaitu: “Pertama, mengunjugi para kyai, berziarah pada makam ulama dan kyai untuk merawat dengan strategi merajut ikatan hati. Kedua, mengkonsolidir kekuatan masyarakat untuk berjalan beriringan. Dan yang ketiga, memberikan contoh nyata dengan pasang badan, ketika minoritas ditindas beliau berani berdiri didepan membela minoritas,” jelasnya.
Kontributor : Lidyawati Wahyuningsih
Editor : Syofiatul Hasanah