Blog

Menyepakati Makna Hadis

WP_20170821_11_11_31_Pro
Kajian Hadis

Menyepakati Makna Hadis

A. Pendahuluan
Merupakan suatu hal yang tidak dapat diragukan lagi bahwasannya hadis Nabi telah ada sejak masa perkembangan Islam. Hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al Quran. Sebagai sumber ajaran Islam setelah Al Quran sejarah perjalanan hadis tidak dapat dipisahkan dari perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam beberapa kasus terdapat beberapa aspek tertentu yang cukup spesifik, sehingga dalam mengetahuinya diperlukan pendekatan khusus.

Sebagai salah satu sumber hukum Islam, hadis telah melalui proses pengkajian yang panjang dari masa ke masa. Dalam kajian hadis, terdapat berbagai macam konsep yang menarik, terkait dengan peristilahan yang digunakan untuk menyebut segala hal yang merupakan sabda, perilaku, sifat, persetujuan serta respon-respon Nabi terhadap kondisi masyarakat sekitar. Di antara istilah-istilah yang seringkali disebutkan dalam literatur-literatur kajian hadis ialah Hadis, Sunnah, Khabar dan Atsar. Seringkali istilah-istilah tersebut digunakan secara acak yang kemudian menimbulkan munculnya
pengertian yang benar-benar tidak berbeda antara satu sama lain, sehingga mucullah pertanyaan apakah istilah hadits sama dengan istilah-istilah tersebut atau berbeda.

Memahami makna dari istilah yang dikaji memiliki arti penting untuk tercapainya kejelasan orientasi dan penentuan langkah strategis. Di samping itu aspek terminologis keilmuan hadis tidak akan bisa dicapai apabila tidak ada kepastian dalam membedakan antara istilah hadis dengan istilah-istilah yang lain. Oleh karenanya, kajian ini kurang lebih akan mengulas tentang masingmasing definisi dari istilah-istilah di atas serta perbedaan hadis dengan masing-masing istilah diatas hingga akhirnya didapatkan makna dan cakupan hadis yang sesungguhnya. 

B. Pembahasan

1. Hadis

Dalam keseharian seringkali lafadz hadits ini digunakan untuk menyebut setiap hal yang disandarkan pada diri Nabi atau segala hal yang bersumber dari Nabi yang tidak jarang juga disebut dengan istilah sunnah. Dalam beberapa sumber yang membahas tentang kajian hadis baik terkait dengan sejarah, tokoh-tokoh, keilmuan maupun hadis itu sendiri seringkali penyebutan kata Hadis hanya digunakan di permulaan pembahasan, namun seterusnya muallif menggunakan istilah lain seperti Sunnah dan Khobar. Seperti yang dilakukan oleh Abu Zahwu dalam kitabnya al-Hadits wa al-Muhadditsun. Dalam kitabnya kata hadis dijadikan sebagai judul dari kitab karangannya, namun sepanjang pembahasan dalam kitab ini Abu Zahwu menggunakan istilah sunnah untuk menyebut apa yang disandarkan pada Nabi. Sehingga inilah barangkali yang menjadi latar belakang utama pembahasan tentang definisi ini menjadi
pembahasan wajib dalam
literatur-literatur studi hadis.

Kata  Hadits (dalam teks arab حديث) menurut bahasa memiliki makna baru adapun bentuk jamaknya ialah Ahadits (dalam teks arab أحاديث). [1] Sedangkan menurut Abdul Majid kata Hadits menurut tinjauan Bahasa memiliki beberapa makna diantaranya baru (al jiddah), lemah lembut (ath-thariy) dan bermakna berita, pembicaraan atau perkataan (al-khabr wa al-kalaam).[2] Hal ini bisa dipahami ketika pada realitanya setiap yang disebut dengan hadis tidak akan pernah bisa lepas dari adanya unsur penyampaian sesuatu (berita) dari satu orang kepada orang lainnya.

Sedangkan kata Hadits menurut istilah ulama’ berbeda pendapat di antaranya;

  • Dalam kitabnya Imdad al-Mughits bi tashili “ulum al-Hadits halaman 16 Lukman Hakim al-Azhariy menyebutkan:

ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم قولا أو فعلا أو صفات أو  وسمي بذالك مقابلة للقرأن فإنه قديم

“Segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi baik berupa ucapan, perbuatan, sifat maupun ketetapan. Adapun penamaan tersebut sebagai perbandingan dengan al-Quran sebab al-Quran qodim

  • Dalam kitab yang dikenal dengan nama Muqoddimah Ibnu Sholah halaman 9 Imam Ibnu Sholah menyebutkan:

ومن العلماء من يزيد تعريف الحديث: وأقوال الصحابة والتابعين وأفعالهم وهو اصطلاح أخر. و يشهد له صنيع كثير من المحدثين فى كتبهم حيث لا يقتصرون على المرفوع إلى النبي صلى الله عليه وسلم وإنما يذكرون الموقوف والمقطوع.

“Adapun perkataan dan pekerjaan sahabat atau tabi’in itu masuk dalam istilah lain . Mayoritas ulama’ hadits tidak membatasi tulisan mereka hanya teringkas pada hadits marfu’ tapi mereka juga menyebutkan hadits mauquf dan maqtu’.[3]

  • Syekh Mahfudz at-Tirmisy dalam kitabnya Manhaj Dzawi al-Nadzr halaman 8 menyebutkan:

إن الحديث لا يختص بالمرفوع إليه صلى الله عليه وسلم بل جاء بالموقوف وهو ما أضيف إلى الصحابي والمقطوع وهو ما أضيف إلى التابعي

Hadits tidak dikhususkan pada Marfu’ yang disandarkan pada Nabi melainkan juga Mauquf yang disandarkan pada sahabat dan Maqthu’ yang disandarkan pada tabi’in”

Dari berbagai definisi di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwasannya ada titik persamaan dan perbedaan dari beberapa definisi yang dipaparkan oleh para ulama tersebut. Kesepakatan ulama jatuh pada pemahaman bahwasannya hadis ialah sesuatu yang disandarkan pada seseorang yang mana hal tersebut menjadi objek kajian dalam ilmu hadis. Adapun titik perbedaannya terletak pada kepada siapakah sesuatu tersebut disandarkan. Sebagian ulama berpendapat hadis dikhususkan hanya bagi sesuatu yang disandarkan pada Nabi, sedangkan ulama lain berpendapat lebih umum dari itu, yakni hadis ialah segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi, sahabat maupun tabi’in.

Oleh sebab itu, dalam ilmu hadis fokus pembahasan terletak pada pemastian apakah yang disandarkan itu benar atau tidak, berkualitas atau tidak, dan dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.

2. Sunnah

Sunnah menurut bahasa mengandung beberapa makna di antaranya bermakna perbuatan dan jalan yang baik atau yang buruk. Makna ini disandarkan pada perkataan Nabi yang berbunyi:

“من سنَّ في الاسلام سنة حسنةً فله أجرها وأجر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيئأ، ومن سنَّ في الإسلام سُّنَّة سيئةً كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيئاً”.[4]

Namun juga terdapat makna lain diantaranya sunnah bermakna sebaik-baik pendirian atas sesuatu. Adapun makna ini disandarkan pada perkataan orang Arab yang berbunyi:

حسن الرعاية والقيام على الشيء، وذلك من قول العرب: “سنَّ الرجل إبله إذا أحسن رعايتها والقيام عليها.

Sedangkan menurut istilah, sunnah dikehendaki atas beberapa definisi:

  1. Menurut Ibn Mandzur: “Di dalam hadits kata sunnah telah disebutkan berulang-ulang dan lafadz yang terkait dengannya. Asal maknanya ialah   jalan dan sejarah. Sedangkan apabila dikaitkan dengan hukum syaria’at  maka yang dimaksud adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Nabi dan dilarang olehnya dan  disunnahkan kepadanya baik berupa perkataan maupun perbuatan yang belum di tetapkan di dalam Al-Quran. Oleh karena itu dikatakan dalam dalil-dalil syar’i kata “ al kitab dan sunnah” maka yang dikehendaki adalah Al Quran dan Hadis.
  2. Menurut Imam Syathibi: “ Kata assunnah juga ditetapkan sebagai pembanding kata bid’ah, maka dikatakan: seseorang melakukan sunnah apabila dia melakukan sesuatu yang diketahui dari Nabi, dan dikatakan bidah apabila melakukan sesuatu yang berlawanan dengan hal tersebut. Kemudian Imam Syathibi juga berpendapat: “Kata as-sunnah juga ditetapkan pada sesuatu yang dilakukan oleh para sahabat, baik hal tersebut ditemukan di dalam Al Quran maupun tidak, karena Rasulullah SAW bersabda:

 “عليكم بسنَّتي وسنَّةِ الخلفاء الراشدين المهديين”.

Namun seiring perkembangan ilmu-ilmu Islam, lafadz sunnah memiliki berbagai macam pemahaman dan makna sesuai denga sudut pandang keilmuwan yang diambil, di antaranya:

  1. Menurut Muhadditsin sunnah bermakna: “Segala sesuatu yang datang dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketentuan) ataupun sifat”.
  2. Menurut Ushuliyyin sunnah bermakna: “Segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketentuan) yang bisa di jadikan dalil bagi hukum syariat”.
  3. Menurut Fuqaha’ sunnah bermakna: “ Sesuatu yang apabila dilakukan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan mendapat celaan dan teguran namun mendapat siksa, atau:” suatu perintah yang tidak diwajibkan”

Terkait dengan definisi diatas tentunya sangat bisa dimaklumi jika timbul

perbedaan, sebab para ulama menjabarkan definisi sesuai dengan sudut pandang keilmuwan yang dipilih. Menurut para ulama ushul fiqih tentu penjabaran makna sunnah tentunya dari sudut pandang bobot dari sunnah itu sendiri sebagai dalil. Sebab orientasi dari keilmuwan ushul fiqih ialah penentuan kemungkinan sesuatu dapat dijadikan dalil dalam proses pengambilan hukum. Adapun menurut ulama fiqih tentunya dengan pemaknaan yang lain. Sebab dalam fiqih yang menjadi acuan ialah bobot suatu perintah ataupun larangan. Sedangkan dalam sudut pandang ulama ahli hadis tentunya berbeda pula, meskipun pada dasarnya substansi yang dikandung tetaplah sama.

3. Khabar

Kata Khobar (dalam bahasa Arab خبر) menurut bahasa bermakna Annaba (berita), bentuk jamaknya ialah Akhbar (dalam bahasa Arab أخبار).

Sedangkan menurut istilah Khabar memiliki bermacam-macam definisi:

  1. Khobar memiliki makna sesuai dengan pengertian hadis (bahwasannya makna keduanya satu istilah).
  2. Khobar berbeda pengertian dari hadis: Adapun hadis yaitu sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu ‘alahi wassalam, sedangkan Khabar sesuatu yang datang dari selain Nabi shallallahu ‘alahi wassalam.
  3. Khobar memiliki pengertian secara umum: Hadis yaitu sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu ‘alahi wassalam, sedangkan Khobar sesuatu yang datang dari Nabi dan selain Nabi shallallahu ‘alahi wassalam.[5]

Dan juga terdapat pendapat lain:

  1. Diantara Hadis dan Khabar ada yang bermakna secara umum dan khusus. Sebab setiap Hadis itu Khobar dan tidak sebaliknya (belum tentu setiap khobar itu hadits).
  2. Hadis tidak dimutlakan atas selain sesuatu marfu’, kecuali dengan syarat yang mengikatnya[6].

Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwasannya letak perbedaan pendapat antar ulama terdapat pada keumuman dan kekhususan makna Khabar. Sebagian berpendapat tentang keumuman Khabar sedangkan sebagian yang lain berpendapat tentang kekhususannya. Perbedaan definisi ini tentunya sangat berpengaruh pada penggunaan kata dalam literasi-literasi keilmuwan hadis. Banyak sebagian dari ulama’ yang menyebut Khabar untuk mengungkapkan hadis dan sebagian yang lain tidak menggunakannya.

4. Atsar

Menurut bahasa Atsar (dalam bahasa Arab أثر) bermakna sisa sesuatu.[7] ِAdapun menurut istilah Atsar memiliki beberapa makna:

  1. Sinonim dari Hadis yakni makna istilah dari keduanya sama[8]
  2. Abu Al-Qosim Al-Furoni, berkata: “Para ahli fikih berpendapat bahwa khabar adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi, sedangkan atsar merupakan sesuatu yang diriwayatkan dari para sahabat”.[9]
  3. Sesuatu yang dinisbatkan kepada Shohib as-Syar’i dinamakan Khabar. Adapun yang dinisbatkan kepada sahabat dinamakan Atsar, sedangkan yang dinisbatkan kepada ulama dinamakan Qoul dan Madzhab.[10]

Selain definisi-definisi di atas juga ada yang menyebutkan bahwasannya sebuah atsar juga bisa disamakan dengan hadits jika memang dapat dipastikan bahwa itu memang berasal dari Nabi. Seperti sebuah riwayat disebutkan “atsar ini berasal dari Nabi”.

5. Perbedaan antara Hadis dan Sunnah

Dalam keseharian seringkali hadis dan sunnah dianggap sebagai dua istilah yang tidak memiliki perbedaan (sinonim). Hal ini tentunya bukan tanpa latar belakang. Alasan penyamaan antara hadits dan sunnah dilatarbelakangi adanya kesamaan sumber dari keduanya, yakni Nabi Muhammad. Namun sesungguhnya dalam hal ini ulama berbeda pendapat, sebagian menyebut keduanya sebagai dua hal yg sama namun sebagian tidak. Adapun yang memandang tidak dilatarbelakangi oleh perbedaan sudut pandang. Menurut mereka hadits merupakan istilah bagi sesuatu yang diarahkan pada pemahaman teoritis sementara sunnah diarahkan pada pemahaman praktis.

Dalam bukunya yang berjudul Islam halaman 69, Fazlur Rahman menyatakan bahwasannya Sunnah merupakan sesuatu yang dipraktekkan sehari-hari oleh Nabi, yang kemudian ditirukan oleh sahabat, tabi’in dan seterusnya. Baginya sunnah merupakan praktek-praktek nyata dari apa yang diverbalisasi oleh Nabi dalam hadisnya. Rahman menyebut sunnah sebagai practical tradition (kebiasaan yang dipraktekkan).[11]

Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa hadits diarahkan pada sudut pandang keilmuwan yang mana didalamnya mencakup tentang teknis periwayatan atas apa yang dilakukan Nabi, sementara sunnah lebih difokuskan pada isi dari periwayatan itu sendiri, yakni apa yang dilakukan oleh Nabi. Karenanya, dalam proses pembahasan hadis dan sunnah akan ditemukan adanya perbedaan yang sangat signifikan. Di mana dalam pembahasan hadis akan selalu terkait dengan adanya sanad, matan dan rowi. Karenanya dalam proses kajian hadis pembahasan akan berorientasi pada penelusuran status sanad, matan dan rowi. Sementara dalam pembahasan sunnah fokus akan ditekankan pada apa yang dilakukan Nabi yang kemudian diriwayatkan dalam bentuk hadis yang mencakup sanad, matan dan rowi.

6. Perbedaan Hadis, Khabar dan Atsar

Perbedaan ulama tentang perbedaan sekaligus persamaan antara makna hadis, khabar dan atsar sangatlah bervariasi , sebagaimana yang telah dijelaskan di awal. Sebagian ada yang mendefinisikan hadis sama dengan khobar maupun atsar dan sebagian yang lain memiliki pemahaman yang berbeda. Sebagian mendefinisikan hadis sebagai sesuatu yang datang dari Nabi dan khobar sebagai sesuatu yang datang dari selain Nabi. Ada juga yang mengatakan antara khobar dan hadits memiliki hubungan yang biasa dikenal dengan istilah Umum Khusus Muthlaqan yang berarti bahwa setiap hadits pasti khobar tapi tidak sebaliknya. Pemakaian khobar di sini supaya menjadikannya paling mencakup dibanding yang lain.[12]

Umum Khusus Muthlaqan merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan hubungan antara dua kata. Tepatnya ketika salah satu kata menunjukkan keseluruhan makna lafad yang lain dengan disertai tambahan. Contohnya seperti kata Insan dan Mukmin, kata Insan mencakup Mukmin dan non-Mukmin. Maka di antara kata insan dan mukmin terdapat hubungan Khusus Umum Mutlaqan. Seperti itulah hubungan hadis dan khabar.

Sama halnya atsar menurut orang-orang yang mengkhususkan. Atsar dan khabar sama bila melihat hubungan antara hadis dan khabar. Di situ juga ada pendapat yang keempat: bahwasanya atsar adalah sesuatu yang datang dari sahabat, hadis datang dari Nabi saw dan khobar lebih umum dari keduanya.[13]

C.  Kesimpulan

Dalam mendefinisikan hadis ulama berbeda pendapat, namun dalam kasus ini pendapat yang diambil ialah bahwa hadis dikhususkan pada segala hal yang disandarkan pada Nabi. Adapun perbedaan antara sunnah dan hadis, sunnah ditekankan pada apa yang dilakukan Nabi yang kemudian dicover dalam bentuk sebuat periwayatan, sementara hadis ditekankan pada proses penelusuran aspek-aspek yang terkait dengan periwayatan tersebut.

Perbedaan pemahaman antara khabar, hadis dan atsar juga sangat bervariasi, namun dalam hal ini pendapat yang diambil ialah:

  • Khabar bersifat paling umum dibanding hadis dan atsar, sehingga khabar mencakup keduanya, sebab khabar dimaknai sebagai berita yang bisa saja bersumber dari banyak arah baik Nabi, Sahabat maupun Tabi’in.
  • Hadis ialah segala hal yang bersumber dari Nabi, sementara atsar ialah segala yang bersumber dari Sahabat dan Tabi’in.

Oleh :

Tim Kajian Hadis Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang

[1] Abu Hafash Mahmud bin Ahmad At- Thohan An Naimiy, Taisir Mustholah al-Hadits, (Al-Maarif:10)  juz 1 hal 16

[2] Abdul Majid Khon,Ulumul Hadits,(Jakarta:Amzah,2012) hal 1-2

[3] Al-Imam Ibnu Sholah,Muqoddimatu Ibn as-Sholah  fi Ulumi al-Hadits, (Daru al-Kutub al-Alamiah:Bairut 2010 M), Hal 9

[4] Dr.Muhammad bin Mathor az-Zahroniy, Tadwinussunnah,(darul hijrah:riyad,1996), hal 13

[5] Abu Mahmud bin Ahmad bin Mahmud Thohan Anna’imi, Taisir Mustholahil Hadits (hal 17-18),  Soft ware Al-Maktabah As-Syamilah.

[6] Abdur Rohman bin Abi Bakar, Jalaluddin As-Syuthi, Tadribur Rowi fi Syarh Taqribur An-Nawawi (jilid:1 hal:29) Soft ware Al-Maktabah As-Syamilah

[7] Mahmud Thuhhan, Taisir Mustholah Hadits, (Haromain: 1), juz 1 hal 16

[8] Mahmud Thuhhan, Taisir Mustholah Hadits, (Haromain: 1), juz 1 hal 16

[9] Ibnu Sholah, Muqoddimah Ibn Sholah, (Dar al-Fikr: Syuria), juz 1 hal 46

[10] Syamsuddin Abu Al- Khoir as-Sakhowi, Fathul Mughits, (Maktabah Sanah:Mesir,1), juz 1 hal 137

[11] Akhid Nasrulloh, Makalah Hadits, Sunnah, Atsar, Kahbar dan Hadits, (IAIT Kediri), hal 14

[12] Abu al Fadhl Ahmad bin Ali al Asqolaniy, Nazhatu al Nadzar fi Taudhihi Nukhbah al Fikr, (Safir: Riyadh,1), juz 1 hal 35

[13] Ibid

Comment (1)

  1. Terimakasih.. bahasa penyampaian sangat mudah dipahami.. 🙏

Leave your thought here

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *