Blog

Muslim yang Baik, Tidak Menghina Pemimpinnya

Bagan Hadis 1
Kajian Hadis

Muslim yang Baik, Tidak Menghina Pemimpinnya

Di dalam berbangsa dan bernegara keberadaan seorang pemimpin merupakan suatu hal yang sangat fundamental. Tanpa adanya pemimpin, negara tidak mungkin berjalan sesuai apa yang diharapkan, baik dalam aspek agama, sosial,dan budaya.

Islam sebagai agama universal mengatur semua aspek kebutuhan manusia. Mulai dari hal kecil pun seperti keluar masuk kamar mandi diatur dalam agama Islam, apalagi dalam urusan bernegara yang cakupannya luas dan menjadi kebutuhan utama bagi umat manusia. Oleh karena itu, dalam agama Islam dianjurkan untuk  taat dan menghormati pemimpin, serta dilarang menghinanya. Hal ini sebagaimana  termaktub dalam sabda Nabi Muhammad SAW sebagaimana berikut:

عَنْ أَبِي بَكَرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ «مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا، أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا، أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ».

A. Terjemah Hadis

Diriwayatkan dari Abu Bakrah ia berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa memuliakan pemimpin di dunia, maka Allah akan memuliakan nya di akhirat. Namun barang siapa merendahkan (menghina) pemimpin  di dunia, maka Allah akan merendahkannya di akhirat. (HR. Al-Turmidzi No. 2224)

B. Hasil Takhrij

No. Muallif Kitab Bab No. Hadis
1 Imam Abu Daud Musnad Abu Daub Riwayat Abu Bakroh 928
2 Imam Ahmad bin Hanbal Musnad Ahmad 20433
3 Imam at-Turmuzi Sunan at-Turmuzi Bab 47 2224
4 Imam al-Bazzar Musnad al-Bazzar Riwayat Abu Bakroh 3670
5 Imam al-Baihaqi Sunan al-Kubro Nasihat kepada Allah, Rasul serta kepada Pemimpin 16659
6 Imam al-Baihaqi Sya’bul Iman Fadilah Pemimpin yang Adil 6988

C. Bagan Sanad

D. Syarah Hadis

Secara garis besar, dalam hadis di atas terkandung dua hal pokok dalam urusan kepemimpinan.

Pertama, menjelaskan  gambaran bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada umatnya agar selalu mematuhi serta memuliakan pemimpin. Karena pemimpin merupakan faktor utama berjalannya keberlangsungan kehidupan masyarakat. Baik  yang cakupannya kecil seperti pemimpin rumah tangga, hingga hal yang cakupannya luas yaitu pemimpin negara.

Oleh karena itu Islam menganjurkan umatnya untuk taat dan patuh kepada pemimpin. Kewajiban taat dan menghormati pemimpin dalam hadis di atas, diperkuat dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

«يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا».

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa Ayat 59)

Imam Ibn Katsir dalam kitab Al-Tafsir li Ibn Katsir, mengatakan bahwa selain menjelaskan kewajiban patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, ayat ini juga menjelaskan kewajiban seorang muslim agar patuh kepada pemimpin. Dengan syarat pemimpin tersebut tidak memerintahkan dalam hal-hal yang diharamkan serta hal-hal yang menimbulkan mafsadah.[1]

Oleh karena itu, yang harus digarisbawahi adalah ketaatan kepada pemimpin yaitu bukan dalam rangka untuk bermaksiat kepada Allah SWT, karena ketaatan kepada Allah harus lebih didahulukan daripada ketaatan kepada mereka. Terkait dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

«لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الله، إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي الْمَعْرُوْف».

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Al-Bukhari No. 7252 dan Muslim No. 1840, lafadz hadis ini milik Imam Muslim).

Kedua, tentang kepemimpinan yang terkandung dalam hadis di atas merupakan salah satu larangan menghina serta memberontak kepada pemimpin. Karena  merendahkan atau menghina merupakan suatu hal yang tidak sesuai dengan moral kemanusiaan.Dalam sebuah hadits lain, Nabi Muhammad SAW bersabda:

«بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ».

“Cukuplah seseorang berbuat keburukan jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim No. 2564).

Sedangkan hadis yang secara eksplisit melarang seorang muslim untuk menghina kepada pemimpinnya, dapat tergambarkan dalam potongan sabda Nabi :

«مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الدُّنْيَا، أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ».

“Barang siapa merendahkan (menghina) pemimpin  di dunia, maka Allah akan merendahkannya di akhirat.” (HR. Al-Turmidzi No. 2224)

Selain melarang menghina pemimpin, Nabi Muhammad SAW juga melarang umatnya memberontak kepada pemimpin. Meskipun pemimpin tersebut dzalim dengan tujuan amar ma’ruf nahi mungkar, sangat tidak diperbolehkan.

Karena hal itu akan menimbulkan perpecahan bahkan pertumpahan darah. Atas dasar itulah jika kita sebagai pihak yang dipimpin kemudian berpaling dari kepemimpinan mereka, dengan cara menampakkan penolakan atau dengan cara menghina mereka, maka hal tersebut merupakan suatu hal yang diharamkan dalam agama. Rasulullah SAW bersabda:

«مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً».

“Barang siapa membenci tindakan (kebijakan) yang ada pada penguasanya, hendaklah dia bersabar. Karena siapa saja yang keluar dari (ketaatan) terhadap penguasa (seakan-akan) sejengkal saja, maka dia akan mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah.” (HR. Bukhari No. 7053 dan Muslim No. 1849. Lafadz hadis  ini milik Al-Bukhari.)

Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat melarang kaum muslimin untuk memberontak terhadap pemimpin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur.[2]

Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah SAW  tentang wajibnya taat kepada pemimpin  dalam hal-hal yang bukan maksiat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang nyata. Hal ini sesuai dengan sebuah riwayat dari sahabat ‘Ubadah bin Shamit, ia berkata:

دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ فَبَايَعْنَاهُ، فَكَانَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا، أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ: «إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْراً بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ».

“Rasulullah memanggil kami, lalu kami berbai’at kepada beliau. Di antara yang beliau tekankan kepada kami adalah agar kami selalu mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam keadaan suka maupun tidak suka dalam kesulitan atau pun kemudahan, bahkan dalam keadaan penguasa mengurus kepentingannya mengalahkan kepentingan kami sekalipun (tetap wajib taat). Dan tidak boleh kami mempersoalkan suatu perkara yang berada di tangan ahlinya (penguasa). Selanjutnya beliau bersabda: ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas dan kalian memiliki bukti yang nyata dari Allah dalam hal itu.” (HR. Al-Bukhari (No. 7055-7056) dan Muslim (No. 1709)

Dengan demikian, bukan berarti agama Islam pro dengan kepemimpinan yang otoriter, tentunya agama Islam sangat mengecam seorang pemimpin yang sewenang-wenangnya dan tidak memenuhi kewajibannya. Kewajiban rakyat tidak memberontak kepada pemimpin yang dzalim, semata-mata untuk menghindari adanya perpecahan yang dapat menyebabkan pertumpahan darah, serta mafsadah yang lebih besar lainnya.

E. Aktualisasi Hadis

Indonesia merupakan negara demokrasi, negara yang kekuasaan tertingginya dipegang oleh rakyat. Oleh karena itu, kritikan serta saran rakyat merupakan unsur penting yang tidak dapat dipisahkan dari negara yang bersistem demokrasi ini. Semakin banyak kritikan dan saran yang membangun  kepada pemerintah, maka tentu akan semakin cepat pula pemerintah dalam menangani dan membenahi setiap kekurangan yang ada dalam internal pemerintah tersebut.

Namun di antara masyarakat, kita masih terdapat sebagian orang yang memberikan kritikan mereka dengan bahasa yang kurang pantas. Tidak hanya itu, sebagian dari mereka juga menghina serta merendahkan langsung personal dari pemimpin negara.

Perbuatan semacam ini sama sekali tidak sesuai dengan apa yang telah disampaikan Nabi pada hadis di atas. Lebih disayangkan lagi, mereka pun juga mencatat hadis Nabi sebagai pembenar atas hal yang selama ini mereka lakukan.

عن أبي سعيد الخدري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «أفضل الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر».

Diriwayatkan dari Abu said al-khudri beliau berkata bahwasannya Rasulullah SAW bersabda “sebaik-baiknya jihad adalah mengatakan kebenaran kepada pemerintah yang durhaka”. (HR. Abu Dawud)

Dengan berlandaskan hadist tersebut mereka berdalih bahwa apa yang mereka lakukan tersebut adalah sebaik-baiknya jihad dan merupakan hal yang diperintahkan oleh Rasuulullah. Padahal maksud hadist tersebut tidaklah demikian. Al-Khatabi dalam kitabnya ma’alimus sunan mengatakan bahwa dimaksud dengan sulthon jair (pemerintah yang durhaka) adalah pemerintah yang dzolim yang jika diingatkan atau dikritik dia akan menangkap si pengkritik serta tak segan-segan akan membunuhnya. Oleh karena itu kritik terhadap pemerintah semacam ini merupakan suatu hal yang berat. Inilah yang menjadikan pekerjaan ini menjadi sebaik-baiknya jihad. Al-Khatobi meneruskan bahwa yang dimaksud dengan kalimatu haqqin (kritikan) adalah kritikan yang baik serta tidak menggunakan bahasa yang terkesan keras dan kasar.[3] Dari kenyataan di atas, pertanyaan besarpun muncul. Apakah pemerintah kita sudah termasuk sulthon jair? Dan apakah kritikan yang mereka tujukan kepada pemeritah sudah termasuk kalimatu haqqin?

Tidak hanya itu, kritikan yang mereka lakukan pun tidaklah mereka tujukan langsung kepada pemerintah, melainkan kritikan tersebut mereka sampaikan di depan khalayak umum kritikan semacam itu tidak akan didengar serta membuat pemerintah berbenah, akan tetapi malah membuat rakyat terprovokasi serta ikut memusuhi pemerintah dan ikut untuk mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas.

Padahal berabad-abad yang lalu Imam Syafi’i dalam diwan-nya telah berpesan tentang adab dalam mengkritik.

تعمدني بنصحك في انفرادي ** وجنبْني النصيحة في الجماعهْ

فإن النصح بين الناس نوع ** من التوبيخ لا أرضى استماعهْ

وإن خالفتني وعصيت قولي ** فلا تجزعْ إذا لم تُعْطَ طاعهْ

Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri, jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian

Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk sesuatu pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya

Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti.[4]

Dalam beberapa syairnya imam  madzhab ini mengatakan bahwa kritikan yang baik adalah kritikan yang disampaikan langsung kepada orang yang dikritik (melalui prosedur yang dibenarkan). Beliau juga menegaskan bahwa kritikan yang disampaikan di depan khalayak umum sejatinya bukanlah sebuah kritikan, melainkan sebuah pelecehan dan penghinaan yang akan membuat orang yang dikritik mendapat image serta pandangan yang buruk di mata umum.


[1] Tafsir Ibn Katsir (2/345)

[2] Fathul Bari (13/124-125), Syarah Muslim Imam Nawawi (12/229).

[3] Hamd ibn Muhammad al-Khatabi, Maalimus Sunan, (Aleppo: Matbaah al-Ilmiah, 1932).

[4] Muhammad ibn Idris, Diwan Imam Syafi’i.