Blog

Menyoal Klasifikasi Hadis Mutawātir Dan Āhād

20230531_214937_0000
Artikel Alumni

Menyoal Klasifikasi Hadis Mutawātir Dan Āhād

(Review Artikel Hamud Nayef Ad-Dabbus)

Penulis: Viki Junianto

Dalam perkembangan ‘ilmu musthalāḥ al-ḥadīs, ulama hadis mengklasifikasi hadis dengan mempertimbangkan pola dan jenisnya. Dari segi diterima atau tidaknya, hadis diklasifikasi menjadi dua pembagian pokok, maqbūl dan mardūd. Sedangkan dari segi banyaknya periwayat, hadis juga diklasifikasi menjadi dua, mutawātir dan āhād.

Hadis mutawātir merupakan sebuah hadis yang di setiap thabaqatnya diriwayatkan oleh banyak perawi yang mustahil bersepakat untuk berbohong. Dengan demikian, dipersepsikan bahwa hadis mutawātir bersifat qot’īyul wurūd (dapat dipastikan kebenarannya), serta tidak memerlukan verifikasi lebih lanjut. Berbeda dengan hadis mutawātir, hadis āhād hanya diriwayatkan oleh sedikit perawi sehingga bersifat dhanīyul wurūd (masih dipertanyakan kebenarannya) serta memerlukan penelitian lebih lanjut.

Klasifikasi hadis menjadi mutawātir dan āḥād memunculkan hal-hal yang problematis, setidaknya menurut Hamud Nayef. Dalam tulisannya yang bertajuk al-Isykalāt al-Wāridah ala Taqsīmi al-Hadīs bi I’tibāri Asānīdihī wa Adadi Ruwātihī ila Mutawātir wa Ahād (Problematika klasifikasi hadis berdasarkan kualitasnya menjadi mutawātir dan āḥād), Hamud mengkritisi adanya klasifikasi hadis menjadi mutawātir dan āḥād. Menurutnya, klasifikasi tersebut melahirkan beberapa problem: pertama, tidak ada standar pasti berapa banyak perawi yang disyaratkan dalam hadis mutawātir. Kedua, walaupun terdapat banyak Rawi di setiap thabaqat, tidak ada jaminan mereka tidak akan bersepakat untuk berbohong.

Asal muasal klasifikasi hadis mutawātir dan āḥād serta problematikanya.

Hamud berpendapat, pada periode awal, yaitu pada periode Imam Syafi’I (204 H), Yahya bin Main (233 H), Ali al-Madini (234 H) Ahmad bin Hanbal (231 H), klasifikasi mutawātir dan āḥād belum muncul dan dikampanyekan. Ulama yang pertama kali mempopulerkan klasifikasi ini adalah Khatib al-Baghdadi (463 H) seperti yang telah dijelaskan oleh Ibnu Shalah (643 H) dalam kitabnya Ulūm al-Ḥadīs.

Hamud mempertegas bahwa klasifikasi ini justru menjadi penyebab munculnya golongan munkir as-sunnah, golongan yang hanya menerima hadis mutawātir saja karena bersifat qot’īyul wurūd serta mengenyampingkan seluruh hadis āḥād karena dianggap bersifat dhanīyul wurūd.

Lebih jauh lagi, juga Hamud mengkritisi syarat-syarat hadis mutawātir yang telah dicanangkan oleh para ulama, sebagai berikut:

  1. Diriwayatkan oleh orang banyak. Para ulama berbeda pendapat terkait bilangan perawi dalam hadis mutawātir. Ada yang mengatakan empat, lima, tujuh, sepuluh, dua puluh, empat puluh, tujuh puluh, bahkan tiga ratus. Beberapa ulama bahkan tidak memberi batasan tertentu dalam jumlah periwayat hadis mutawātir. Mereka berpendapat jika suatu hadis dapat memberikan al-‘ilmu yaqīnī maka sudah bisa dinamakan hadis mutawātir.

Hamud mengkritisi syarat ini. Dalam pembagian hadis āḥād, terdapat hadis masyhūr, yaitu hadis yang diriwayatkan orang banyak dan tidak mencapai bilangan perawi hadis mutawātir (mā lam yablugh ḥadd at-tawātur). Jika tidak ada barometer pasti pada jumlah periwayat hadis mutawātir, lalu bagaimana kita membedakannya dengan hadis masyhūr.

  1. Banyaknya jumlah perawi ada di setiap thabaqat sanad. Jika bilangan tersebut hanya ada dalam beberapa thabaqat saja, maka tidak bisa dinamakan mutawātir.

Dijawab oleh Hamud, jika jumlah perawi tidak dibatasi dengan barometer yang pasti, lantas bagaimana kita bisa menentukan ‘banyaknya perawi’?

  1. Mereka tidak bersepakat untuk berbohong. Yaitu para perawi tidak tinggal di daerah yang berdekatan sehingga mustahil bagi mereka untuk berkumpul dan bersepakat untuk berbohong.

Banyak sekali hadis yang dipalsukan oleh para pembohong yang berada di tempat yang berbeda beda. Bahkan banyak dari mereka memalsukan hadis dengan mengarang sanad dengan perawi yang banyak. Demikian sanggahan Hamud.

  1. Diriwayatkan dengan bersandar pada panca indera. Yaitu dengan menggunakan shigat simā’ atau musyāhadah.

Hamud kembali mengkritisi, hal tersebut bisa digunakan pada berita manusia biasa, hadis Nabi tidak bisa diriwayatkan dengan melalui akal, namun harus disandarkan kepada orang yang mengatakannya dan melakukannya. Bagaimana hadis Nabi diriwayatkan dengan melalui akal?

Selain mengkritisi syarat hadis mutawātir, Hamud juga mengkritik hadis mutawatir yang dilabeli qot’īyul wurūd, dan tidak perlu diteliti kembali, sebagaimana hadis pada semestinya. Hal tersebut karena beberapa hal. Pertama, jika syarat hadis mutawātir bermasalah, bagaimana hadis mutawātir bisa dikatakan qot’īyul wurūd. Kedua, banyaknya sanad tidak memberikan dampak apapun. Banyak sekali hadis maudū’ yang mempunyai sanad yang banyak. Ketiga, hadis mutawātir, tidak bisa dilabeli qot’īyul wurūd sehingga harus diperlakukan sebagaimana hadis-hadis lain, dengan diteliti sanad dan matannya.

Tawaran Hamud Nayef (Kesimpulan)

Klasifikasi mutawātir dan āḥād, tidak dikenal di periode awal ulama hadis. Ulama pertama terdeteksi mempopulerkan klasifikasi tersebut adalah Khatib al-baghdadi (463 H). Pernyataan bahwa hadis mutawātir bersifat qot’īyul wurūd, agaknya harus dicermati kembali dengan pertimbangan yang telah dijelaskan di atas. Hadis bisa dikatakan sahih, jika sudah diuji dengan kaidah yang telah dirumuskan oleh ulama hadis. Sehingga banyaknya sanad dengan tanpa uji kesahihan dengan kaidah yang ada, tetap tidak memberikan dampak apapun.

Dengan merujuk kepada ulama sebelum Khatib al-Baghdadi, Hamud, menawarkan klasifikasi baru, menurutnya terbebas dari hal-hal problematis. Hamud mengklasifikasi hadis berdasarkan jumlah perawinya mejadi tiga: masyhūr, ‘azīz, dan gharīb. Klasifikasi ini dengan memberikan definisi baru pada hadis masyhūr, yakni dengan menetapkan tiga rawi sebagai batas minimal, dan tidak membatasi bilangan maksimal perawi yang meriwayatkan.


Penulis merupakan alumni MAHA angkatan 2017