Blog

Pudarnya Ketegangan Sektarian Dalam Kritik Hadis; Pergeseran Corak Kritik Hadis di Tanah Syam Abad 20

nASNasb
Artikel Alumni

Pudarnya Ketegangan Sektarian Dalam Kritik Hadis; Pergeseran Corak Kritik Hadis di Tanah Syam Abad 20

Oleh: Wildan Ulumul Fahmi

Pendahuluan

Dewasa ini kritik hadis menjadi tema yang hangat dan menarik untuk dibicarakan. Para sarjana hadis di Timur dan Barat dari berbagai macam latar belakang dan ideologi mewarnai dinamika perkembangan disiplin ilmu ini, dengan mengembangkan metode kritik yang dianggap oleh masing-masing kalangan sebagai metode yang paling absah dalam memberi label diterima atau tidaknya suatu hadis. Salah satu gerakan yang paling dahsyat dalam sejarah kritik hadis kontemporer adalah gerakan yang ada di tanah syam (levant). Nama-nama seperti Nasir al-Din al-Albani(1999), Abd al-Fattah Abu Ghuddah (1996), Nur al-Din Itr (2020), dan Muhammad ‘Awwamah pasti tidak asing ditelinga para pengkaji hadis. Gerakan ini sendiri terbilang fenomenal karena memberikan pengaruh yang besar pada corak kritik hadis yang muncul di negara-negara lain. 

Meskipun begitu, gerakan yang ada di tanah Syam ini tidak satu warna. melainkan terbagi menjadi dua madzhab. Pertama, yaitu madzhab yang fokus pada zahir al-isnad dan tunduk pada prosedur yang ada pada kitab-kitab usul al-hadith dalam mengoperasikan kritik hadis. Penganut madzhab ini diantaranya adalah al-Albani, Abu Ghuddah, dan Itr. Kedua, yaitu aliran yang berbasis pada ilal al-hadith dalam mekanisme pengoperasian kritik hadisnya. Ada nama-nama seperti Hammam Sa’id, Hamzah al-Malibari, dan Hatim al-Auni.

Dalam analisis yang dikemukakan oleh Ahmad Snober dalam artikelnya yang berjudul Hadith Criticism In the Levant In the Twentieth Century: From Zahir al-Isnad To Ilal al-Hadith, ia membagi aliran zahir al-isnad menjadi dua, yaitu yang mengikuti madzhab al-Albani dan yang mengikuti madzhab Abu Ghuddah dan Itr. Diferensiasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa walaupun keduanya memiliki kesamaan dalam menggunakan zahir al-isnad sebagai basis metodologis nya, namun Abu Ghuddah dan Itr sebagai representasi ulama tradisionalis tidak setuju dengan al-Albani dalam beberapa hal yang menurutnya tidak merepresentasikan madzhab yang dianut oleh ulama tradisionalis. 

Zahir al-Isnad Method (Aliran Albani)

Metode zahir al-isnad secara umum bercirikan dengan proses penilaian kualitas hadis yang didasarkan pada kemampuan seorang rawi (transmitter). Sebagai contoh, jika ia bisa di percaya (tsiqoh) maka hadis tersebut sohih, jika ia jujur (saduq) maka kualitasnya adalah hasan, dan jika ia lemah maka hadis yang diriwayatkannya dhoif.

Snober menyebut bahwa Albani menggunakan metode ini dalam aplikasi kritik hadisnya.  Kenyataan ini didasarkan pada adopsi Albani pada aplikasi yang hampir serupa dari aturan-aturan yang ada dalam kitab mustolah al-hadis, dan dalam hal yang bersamaan ia mengabaikan bukti-bukti tambahan (qarain) dalam menentukan keotentikan hadis. Albani dalam menerapkan metode zahir al-isnad secara murni berfokus pada status perawi saja dalam menentukan status keotentikan hadis, padahal para kritikus hadis periode awal juga mempertinmbangkan bukti-bukti tambahan dalam proses tersebut. Mengenai hal ini, Snober menyatakan bahwa pendekatan yang digunakan oleh Albani sangat tidak layak, dengan alasan bahwa aplikasi hadis secara literal biasanya tidak memberikan hasil yang konsisten. 

Ada satu konsep penting menurut Snober yang kiranya membedakan metode zahir al-isnad dan ilal al-hadis, yaitu konsep ziyadat at-tsiqoh. Albani sendiri menerima konsep ini dan memiliki kecenderungan tidak perlu mempertimbangkan lagi bahwa perawi yang dapat dipercaya itu salah. Dalam beberapa kasus misalnya, ia menegaskan “ziyadat at-tsiqoh itu dapat diterima”, “ia (perawi) yang hafal lebih valid (riwayatnya) daripada yang tidak”. Namun menurut Snober, Albani sendiri kurang konsisten dalam menggunakan konsep ini, disatu sisi ia memiliki anggapan bahwa konsep ziyadat at-tsiqoh adalah sebuah prinsip dan barometer yang kuat dalam otentifikasi hadis, tapi dalam kesempatan yang lain ia juga menolak. Dalam pandangan Snober, ini tentu saja tidak mengeluarkan Albani dari aliran zahir al-isnad, karena ia lebih banyak menggunakan konsep ziyadat at-tsiqoh daripada tidak.

Hal menarik lain dari sosok Albani adalah ia juga sesekali menerapkan konsep qarain/ilal dalam kritik hadis. Ia mengakui bahwa aplikasi kritiknya menggunakan konsep tersebut berpegang teguh pada prinsip yang ada dalam kitab mustolah. Albani menyatakan bahwa walaupun dalam proses pengujiannya menggunakan qarain, namun hasil akhirnya haruslah berbasis pada aturan-aturan (qawaid) yang ada pada kitab mustolah. 

Zahir al-Isnad Method (Aliran Ulama Tradisionalis) 

Aliran ini pada dasarnya memiliki kesamaan metode dengan Albani dalam sisi penggunaan konsep zahir al-isnad sebagai basis validasi kesahihan hadis. Hanya saja para ulama tradisionalis merasa bahwa Albani tidak merepresentasikan sudut pandang (worldview) madzhab tradisional. Ada beberapa poin dari pandangan Albani yang menyebabkan ia dikeluarkan dari madzhab ini.

Kritik mengenai metode kritik hadis Albani pertama kali datang dari Abdullah al-Habashi (2008) dalam artikelnya berjudul “al-Ta’aqqub al-hathith”, yang menyoroti ketidak patuhan Albani pada madzhab legal tradisional. Disusul dengan kritik beruntun dari Nur al-Din Itr dan Abu Ghuddah pada awal tahun 1970an. Pada tahun 1990an Hasan al-Saqqaf juga mengkritik Albani dalam tulisannya “tanaqudat al-Albani al-wadihat”, namun kritik al-Saqqaf disini dipandang kurang tepat sasaran karena berangkat dari metodologi studi hadis yang berbeda. Kritik tersebut lebih sekedar menyoroti perbedaan doktrin dan ideologi antara madzhab sunni tradisionalis dan madzhab salafi kontemporer. 

Madzhab tradisionalis sendiri menurut Snober bisa dicirikan dengan kepatuhannya terhadap mustolah (terminology) dan aturan metodologis (rule-based method) dalam mengevaluasi kualitas hadis. Ini bisa dilihat dari cara pandang mereka dalam isu penghukuman hadis berdasarkan peringkat yang ada dalam kitab-kitab biografi para rawi (tarajim) yang memfokuskan pada masalah kritik pada rowi hadis (al-jarh wa al-tadil).

Ilal al-Hadith Method

Madzhab Ilal/qarain bisa didefinisakan sebagai sebuah aliran yang tidak mempertimbangkan mustolah hadis untuk diaplikasikan dalam proses pelabelan hukum atas hadis, dalam semua atau hampir sepanjang waktu yang mereka gunakan. Snober menyebutkan bahwa proses tersebut bermula dari perspektif yang umum dalam kalangan pendukung aliran ini bahwa “setiap hadith memiliki bentuk kritiknya sendiri”, yang artinya cara memperlakukan satu hadis dan yang lain tentunya berbeda. Juga berangkat dari anggapan bahwa setiap perawi (transmitter) itu dihukumi berdasarkan apa yang ia katakan, bukan sebaliknya. 

Hamzah al-Malibari, sebagai pelopor madzhab ini menyatakan bahwa hubungan antara perawi dan apa yang ia riwayatkan bahwa “menentukan karakteristik dan tingkat akurasi perawi itu bergantung/kembali pada penilaian atas Riwayat-riwayatnya. Karenanya sarjana hadis generasi awal tidak mempertimbangkan peringkat perawi sebagai poin utama dalam menilai kualitas hadis. 

Titik inilah yang menjadi garis besar pembeda antara dua kutub aliran kritik hadis, bahwa madzhab zahir al-isnad lebih memfokuskan sanad sebagai basis argumennya, namun madzhab ilal menggunakan matan sebagai objek kajiannya.

Pendaku madzhab ilal dalam metode kritiknya sendiri sebenarnya walaupun banyak didominasi para sarjana dari madzhab salafi sebagaimana al-Albani, namun mereka sangat tidak setuju dan menolak metode al-Albani dalam kritik hadis. Pada masa akhir-akhir, madzhab berbasis ilal ini menjadi sangat powerful dan banyak diikuti oleh para sarjana hadis kontemporer yang dipandang lebih ilmiah dalam menguji keotentikan hadis.

Simpulan

Dari beberapa klasifikasi dan paparan diatas, menurut saya Snober telah berhasil membuktikan bahwa tendensi kritik hadis berdasarkan madzhab ideologi dan pemikiran tidak lagi relevan untuk zaman sekarang. Albani yang beraliran salafi sebagai contoh, metode yang ia gunakan banyak diikuti juga oleh kalangan sunni tradisionalis, walaupun ada beberapa kritik dari bebrapa poin argument yang dibangunnya. Perkembangan ini layak untuk diangkat dan dipopulerkan ke khalayak lebih luas, karena dengan kesadaran bahwa tidak ada dinding pemisah secara ideologis dan pemikiran dalam mengkaji suatu keilmuan, utamanya hadis akan mengarah kepada perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang corak dan warnanya lebih holistik tanpa ada ketegangan dan tendensi ideologis-sektarian.


Penulis merupakan Alumni Mahad aly 2022