Hasil Diskusi Sejarah dan Perkembangan Fiqh al-Hadits
Hasil Diskusi Sejarah dan Perkembangan Fiqh al-Hadits
Perpustakaan Ma’had Aly Hasyim Asy’ari menyediakan banyak buku (kitab) berkualitas. Salah satunya adalah jilidan tesis Moh. Amru Ghozaly yang berjudul “Fiqh al-Hadits: Studi Genealogi dan Metodologi”. Buku tersebut kemudian melahirkan kegiatan diskusi yang digarap oleh BEM MAHA pada hari Senin, 18 September 2017 dengan tema “Sejarah dan Perkembangan Fiqh al-Hadits”. Tema tersebut dipilih dengan harapan dapat memperkaya wawasan fakultatif mahasantri, baik prodi fikih maupun hadis. Karena seperti namanya, fiqh al-hadits memang menyinggung dua keilmuan tersebut.
Sebelum diskusi dilaksanakan, pengurus BEM MAHA terlebih dahulu menyediakan ringkasan buku dalam bentuk makalah. Makalah telah dibagikan beberapa hari sebelum diskusi kepada peserta dalam bentuk hardfile maupun softfile. Dalam hal ini, BEM MAHA dibantu oleh DPM MAHA untuk meracik makalah tersebut. Memang hasilnya kurang memuaskan karena terlalu ringkas daripada buku aslinya. Namun setidaknya hal itu berhasil memberikan pemahaman awal terkait tema sebagai modal peserta mengikuti diskusi.
Selain makalah, BEM MAHA juga menghadirkan seorang alumni, Yayan Musthofa, sebagai pemantik diskusi. Dalam pantikannya, diuraikan beberapa poin penting yang perlu diketahui peserta sebagai titik berangkat dalam diskusi. Salah satunya adalah definisi fiqh al-hadits (memahami hadis) yang secara istilah hanya berlaku pada hadis ahkam. Hadis-hadis lain seperti i’tiqodi dan hadis prediktif tidak masuk dalam pembahasan fiqh al-hadits. Pemantik mengutarakan hal itu dengan merujuk pada buku acuan yang mengatakan bahwa pemakaian kata fikih, yang pada awalnya bermakna pemahaman secara umum, telah mengalami pengkhususan untuk menyebut pemahaman atas hukum Islam.
Pantikan tersebut kemudian memicu sebuah dialog antar peserta diskusi yang diawali dengan pertanyaan: Jika fiqh al-hadits memang hanya membahas hadis ahkam, mengapa dalam tabel genealogi fiqh al-hadits di makalah acuan termuat pula kitab Shahih Bukhari? Padahal, seperti yang diketahui, kitab tersebut memuat banyak jenis hadis, tidak hanya hadis ahkam saja. Dialog tersebut berujung pada kesimpulan bahwa penulis tesis memasukkan kitab Shahih Bukhari dengan alasan kitab tersebut mengandung metodologi fiqh al-hadits. Jadi, kitab tersebut sebenarnya bukan kitab fiqh al-hadits, melainkan hanya kitab yang mengandung metodologinya.
Dalam makalah memang disebutkan tiga kategori kitab fiqh al-hadits. Pertama, kitab yang telah diakui oleh ulama sebagai kitab fiqh al-hadits. Kitab-kitab dalam kategori ini telah mendapat legitimasi yang jelas dari ulama tertentu bahwa dia adalah kitab fiqh al-hadits. Secara imajinatif dapat kita bayangkan bahwa terdapat seorang ulama yang menulis dalam suatu kitab bahwa kitab A adalah kitab fiqh al-hadits. Kedua, kitab yang setelah diteliti oleh penulis tesis, ternyata mengandung metodologi fiqh al-hadits versi peneliti. Dalam kategori ini kitab-kitab yang belum mendapat legitimasi seperti kategori pertama diteliti oleh penulis tesis. Dengan instrumen penelitian milik penulis, didapatlah kesimpulan bahwa terdapat kitab-kitab yang mengandung metodologi fiqh al-hadits walaupun belum diakui ulama. Kitab-kitab yang disebut terakhir ini kemudian dimasukkan dalam kategori kedua. Sedangkan kategori ketiga adalah kitab-kitab yang memicu perkembangan fiqh al-hadits.
Kitab Shahih Bukhari yang menjadi pembahasan dialog di atas termasuk dalam kategori kedua tersebut. Di dalamnya termuat beberapa metodologi fiqh al-hadits versi penulis tesis. Hal itu yang menjadikannya masuk dalam tabel genealogi fiqh al-hadits. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah setiap kitab yang mengandung metodologi fiqh al-hadits tidak dapat dikatakan sebagai kitab fiqh al-hadits? Menyikapi pertanyaan tersebut, pemantik diskusi mengajak melihat metodologi apa yang terkandung dalam kitab Shahih Bukhari.
Metodologi fiqh al-hadis yang paling terlihat dalam kitab tersebut adalah tabwib al-fiqh, yakni sebuah pengelempokan hadis-hadis berdasarkan muatan fikih di dalamnya. Maka menjadi jelas bahwa istilah fiqh al-hadis hanya berlaku pada hadis ahkam saja. Tentang kitab yang mengandung metodologi fiqh al-hadis, jika kitab tersebut memuat banyak jenis hadis, maka dia tetap bisa dikatakan kitab fiqh al-hadis dengan alasan tabwib al-fiqh dalam kitab tersebut. Berarti, hadis selain ahkam dalam kitab tersebut akan tereliminasi dengan sedirinya.
Dalam diskusi ini, pemantik juga beberapa kali mengingatkan bahwa fiqh al-hadits adalah hal baru yang ditawarkan oleh penulis tesis untuk melengkapi metode isthinbat al-ahkam. Hal baru ini mencoba diperjelas lewat tulisan ilmiah dalam bentuk tesis. Maka muara tawaran tersebut akan berujung pada dipakainya metode yang telah penulis teliti sebagai salah satu cara isthinbat al-ahkam dalam ilmu hukum Islam.
Uraian tersebut selaras dengan pertanyaan lain dalam diskusi: Sebenarnya di mana posisi fiqh al-hadits dalam Islam? Mengingat dalam keilmuan Islam telah terdapat ilmu ushul fikih sebagai acuan metode isthinbat al-ahkam yang telah terbukukan dengan rinci. Pertanyaan tersebut menjadi penting sebab jika fiqh al-hadits tidak jelas posisinya, maka akan menjadi tidak jelas pula produknya, apakah fikih atau syarah hadis. Beberapa peserta diskusi sempat mengira bahwa posisi fiqh al-hadis sama dengan ushul fiqh, yaitu sebagai metode menggali hukum, namun terbatas pada dalil hadis. Ada juga yang berpendapat bahwa fiqh al-hadits adalah produk hukum dari hadis. Jawaban-jawaban yang muncul kemudian mengerucut seperti uraian pemantik, bahwa fiqh al-hadits adalah tawaran baru sebagai salah satu metode isthinbat al-ahkam. Maka posisi yang kemudian mungkin bagi fiqh al-hadits adalah bagian dari ushul fiqh.
Oleh karena masuk dalam keilmuan tentang metode, fiqh al-hadits pun mempunyai instrumen tersendiri dalam mengarahkan pemahaman tentang hadis. Metode inilah yang disebut sebagai metodologi fiqh al-hadits. Jika telah memahami metode tersebut, apakah para mahasantri boleh berijtihad? Pertanyaan tersebut muncul dari seorang peserta diskusi. Pemantik menjawabnya dengan kalimat “Justru penulis menawarkan tambahan syarat ijtihad berupa fiqh al-hadis ini”. Persyaratan yang dimaksud adalah pemahaman atas metodologi yang telah diteliti oleh penulis tesis. Akan ditemukan beberapa variabel yang sama dengan keilmuan usul fiqh, seperti ‘am dan khas. Mengapa bisa sama? Karena memang variabel tersebut merupakan dasar dalam memahami sumber hukum, termasuk hadis.
Sekilas terlihat bahwa diskusi yang berlangsung hanya berkisar pada pemahaman mengenai keterangan deskriptif mengenai fiqh al-hadits. Padahal tema yang diusung adalah sejarah dan perkembangannya. Hal itu menjadi lumrah mengingat istilah fiqh al-hadits masih cukup asing bagi mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari. Setidaknya melalui diskusi ini, keasingan tersebut dapat terkikis dan kemudian melahirkan pemahaman yang lebih dalam mengenai fiqh al-hadits, termasuk sejarah dan perkembangannya. Mengenai hal terakhir ini, sebenarnya dalam makalah telah dijelaskan secara rinci bagaimana sejarah dan perkembangan fiqh al-hadits.
Makalah racikan pengurus BEM dan DPM MAHA telah memuat bagaimana kondisi fiqh al-hadits di masa Nabi SAW hingga masa kini. Hal itu terlihat dalam tabel genealogi di bagian akhir makalah. Dalam tabel tersebut kitab terakhir yang disebut adalah kitab Ibanatu al-Ahkam karya Sayyid Alwi Al-Maliki dan Hasan Sulaiman An-Nuri yang sedang dikaji oleh mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari ketika kuliah. Oleh karenanya, pengurus BEM MAHA mengingatkan kepada peserta diskusi agar kembali membaca makalah yang telah dibagi, pun membaca buku aslinya yang dapat diakses di perpustakaan Ma’had Aly Hasyim Asy’ari. Akhirnya, semoga diskusi bulanan yang telah diagendakan oleh BEM MAHA dapat terus terlaksana dan memberi manfaat berupa tambahan pengetahuan, Amin.
Ditulis oleh M. Rizki Syahrul Ramadhan, mahasantri angkatan 2014.