Blog

Punishment Berujung Di Penjara

Punishment Berujung Di Penjara
Diskusi Publik

Punishment Berujung Di Penjara

Forum Bahtsul Masail (FBM) Ma’had Aly Hasyim Asy’ari (MAHA) gelar kegiatan Bahtsul Masail Se-Tebuireng Raya pada Kamis, (16/01/2025). Bertempat di Auditorium MAHA, tampak para peserta mencurahkan pendapatnya masing-masing. Gelanggang adu argumen berdasar ibaroh-ibaroh yang kokoh itupun berlangsung dengan serius, namun tetap hangat. Berikut hasil Bahtsul Masail Se-Tebuireng Raya tersebut :

Mushohih 1Mushohih 2
KH. Muhklis Dimyati, S.Pd.I.Kiai Mahfudz Aly Amari Sya’roni
Perumus 1Perumus 2
Ustadz Ahmad Wasil Syahir, S.Ag.Ustadz Ma’sum Ahlul Khoir, S.Ag.
ModeratorNotulen
Moh. Wildan HusinUstadz M. Husnu Widadi, S.Ag.

Punishment Berujung Di Penjara

Deskripsi Masalah:

Setiap KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) selalu ada hukuman atau ta’ziran untuk siswa atau pelajar yang tidak memiliki sikap disiplin, tanggung jawab dan sopan santun kepada gurunya, maka siswa yang seperti itu perlu diberi hukuman atau ta’ziran untuk memberi efek jera. Hukuman atau punishment biasanya menjadi upaya terakhir yang diterapkan pihak sekolah atau guru kepada siswa yang melanggar aturan agar perilaku siswa tersebut dapat terarah sesuai dengan norma atau aturan yang ada di lingkungan pendidikan.

Namun, akhir-akhir ini upaya pembentukan sikap disiplin kepada siswa dengan cara punishment (hukuman) justu memberikan dampak negatif kepada sekolah atau guru. Di zaman dahulu, jika anak dihukum oleh guru, kemudian mengadukan kepada orang tua, maka orang tua akan menambah hukuman bahkan justru menyalahkan anaknya. Namun saat ini kondisi sudah berbalik, jika ada kejadian seperti itu, maka sebagian oknum orang tua malah melaporkan guru ke pihak berwajib dengan dalih Undang-Undang Perlindungan Anak.

Tidak heran jika dalam upaya meningkatkan disiplin dan potensi siswa, guru yang memberikan hukuman kepada siswa, justru terjerat dalam kasus hukum. Banyaknya kasus guru yang berurusan dengan hukum dalam upaya meningkatkan disiplin dan potensi siswa, membuat guru bersifat apatis. Guru menjadi takut untuk bertindak apabila melihat indisipliner yang dilakukan oleh siswa.

Viral terkait masalah ini adalah kasus Ibu Supriani, seoarang guru honorer. Kasus ini bermula pada 25 April 2024 M, ketika Aipda Wibowo Hasyim, anggota polisi sekaligus orang tua dari seorang siswa kelas 1 di SDN 4 Baito, melaporkan beliau atas dugaan penganiayaan ke Polsek Baito setelah jalan damai menemui jalan buntu, karena pihak terlapor tidak bisa membayar uang damai yang diminta pihak pelapor sebesar 50 juta, Pihak sekolah hanya menyanggupi untuk membayar Rp 10 juta, pihak pelapor disebut tak mau berdamai karena tuntutan denda yang dimintanya tidak dapat dipenuhi.

Berdasarkan keterangan Aipda Wibowo, laporan diajukan setelah ibu korban melihat ada bekas luka memar di paha belakang anaknya. Namun, Ibu Supriyani membantah tuduhan ini, beliau menegaskan bahwa ia tidak mengajar di kelas korban dan tidak pernah berinteraksi langsung dengan anak tersebut. Ibu Supriyani juga mengaku diminta untuk mengakui tuduhan penganiayaan terkait penetapannya sebagai tersangka saat penyidikan di kepolisian. Ia menyatakan tak pernah mengaku menganiaya korban dan permintaan maaf yang disampaikannya dilakukan agar masalah cepat berlalu.

Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR RI MY Esti Wijayati, yang mencolok dari kasus tersebut adalah adanya intervensi dan desakan dari orang tua anak tersebut, sehingga sang anak mengubah pengakuan dan menyatakan ia dianiaya oleh Ibu Supriyani.

“Yang paling mencolok dalam kasus Ibu Supriyani adalah terkait intervensi dan reaksi orang tua siswa yang menurut saya berlebihan. Terutama ketika salah satu pihak memiliki kekuasaan atau pengaruh, tentunya ini membebani guru,” ujar Esti.

Sebenarnya untuk melindungi profesi guru, terdapat beberapa peraturan yang mengatur hak dan kewajiban guru dalam mendidik dan mendisiplinkan murid, diantaranya :

  • Pasal 39 ayat 1 PP No. 74/2008

Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan Guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.

  • Pasal 40 Ayat 1 dan 2 PP No. 74/2008
  1. Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, satuan pendidikan, Organisasi Profesi Guru, dan/atau Masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing.
  2. Rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh Guru melalui perlindungan: a. hukum; b. profesi; dan c. keselamatan dan kesehatan kerja.

Meskipun profesi guru mendapatkan perlindungan dalam undang-undang, namun seorang siswa juga mendapatkan hak perlindungan yang sama sebagaimana di jelaskan dalam UU No.35/2014 Pasal 54 Ayat 1 yang berbunyi “Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

Pertanyaan:

  1. Menurut persepektif fikih, bagaimana hukum pihak-pihak tertentu yang menuntut guru lewat jalur pengadilan, sebagaimana deskripsi di atas?.

Ketentuan Umum :

1. Seorang guru memiliki hak untuk menghukum dan memberi saksi pada murid bahkan sampai taraf pemukulan.

2. Pemukulan yang dilakukan bersifat mendidik bukan menyiksa.

3. Pemukulan sebagai hukuman harus memenuhi kriteria berikut:

  1. Tidak sampai melukai, merusak anggota tubuh, dan tidak berulang-ulang
  2. Tidak di bagian wajah dan vital lainnya
  3. Memberikan dampak yang positif bagi murid (adapun pemukulan yang tujuannya memberi maslahat pada selain murid maka tidak diperbolehkan, seperti pemukulan yang bertujuan agar murid lain mentaati aturan guru)
  4. Harus melalui tingkatan hukuman dari yang paling rendah (mensosialisasikan- menasehati-mengingatkan)

4. Setiap orang memiliki melapor ke pengadilan.

5. Pelaporan ke pengadilan harus bertujuan mencapai kebenaran.

Ketentuan Hukum :

1. Tidak diperbolehkan*, kecuali apabila memenuhi beberapa ketentuan berikut;

a. Pelaporan menjadi satu-satunya cara untuk mengatasi masalah.

b. Hukuman yang dilakukan oleh guru menyalahi aturan syariat, seperti membuat luka fisik, berdarah, dan tempat vital.

c. Pelapor telah memvalidasi bahwa guru benar-benar melakukannya.

d. Tidak dilakukan dengan tujuan membahayakan/menjerumuskan guru.

Rekomendasi :

  1. Guru agar lebih kreatif dan menghindari cara mendidik yang keras mengingat anak-anak zaman sekarang sangat sensitif dengan hal tersebut.
  2. Guru dan orang tua agar memiliki komunikasi yang baik mengingat mendidik seorang anak adalah tanggung jawab keduanya

Dasar Hukum :

،تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي ۲۱۹/۹ – ابن حجر الهيتمي (ت ٩٧٤)

وَلَوْ تَوَقَّفَ الْإِنْكَارُ عَلَى الرَّفْعِ لِلسُّلْطَانِ لَمْ يَجِبْ لِمَا فِيهِ مِنْ هَتْكِ وَتَغْرِيمِ الْمَالِ قَالَهُ ابْنُ الْقُشَيْرِيَّ وَلَهُ احْتِمَالُ بِوُجُوبِهِ إِذَا لَمْ يَنْزَجِرُ إِلَّا بِهِ وَهُوَ الْأَوْجَهُ، ثُمَّ رَأَيْت كَلَامَ الرَّوْضَةِ وَغَيْرِهَا صَرِيحًا فِيهِ. (قَوْلُهُ: وَلَوْ تَوَقَّفَ إِلَةً) عِبَارَةُ الْمُغْنِي وَالرَّوْضِ مَعَ شَرْحِهِ وَالْإِنْكَارُ لِلْمُنْكَرِ يَكُونُ بِالْيَدِ فَإِنْ عَجَزَ فَبِاللَّسَانِ وَيَرْفُقُ بِمَنْ يَخَافُ شَرَّهُ وَيَسْتَعِينُ عَلَيْهِ بِغَيْرِهِ إِنْ لَمْ يَخَفْ فِتْنَةٌ فَإِنْ عَجَزَ عَنْهُ رَفَعَ ذَلِكَ إِلَى الْوَالِي فَإِنْ عَجَزَ أَنْكَرَ بِقَلْبِهِ. اهـ (قَوْلُهُ: مِنْ هَتْكِ) أَيْ لِعِرْضِهِ، اهـ نِهَايَةٌ (قَوْلُهُ: قَالَهُ ابْنُ الْقُشَيْرِي إِلَخَ) نَعَمْ لَوْ لَمْ يَنْزَجِرْ إِلَّا بِهِ أَي الرَّفْعِ لِلسُّلْطَانِ جَازَ. اهـ. نِهَايَةً قَالَ الرَّشِيدِيُّ الْمُنَاسِبُ وَجَبَ كَمَا فِي التحفة. اهـ

،الأذكار للنووي ت الأرنؤوط (ص338)

«(بابُ بيانِ مُهِمَّاتٍ تتعلّقُ بحدِّ الغِيبَة)

قد ذكرنا في الباب السابق أن الغيبة: ذكرك الإِسان بما يكره، سواء ذكرته بلفظك أو فِي كِتابِكَ، أوْ رمزتَ أو أشرتَ إليه بعينك، أو يدك أو رأسك. وضابطُه: ‌كلّ ‌ما ‌أفهمت ‌به ‌غيرك نقصان مسلم فهو غيبة محرّمة، ومن ذلك المحاكاة، بأن يمشي متعارجاً أو مُطَأْطِئاً أو على غير ذلك من الهيئات، مريداً حكاية هيئة من يَتَنَقَّصُهُ بذلك، فكلُّ ذلك حرام بلا خلاف، ومن ذلك إذا ذَكرَ مُصنفُ كتاب شخصاً بعينه في كتابه قائلاً: قال فلان كذا مريداً تنقيصه والشناعةَ عليه فهو حرام، فإن أرادَ بيانَ غلطه لئلا يُقلَّدَ، أو بيانَ ضعفه في العلم لئلا يُغترّ به ويُقبل قوله، فهذا ليس غيبة، بل نصيحة واجبة يُثاب عليها»

،الأذكار – النووي (ص 340)

باب بيان ما يباح من الغيبة إعلم أن الغيبة وإن كانت محرمة فإنها تباح في أحوال للمصلحة. والمجوز لها غرض صحيح شرعي لا يمكن الوصول إليه إلا بها ، وهو أحد ستة أسباب الأول : التظلم ، فيجوز للمظلوم أن يتظلم إلى السلطان والقاضي وغيرهما ممن له ولاية أو له قدرة على إنصافه من ظالمه ، فيذكر أن فلانا ظلمني ، وفعل بي كذا ، وأخذ لي كذا ، ونحو ذلك. الثاني : الاستعانة على تغيير المنكر ورد العاصي إلى الصواب ، فيقول لمن يرجو قدرته على إزالة المنكر : فلان يعمل كذا فازجره عنه ، ونحو ذلك ، ويكون مقصوده التوصل إلى إزالة المنكر ، فإن لم يقصد ذلك كان حراما.

،تحفة الحبيب على شرح الخطيب – (ج 5 / ص 18)

وللمعلم تأديب المتعلم منه لكن بإذن ولي المحجور ، وللزوج تعزير زوجته لحق نفسه كنشوز م ر ، وقوله : وللمعلم ظاهره ولو كافرا وهو ظاهر حيث تعين للتعليم أو كان أصلح من غيره في التعليم ، وعبارة ق ل ومعلم لمتعلم منه ولو غير صبي وسواء أذن له الولي أو لا إذ له التأديب ولو بالضرب بغير إذن الولي على المعتمد . قال ع ش ومن ذلك الشيخ مع الطلبة فله تأديب من حصل منه ما يقتضي تأديبه فيما يتعلق بالتعلم وليس منه ما جرت به العادة من أن المتعلم إذا توجه عليه حق لغيره يأتي صاحب الحق للشيخ ويطلب منه أن يخلصه من المتعلم منه فإذا طلبه الشيخ منه ولم يوفه فليس له ضربه ولا تأديبه على الامتناع من توفية الحق فلو عزره الشيخ بالضرب وغيره حرم عليه ذلك لأنه لا ولاية له عليهم

،حاشيتا قليوبي وعميرة (4/ 209)

«(‌وَلَوْ ‌عَزَّرَ ‌وَلِيٌّ) ‌وَلَدَهُ (وَوَالٍ) مَنْ رُفِعَ إلَيْهِ (وَزَوْجٌ) زَوْجَتَهُ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنْ نُشُوزٍ وَغَيْرِهِ، (وَمُعَلِّمٌ) حَبِيَّةُ وَيُسَمَّى فِي غَيْرِ الْوَالِي تَأْدِيبًا أَيْضًا (فَمَضْمُونُ) تَعْزِيرِهِمْ عَلَى الْعَاقِلَةِ إذَا حَصَلَ بِهِ هَلَاكٌ لِأَنَّهُ مَشْرُوطٌ بِسَلَامَةِ الْعَاقِبَةِ قَوْلُهُ: (‌وَلَوْ ‌عَزَّرَ ‌وَلِيٌّ ‌وَلَدَهُ) أَيْ مُوَلِّيهِ قَوْلُهُ: (وَزَوْجٌ زَوْجَتَهُ) أَيْ الْحُرَّةَ وَكَذَا الْأَمَةُ بِلَا إذْنِ سَيِّدِهَا قَوْلُهُ: (وَمُعَلِّمٌ صَبِيَّةً) الْأَوْلَى مُتَعَلِّمًا مِنْهُ وَلَوْ غَيْرَ صَبِيٍّ وَسَوَاءٌ أَذِنَ لَهُ الْوَلِيُّ أَوْ لَا إذْ لَهُ التَّأْدِيبُ، وَلَوْ بِالضَّرْبِ بِغَيْرِ إذْنِ الْوَلِيِّ عَلَى الْمُعْتَمَدِ

حاشية الجمل  جـ 5 صـ 164

( قوله : بنحو حبس وضرب ) ولا يجوز بأخذ المال قال في الخادم واعلم أنه إنما يجوز الضرب بشروط أحدها أن لا يكون بشيء يجرح الثاني أن لا يكسر العظم الثالث أن ينفع الضرب ويفيد وإلا لم يجز الرابع أن لا يحصل المقصود بالتهديد ، والتخويف الخامس أن لا يكون في الوجه السادس أن لا يكون في مقتل السابع أن يكون لمصلحة الصبي فإن أدبه الولي لمصلحته أو المعلم لمصلحته دون مصلحة الصغير لم يجز لأنه يحرم استعماله في مصالحه التي تفوت بها مصالح الصبي الثامن أن يكون بعد التمييز ا هـ وقوله : الرابع . إلخ عبارة العباب كالروض في هذا ولا يجاوز رتبة ودونها كاف قال في الروض بل يعزر بالأخف فالأخف قال في شرحه كما في دفع الصائل ا هـ سم

،حاشية البجيرمي على الخطيب (3/ 476)

والمبرح هو ما يعظم ألمه بأن يخشى منه مبيح تيمم، فإن لم تنزجر به حرم المبرح وغيره. ويؤيد تفسيري للمبرح بما ذكر قول الأصحاب بضربها بمنديل ملفوف أو بيده لا بسوط ولا بعصا. اهـ. ابن حجر. وفي شرح م ر: أنه يضرب بنحو العصا والسوط، قال الحلبي: ولا يبلغ ضرب الحرة أربعين وغيرها عشرين اهـ.

،حاشيتا قليوبي وعميرة (4/ 209):

«(‌وَلَوْ ‌عَزَّرَ ‌وَلِيٌّ) ‌وَلَدَهُ (وَوَالٍ) مَنْ رُفِعَ إلَيْهِ (وَزَوْجٌ) زَوْجَتَهُ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ مِنْ نُشُوزٍ وَغَيْرِهِ، (وَمُعَلِّمٌ) حَبِيَّةُ وَيُسَمَّى فِي غَيْرِ الْوَالِي تَأْدِيبًا أَيْضًا (فَمَضْمُونُ) تَعْزِيرِهِمْ عَلَى الْعَاقِلَةِ إذَا حَصَلَ بِهِ هَلَاكٌ لِأَنَّهُ مَشْرُوطٌ بِسَلَامَةِ الْعَاقِبَةِ قَوْلُهُ: (‌وَلَوْ ‌عَزَّرَ ‌وَلِيٌّ ‌وَلَدَهُ) أَيْ مُوَلِّيهِ قَوْلُهُ: (وَزَوْجٌ زَوْجَتَهُ) أَيْ الْحُرَّةَ وَكَذَا الْأَمَةُ بِلَا إذْنِ سَيِّدِهَا قَوْلُهُ: (وَمُعَلِّمٌ صَبِيَّةً) الْأَوْلَى مُتَعَلِّمًا مِنْهُ وَلَوْ غَيْرَ صَبِيٍّ وَسَوَاءٌ أَذِنَ لَهُ الْوَلِيُّ أَوْ لَا إذْ لَهُ التَّأْدِيبُ، وَلَوْ بِالضَّرْبِ بِغَيْرِ إذْنِ الْوَلِيِّ عَلَى الْمُعْتَمَدِ.

،الكوكب الوهاج شرح صحيح مسلم بن الحجاج ۱۸۹/۱ محمد الأمين الهرري (ت ١٤٤١)

(بحسب المرء): أي كافي المرء (من) جهة (الكَذِبِ أنْ يُحَدِّثَ) ويَرْوِيَ (بكُل مَا سَمعَ) قبل أن يَتَبَيَّنَ فيه ويَسْتَيْقِنَ. قال السنوسي: (وقوله: «بحسب المرء بإسكان السين وهو مبتدأ، والباء زائدة، ومعناه: يكفيه ذلك من الكذب؛ فإنه قد استكثر منه، وقريب منه: كَفَى بِالمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلَّ ما سَمِعَ أي: كَفَى المرء من الكذب حديثه بكل ما سَمِعَ؛ أي: فقد أخذ من الكذب حظا وافرًا، فالظاهرُ أَنَّ الباء زائدة على المفعول، وأن يُحَدَّثَ: فاعل كَفَى، وكذبًا: تمييز، والله أعلم) قال النووي: (وأما معنى الحديث والآثار التي في الباب ففيها الزجر عن التحديث بكل ما سمع الإنسان؛ فإنه يسمع في العادة الصَّدْقَ والكَذِبَ، فإذا حدث بكُلِّ ما سَمِعَ .. فقد كَذَبَ؛ لإخباره بما لم يَكُنْ، وقد تَقَدَّمَ أَنَّ مذهب أهل الحق: أَنَّ الكَذِبَ هو الإخبار عن الشيء بخلاف ما هو، ولا يُشترط فيه التعمد، لكن التعمد شرط في گونه آثما، والله أعلم)

،الموسوعة الفقهية الكويتية (20/ 271)

«لما كانت الدعوى في حقيقتها إخبارا يقصد به ‌طلب ‌حق ‌أمام القضاء، وهي تحتمل الصدق والكذب، فمن البدهي أن تكون محرمة إذا كانت دعوى كاذبة، وكان المدعي يعلم ذلك، أو يغلب ذلك على ظنه. أما إذا كان يغلب على ظنه أنه محق في دعواه، فهي عندئذ تصرف مباح، فله أن يرفعها، إلا إذا كان يقصد بها الضرار، فتكون محرمة، كما لو كان يعلم أن غريمه لا ينكر حقه، وأنه على استعداد لتوفيته إياه، فيرفع الدعوى للتشهير به، فتكون محرمة.»

Peserta:

  1. Forum Diskusi Santri Salaf
  2. Mu’allimin
  3. Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Marhalah Ula – semester 1
  4. Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Marhalah Ula – semester 3
  5. Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Marhalah Ula – semester 5
  6. Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Marhalah Ula – semester 7
  7. Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Marhalah Tsaniyah (M2)
  8. Ma’had Aly Yusuf Masyhar
  9. Ma’had Aly Tarbiyatun Nasyi’in Pacul Gowang
  10. Ma’had Al-Jami’ah UNHASY
  11. PP. Tarbiyatun Nasyi’in Pacul Gowang
  12. PP. Al – Hudaya
  13. PP. Fathul Ulum Ngoro
  14. Majelis Fathul Qorib Tebuireng
  15. PKPT IPNU IPPNU Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
  16. PMII Rayon Yusuf Hasyim
  17. MWCNU Diwek
  18. PP. Falahul Muhibbin

*Hasil rumusan ini ditetapkan oleh Lembaga Bahtsul Masa’il Ma’had Aly Hasyim Asy’ari (LBM MAHA) dengan terselenggaranya Bahtsul Masail Se-Tebuireng Raya pada Kamis, (16/01/2025).