Tasawuf sebagai Solusi atas Maraknya Sekularisasi di Dunia Islam
Tasawuf sebagai Solusi atas Maraknya Sekularisasi di Dunia Islam
Dalam Islam ada tiga ilmu yang harus dipelajari oleh seluruh orang muslim. Salah satunya adalah ilmu tasawuf. Adapun pengertian dari ilmu tasawuf sendiri adalah ilmu yang menjelaskan tentang tata cara memperbaiki dan membersihkan hati dari penyakit-penyakit yang dapat merusak amal.
Sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah saw menjelaskan betapa peran hati sangat penting dalam seluruh aktifitas kehidupan manusia. Jika hati sehat dan bebas dari penyakit, maka seluruh badan juga akan ikut sehat. Sebaliknya, jika hati sakit dan kotor, maka badan juga akan ikut sakit dan merasakan dampaknya. Betapa pentingnya peran hati dalam meng-handle seluruh gerak dan kinerja tubuh. Oleh karena itu, tak salah Rasulullah saw memberikan isyarat penting bagi umatnya untuk senantiasa menjaga dan membersihkannya.
Para ulama menangkap akan pentingnya nasihat Rasulullah saw tersebut, terutama cara untuk menjaganya dan membersihkannya jika ada salah satu penyakit yang masuk. Perjalanan seorang hamba tidak cukup hanya dengan bermodalkan syariat dhahir saja secara penuh setelah membangun pondasi dengan akidah yang kuat. Mencukupkan diri hanya dengan syariat yang pada dasarnya masih dalam lingkup ibadah dhahir, sangat rentan terserang penyakit amal yang pada ujungnya akan menghancurkan bangunan syariah tersebut dengan mudah. Ibarat tanaman yang disirami dengan rutin dan dipupuk dengan cukup tapi lupa akan perlunya obat pembasmi hama, akan menyebabkan rusaknya bahkan matinya tanaman tersebut.
Jadi, ilmu tasawuf ini ibarat pembersih hati dan penjaganya dari penyakit-penyakit yang akan menyebabkan rusaknya amal. Karena betapa ruginya seorang hamba yang menanam amal banyak namun, tidak disertai niat yang baik dan hati yang bersih yang akhirnya menjadikan amalnya berhamburan bagaikan kapas yang dibiarkan tertiup angin. Tidak ada artinya sama sekali.
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ (رواه البخاري في باب فضل من استبرأ لدينه)[1]
A. Terjemah Hadis
Diceritakan dari Abu Nuaim dari Zakaria dari Amir berkata: saya mendengar Numan bin Basyir berkata Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, dan yang haram itu juga jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang masih syubhat (samar/belum jelas) yang belum diketahui banyak orang. Maka barang siapa yang menjaga (dirinya) dari perkara syubhat, maka ia terlepas diri (demi keselamatan) agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjerumus ke dalam perkara syubhat maka ia akan terjerumus ke dalam perkara-perkara yang haram. (Perumpamaan orang semacam ini) seperti pengembala yang mengembalakan hewan ternaknya di sekitar kawasan terlarang, maka hampir ia (dikhawatirkan)akan memasukinya. Ketahuilah, sesungguhnya setiap raja memiliki kawasan terlarang. Ketahuilah setiap kawasan yang terlarang oleh Allah SWT adalah hal-hal yang diharamkannya. Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Apabila daging tersebut baik, maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan jika segumpal daging tersebut buruk, maka buruk pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.”
B. Hasil Takhrij
C. Bagan Sanad
D. Syarah Hadis
Hadis ini memiliki beberapa faedah dan poin penting. Pertama, baiknya amal bergantung dengan baiknya hati. Dan rusaknya amal bergantung pula dengan rusaknya hati. Sebagaimana perkataan Ibnu Rajab “Suatu kaum yang hatinya baik tidak akan tersisa lagi dalam dirinya menghendaki selain Allah, dirinya tidak tergerak kecuali hanya karena Allah dan sesuatu yang diridhai-Nya.”[2] Kedua, ketika hati seseorang telah baik, maka akan baik pula anggota dhahirnya, serta anggota tubuhnya pun akan tergerak untuk melakukan kebaikan.
Sebagian orang awam menyangka bahwa tidak ada korelasi antara baiknya hati dan baiknya amal. Mereka berdalil dengan hadis Rasulullah saw yang berbunyi: “التقوى ههنا” Nabi saw mengisyaratkan tiga kali pada dadanya. Pemahaman ini tentu pemahaman yang keliru menurut syariat. Kesalahan ini timbul karena adanya dua faktor, adakalnya karena bodoh, dan adakalanya karena hanya nafsu semata. Namun yang wajib kita ketahui, sesungguhnya iman itu mencakup pada ucapan, perbuatan, dan juga niat. Adapun baiknya anggota batin akan memberikan dampak pada baiknya anggota dhahir. Maka ketika anggota batin bertambah baik maka akan tambah pula kebaikan pada anggota dhahir.
Ketiga, seorang muslim wajib untuk memperhatikan anggota batin yang menjadi sebab baiknya hati dengan menjauhi perkara yang dapat merusaknya, baik berupa perkara syubhat ataupun syahwat. Karena jika hatinya baik, maka akan baik pula anggota badan yang lain. Seperti yang dilakukan oleh para dai dan pendidik, mereka akan mementingkan dan memperbaiki hati mereka dahulu dengan amalan riyadhoh dan mujahadah. Ketika hatinya sudah baik, maka hati akan mudah untuk diisi dengan pelajaran hikmah dan keimanan serta lebih mudah untuk menerima nasihat akan kebaikan.
- Aktualisasi Hadis
Berbicara mengenai masalah hati sangat identik sekali dengan ilmu tasawuf. Karena tugas tasawuf adalah mengidentifikasi masalah batin yang bisa merusak amal, lalu memperbaikinya. Walaupun ilmu tasawuf tidak ada di zaman Nabi saw namun perilaku dan praktik tasawuf sudah tercermin sejak zaman itu. Hal ini terbukti dengan landasan dan ajaran tasawuf yang diambil dan disesuaikan dengan praktik-praktik yang dilakukan oleh tabiin, sahabat, serta Rasulullah saw. Kalau diteliti, konsep dan akar pemikiran tasawuf ini bersumber dari konsep ihsan, di mana ihsan itu sendiri merupakan bagian dari dimensi yang mengarah kepada ibadah batin.
Di era modern sekarang, tasawuf banyak disalahfahami dan dipandang sebelah mata. Kehidupan tasawuf yang identik dengan kesederhanaan banyak dianggap hanya akan menghalangi kebebasan bergaya. Tasawuf dimispersepsikan sebagai suatu yang menghalangi penganutnya untuk mengikuti perkembangan zaman. Tasawuf hanya identik dengan menyendiri, menjauh dari keramaian, dzikir, puasa terus menerus dan melakukan ibadah dengan porsi yang sangat besar. Pemahaman yang salah di ataslah yang akhirnya membuat orang awam anti terhadap tasawuf. Padahal jika kita melihat sejarah, tidak sedikit sufi yang memiliki kekayaan yang melimpah dan juga hidup dengan kekayaan tersebut dengan tanpa harus berpenampilan sederhana, kumuh, dan jauh dari khalayak ramai. Sebut saja Syaikh Abu Hasan asy-Syadzili. Semua orang meyakini kewalian beliau, bahkan tidak sedikit yang mengatakan bahwa beliau adalah wali qutub. Meskipun begitu, tidak satupun dari mereka yang mengingkari akan kekayaan dan gaya hidup mewah beliau. Karena memang tasawuf tidak mengajarkan penganutnya untuk menjadi miskin, tapi mengajarkan untuk membelanjakan harta dan menginfakkanya sesuai pada tempatnya.
Kesalahfahaman ini muncul setidaknya, karena orang-orang tidak memahami sejarah dan ajaran tasawuf secara benar. Faktor ini diperparah dengan munculnya beberapa oknum yang menamakan dirinya sebagai kelompok pengikut tasawuf, padahal ajarannya sangat bertentangan dengan ajaran tasawuf itu sendiri.
Jika orang sudah salah dalam memahami tasawuf dari prinsip awal dan hakikatnya, maka akan terjadi pemisahan antara tasawuf dengan kehidupan. Ketika tasawuf sudah dipisahkan dari kehidupan, maka manusia akan cenderung sekuler dan hanya mementingkan sesuatu yang bersifat dhahir. Tidak hanya itu, mereka akan beranggapan bahwa ilmu tidak mempunyai kaitan sama sekali dengan agama. Ilmu ya ilmu, agama ya agama, ekonomi ya ekonomi, agama ya agama. Pandangan sekuler inilah yang akhirnya akan muncul pada diri manusia ketika tasawuf dipisahkan dari kehidupan manusia. Karena hanya tasawuflah yang dapat mewakili dimensi metafisika yang merupakan sesuatu mutlak yang harus diyakini dalam agama Islam.
[1] Al-Bukhori, Shohih Bukhori , Juz 1, Hal 56
[2] Ibnu Rajab, Jamiul Ulum wal Hikam, 143