Hadis Palsu: Modus dan Solusi
Hadis Palsu: Modus dan Solusi
Oleh: Dayan Fithoroini*
Pada zaman sekarang, media sosial berperan besar dalam menyebarkan segala informasi, termasuk hadis. Namun sangat disayangkan di antara hadis-hadis yang disajikan melalui media sosial tersebut terdapat hadits yang tidak valid. Melalui Facebook, WhatsApp, Twitter, Instagram, Website, dan sebagainya hadis-hadis yang tidak valid tersebut disebarkan. Misalnya “Assalamu’alaikum cuma mau ngingetin kalau sekarang ini sudah masuk Sya’ban dan malam nisfu Sya’ban jatuhnya lima Juli malam Jum’at (tutup buku amalan). Jadi sebelum terlambat, saya ingin minta maaf kalau ada kesalahan, baik disengaja maupun tidak, karena Rasulullah SAW bersabda: ‘Barangsiapa yang mengingatkan kedatangan bulan ini (nisfu Sya’ban), haram api neraka baginya. Aamiin.”
Tidak jarang kita menemui post atau broadcast yang memuat hadis. Bahkan kadang-kadang disertai kalimat motivasi untuk menyebarkannya dan kalimat ancaman bagi yang tidak menyebarkan, seperti “Semoga yang men-share artikel ini mendapat surga, Amin”, “Jangan abaikan artikel ini, jika tidak, dalam 24 jam akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan”, dan sejenisnya. Parahnya, kadang artikel hadis dusta tersebut dibingkai sedemikian rupa sehingga indah dan menarik, juga menggunakan gelar-gelar dan kepopuleran nama untuk penyebaran dan memanfaatkan momen-momen penting untuk penyebaran seperti Rajab, Sya’ban, Ramadhan, dan sebagainya.
Dalam ilmu Mustholah Hadits, hadis yang tidak valid seperti yang dibahas di atas dinamakan hadis palsu atau hadits maudhu’. Hadis palsu adalah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dengan dusta atau tanpa ada kaitan yang hakiki dengan Rasulullah. Karena tidak ada kaitan dengan Rasulullah, maka hadits palsu sebenarnya bukanlah hadis. Hanya saja para ulama menamainya hadis karena sang rawi menganggapnya hadis.
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis, apakah telah terjadi ketika Nabi masih hidup, atau sesudah beliau wafat. Namun, mayoritas ulama’ hadits berpendapat bahwa pemalsuan hadis baru terjadi untuk pertama kalinya setelah tahun 40 H, yaitu Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thallib. Ketika itu, terjadi perpecahan politik antara kelompok Ali, Mu’awiyah, serta kelompok Khawarij. Masing-masing kelompok berusaha membuat klaim kebenaran dengan berbagai argumen yang mereka cari dari Al Quran dan Hadis. Kemudian ketika mereka tidak mendapatkannya, merekapun membuat hadis-hadis palsu. Maka jelaslah bahwa munculnya hadis palsu disebabkan oleh faktor politis.
Seiring berjalannya waktu, hadis palsu semakin menyebar. Saat ini telah banyak beredar hadist palsu yang dilariskan oleh para penceramah di mimbar, sekolah, dan berbagai perkumpulan lain. Misalnya hadis, “Carilah ilmu sekalipun ke negri Cina.” Hadis ini adalah hadis mungkar dan batil, tidak ada asal usulnya serta tidak ada jalan yang menguatkannya. Demikianlah para imam ahli hadis telah mengomentari hadis ini seperti Imam Bukhari, Al Uqaili, Abu Hatim, Yahya bin ma’in, Ibnu Hibban dan Ibnu Jauzi (lihat kitab Tahdzibut Tahdzib karya ibnu Hajar al Asqolani). Selain melalui ceramah langsung, hadis palsu juga tersebar melalui media-media sosial yang begitu banyak dan canggih, seperti Facebook, WhatsApp, Telegram, Twitter, dan sebagainya. Seperti contoh sebelumnya “Rasulullah SAW bersabda: ‘Barangsiapa yang mengingatkan kedatangan bulan ini (nisfu Sya’ban), haram api neraka baginya.”
Penyebaran hadis palsu tersebut tentunya tidak lepas dari tujuan-tujuan tertentu. Dalam buku Himpunan Hadits Lemah dan Palsu karya A. Yazid Qosim, menyebutkan bahwa terdapat empat faktor yang melatarbelakangi penyebaran hadis palsu pada zaman sekarang, yaitu ingin merusak aqidah, fanatik golongan, mencari keuntungan komersil, dan mencari popularitas. Terutama faktor ingin merusak aqidah. Faktor ini paling berbahaya karena mereka (zindiq) ingin merusak Islam dari dalam.
Menyikapi Hadis Palsu
Hadis palsu yang tersebar sudah barang tentu berdampak buruk pada masyarakat awam yang mudah terpengaruh. Guna menghentikan dampak buruk tersebut, setidaknya dibutuhkan peran dari tiga pihak, yaitu penyebar, penerima, dan ahli ilmu. Karena ketiga pihak tersebut merupakan orang-orang yang mempunyai andil besar dalam menghentikan penyebaran.
Para penyebar, terutama yang melalui media sosial, mungkin saja mempunyai niat baik dengan menyebarkan ucapan Rasulullah kepada khalayak umum. Hanya saja, niat baik tersebut malah berdampak buruk karena hadis yang disebar tidak valid. Oleh karena itu, penyebar harus selektif dalam men-share hadis dengan meneliti keshahihannya terlebih dahulu sebelum dia menyebarkannya. Sekurang-kurangnya, penyebar harus menanyakan kepada orang yang lebih paham hadits tentang validitas hadits yang disebar.
Para penerima sebaran, mereka adalah pihak yang mendapat kiriman hadis Nabi SAW dari penyebar. Jika mampu, hendaknya penerima sebaran mengecek kebenaran hadits dengan berbagai cara, baik dengan mengecek kitab aslinya atau bertanya kepada ustadz dan kyai yang terpercayai dan ahli di bidang hadist atau cara-cara lainnya.
Jika kita perhatikan, kedua pihak di atas akhirnya akan bergantung kepada sosok yang ahli dalam bidang hadis. Ahli hadis akan menjadi rujukan akhir untuk memastikan validitas sebuah hadis. Bagaimana dengan ahli ilmu yang tidak fokus mengkaji hadis? Para mubaligh, kyai, ustadz, dan da’i yang tidak fokus mendalami ilmu hadis memang berkemungkinan kecolongan saat mendakwahkan sebuah hadis. Namun, setidaknya mereka akan dengan mudah sadar apakah hadis yang didakwahkan valid atau tidak. Mereka mempunyai kelebihan berupa pemahaman agama dan kemampuan menyelidiki validitas hadis sendiri.
Oleh karenanya, peran ahli ilmu sangat dibutuhkan guna menghentikan penyebaran hadis palsu. Beberapa usaha yang bisa dilakukan oleh ahli ilmu antara lain: Pertama, menyampaikan bahaya penyebaran hadis palsu, baik dalam khutbah jum’at, tulisan, kajian, ceramah, website, dan WhatsApp, atau TV dan radio. Kedua, menyebarkan hadis-hadits shahih, karena hadis palsu menyebar tatkala hadits shahih kurang tersebar. Ketiga, membuat website, grup WhatsApp, atau grup lainnya yang ditangani oleh para penuntut ilmu yang fokus mengkaji hadis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang hadis yang beredar di masyarakat.
Akhirnya, kita mohon kepada Allah SWT agar menjadikan kita semua termasuk pembela-pembela Rasulullah SAW dari segala hujatan dan kedustaan yang dialamatkan kepada beliau. Amin.
*Mahasantri angkatan 2015
Tulisan ini dimuat dalam MAHA Media edisi 35