Poin Utama Diskusi Tentang Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari
Poin Utama Diskusi Tentang Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari
Jum’at, 07 April 2017, BEM MAHA mengadakan diskusi dengan tema “Sejarah Tebuireng” yang dikerucutkan pada pembahasan sosok Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari sebelum mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Tema dan fokus pembahasan tersebut dipilih dengan alasan memperkaya wawasan mahasantri atas sosok Hadratussyaikh, khususnya mahasantri semester dua yang mendalami progam studi hadits dan ilmu hadits. Bagaimanapun, Hadratussyaikh merupakan ulama’ hadits terkemuka di Indonesia sehingga akan kurang kaffah apabila mahasantri tidak mengenal sosok beliau secara mendalam.
Diskusi perdana yang diadakan oleh Mentri Dalam Negeri BEM tersebut mendatangkan seorang narasumber, yaitu Septian Pribadi dan menunjuk Presiden Mahasantri, Fatikhudin, sebagai pembanding. Kedua orang tersebut kiranya telah layak berbicara tentang sejarah Tebuireng, termasuk sosok Hadratussyaikh.
Disadari atau tidak, mendatangkan narasumber dan pembanding di atas telah membawa perubahan yang cukup signifikan dalam corak diskusi BEM dibandingkan kepengurusan sebelumnya. Dalam diskusi BEM 2016, diskusi tidak begitu didominasi oleh narasumber karena narasumber hanya berperan sebagai pemantik, sedangkan dalam diskusi “Sejarah Tebuireng” yang digarap oleh BEM 2017, narasumber lebih mendominasi. Narasumber banyak berbicara guna memaparkan hasil riset tentang tema yang telah dilakukan narasumber sebelumnya. Maka corak diskusi yang disebut terakhir seperti sebuah seminar di mana narasumber membeberkan informasi lalu dikomentari oleh pembanding dan diakhiri dengan pertanyaan peserta untuk dijawab narasumber dan dikomentari pembanding.
Efek dari perubahan corak di atas setidaknya membuat alur diskusi cenderung “rapi”, sehingga jika seseorang ingin menulis hasil diskusi, dia akan menulis sebuah ringkasan materi dari narasumber ditambah dengan komentar pembanding dan hasil tanya jawab yang juga dari sudut pandang narasumber dan pembanding. Kerapian tersebut tentunya mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. Namun terlepas dari analisis evaluatif tersebut, setidaknya terdapat sebuah gambaran umum tentang pembahasan yang terjadi dalam diskusi, yaitu:
Melalui media proyektor, narasumber mengawali penjelasan dengan menunjukkan ringkasan perjalanan hidup Hadratussyaikh dalam sebuah gambar yang berisi hasil penggalian data narasumber. Dalam gambar tersebut terdapat 12 fase yang dianggap urgen dalam perjalanan hidup Hadratussyaikh. Dimulai dari datangnya Kiai Asy’ari (ayah Hadratussyaikh) ke Pondok Pesantren Gedangan pada abad ke-19 hingga didirikannya Pondok Pesantren Tebuireng pada tahun 1899. Ringkasan tersebut selanjutnya dijabarkan ulang dalam resum yang lebih detail berbentuk tulisan.
12 fase yang dipaparkan narasumber dapat dikategorikan menjadi tiga jenis perjalanan hidup Hadratussyaikh sebelum mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng, yaitu kelahiran, pencarian ilmu di Indonesia, dan pencarian ilmu di Makkah. Kategori kelahiran dimuat dalam empat fase pertama. Temasuk di dalamnya latar belakang keluarga dan kondisi lingkungan awal Hadratussyaikh.
Di dalam fase kelahiran ini dapat diketahui bahwa salah satu faktor yang membuat Hadratussyaikh alim adalah lamanya beliau di dalam kandungan sang ibu, yaitu selama 14 bulan. Selain itu, detail lokasi awal perjalanan hidup serta beberapa nama keluarga beliau juga dapat diketahui dalam fase tersebut. Tidak ketinggalan juga, di dalamnya tentu terdapat informasi tanggal lahir beliau yang menurut narasumber merupakan informasi yang tidak boleh tidak diketahui mahasantri. “Setidaknya mengetahui tanggal lahir beliau dapat diumpamakan istilah selemah-lemahnya iman”, kata narasumber sembari tersenyum.
Kategori kedua, pencarian ilmu di Indonesia terdiri dari empat fase juga. Mulai dari nyantri di pondok pesantren milik ayahnya di Desa Keras hingga nyantri di Pondok Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo. Dalam keempat fase tersebut narasumber menjelaskan dengan rinci pondok-pondok yang pernah ditempati oleh Hadratussyaikh dalam rangka mencari ilmu. Dapat diketahui pula bahwa Hadratussyaikh pernah mengalami dilema antara mencari ilmu dan menikah ketika berada di Siwalan Panji. Di pondok pesantren tersebut, sang kiai, Kiai Ya’kub, menawari Hadratussyaikh untuk menikah dengan putrinya yang bernama Khadijah. Dilema yang dialami Hadratussyaikh menemui titik terang saat Kiai Ya’kub memberi wejangan bahwa mencari ilmu tidak dibatasi oleh status seseorang menikah atau tidak. Dengan kata lain, seseorang yang telah berkeluarga masih tetap dapat mencari ilmu dengan baik bahkan tidak jarang lebih mantap.
Selain itu, terdapat satu hal yang sangat menarik dalam kategori pencarian ilmu di Indonesia yang dilakukan Hadratussyaikh, yaitu ketika berumur 13 tahun, beliau sudah mampu mengajarkan kitab-kitab yang telah dipelajarinya, baik melalui guru maupun otodidak. Hal itu membuktikan betapa cerdas sosok Hadratussyaikh dan membuktikan pula bahwa Hadratussyaikh tidak hanya mengandalkan pengajian dari guru-guru beliau. Dalam mencari ilmu, Hadratussyaikh tidak hanya menunggu diberi oleh guru, melainkan membaca secara mandiri juga Hadratussyaikh lakukan. Sebuah pola belajar yang selayaknya dilakukan oleh para santri hari ini.
Sayangnya dalam kategori pencarian ilmu di Indonesia ini tidak diketahui motif sesungguhnya mengapa Hadratussyaikh berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Dugaan narasumber, Hadratussyaikh melakukan hal seperti itu tanpa rencana. Dalam artian Hadratussyaikh tidak disuruh siapapun untuk mengarungi pesantren-pesantren guna menggenapi keilmuan yang terencana. Narasumber menduga bahwa Hadratussyaikh hanya merasa mendapat dorongan ingin berpindah dari dirinya sendiri.
Adapun empat fase terakhir dalam ringkasan perjalanan hidup Hadratussyaikh yang disediakan oleh narasumber membahas lika-liku belajar di Makkah dan diakhiri dengan pendirian Pondok Pesantren Tebuireng. Narasumber menjelaskan bahwa pada masa itu terdapat anggapan yang berlaku di masyarakat tentang kualitas seorang kiai. Masyarakat menganggap seorang kiai yang belum belajar di Makkah kurang berkualitas walaupun sang kiai memiliki banyak santri. Perihal tersebut sangat mungkin menjadi latar belakang pengembaraan Hadratussyaikh ke Tanah Suci tersebut.
Hadratussyaikh tidak berangkat ke Makkah sendirian. Istri dan mertuanya turut menemani beliau melakukan ibadah haji dan menuntut ilmu di Makkah. Namun, sebuah tragedi yang memilukan menimpa Hadratussyaikh. Setelah tujuh bulan berada di Makkah, sang istri melahirkan anak pertama bernama Abdullah. Tidak lama setelah kelahiran, sang istri meninggal dan disusul oleh sang anak. Sebuah guncangan batin menerpa Hadratussyaikh. Menghadapi guncangan seperti itu, Hadratussyaikh banyak menghabiskan waktu di majelis-majelis ta’lim dan menelaah kitab-kitab. Aktivitas seperti itu tentunya berguna untuk mereda lamunan yang bisa muncul akibat musibah yang dihadapi.
Tidak lama kemudian Hadratussyaikh bersama mertuanya pulang ke Tanah Air dan kembali lagi ke Makkah bersama seorang adiknya yang beranama Anis untuk kembali menimba ilmu. Di antara guru-guru Hadratussyaikh yang masyhur adalah Syaikh Nawawi al-Bantani, Abdul Khatib Sambas, dan Syaikh Mahfudz at-Tarmasi. Yang disebut terakhir merupakan ulama’ hadits terkemuka yang memegang sanad resmi Bukhari-Muslim ke-23. Berarti, Hadratussyaikh merupakan pemegang sanad ke-24.
Pada masa-masa belajar Hadratussyaikh tersebut, pemikiran Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh sedang masyhur di Makkah. Narasumber menduga bahwa maraknya gagasan Neo-Revivalis tersebut sedikit banyak telah mempengaruhi pemikiran Hadratussyaikh tentang nasionalisme. Sehingga tidaklah mengherankan jika sepulang dari Makkah, Hadratussyaikh mempunyai pandangan nasionalis di antara kiai-kiai lain di Indonesia. Singkat cerita, Enam tahun berlalu dalam proses menimba ilmu di Makkah. Hadratussyaikh kemudian pulang dan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng pada usia 28 tahun.
Diskusi perdana yang diadakan pengurus BEM memang telah memantik mahasantri guna mendalami sosok guru besarnya, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Namun narasumber sempat mengingatkan bahwa diskusi tersebut belumlah cukup karena hanya terhenti pada fase mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Selain itu, narasumber juga tidak memungkiri bahwa data yang digali memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu mahasantri MAHA, khususnya prodi hadits dan ilmu hadits, diharapkan berkenan meneruskan dan melengkapi penggalian data yang telah narasumber lakukan. Pengungkapan sejarah seperti itu sudah selayaknya dilakukan oleh mahasantri yang mengaku “mengharap berkah” Hadratussyaikh dengan nyantri di Tebuireng. Akhirnya, semoga berkah Hadratussyaikh benar-benar didapat oleh mereka yang mengharapkannya.
Ditulis oleh M. Rizki Syahrul Ramadhan, mahasantri angkatan 2014.