Blog

Korona Merebak, Ibadah Malang Kadak (4)

Bincang di Masa Pandemi bersama KH. Mustain Syafi'i
Diskusi Publik

Korona Merebak, Ibadah Malang Kadak (4)

(Permohonan kepada yth : MENAG, KAPOLRI, MUI, PBNU)

Oleh: Ahmad Musta’in Syafi’ie

(Dishare via What App pada 13 April 2020)

Salam,

Memperhatikan fatwa ahli, terbersit pertanyaan : benarkah Covid-19 sederajat dengan Tha’un yang ada pada al-Hadis? Kata Tha’un serumpunan dengan kata ” THA’ANA” (menusuk). Tha’un, bentuk mubalaghah (sewazan dengan kata “faruq”), maknanya sangat menusuk atau menusuk beneran.

Artinya, daya mematikan wabah itu sangat dahsyat, seperti kemungkinan besar matiya orang yang ditusuk dengan tusukan yang sangat serius. Gambaran keganasan tha’un tersebut terpapar pada ujaran rakyat yang cukup viral: “Pagi sakit, sore mati. Sore sakit, pagi mati”. Itu sekedar gambaran perspektif filologis.  

Memahami dalil yang dipakai Majlis Ulama’ Indonesia, PBNU dan para sekutunya terkait fatwa “menutup” masjid, sehingga tidak mengizinkan shalat jum’ah, tidak berjama’ah, tidak tarawih, tidak tadarus al-qur’an di bulan Ramadan semuanya bertumpu pada alasan : darurat, dlarar, dlirar, tahlukah, mafsadah, yassiru dan lain-lain.

Kami sangat menghormati, meskipun dalil lain yang menjadi “muqabalah” juga sangat banyak. Apalagi tidak satupun ada Hadis khusus yang tegas menjelaskan bahwa Rasulullah SAW gagal jum’ahan karena wabah. Lepas dari itu semua, akan lebih bijak bila kita sama-sama arif melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.   

  1. Pertama, kini pemerintah menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di sebagian daerah dan mengecualikan beberapa tempat, seperti pasar, pabrik, terminal, SPBU dan lain-lain dengan tetap memberlakukan syarat medis, seperti pakai masker, cuci tangan, tidak bersentuhan dll. Beberapa sentra perdagangan sudah dibuka, termasuk perusahaan, perkantoran dan lain-lain. 
  • Kedua, Wakil Presiden, KH. Makruf Amin, PBNU, NU Jatim menggelar istighatsah kubra on line. Di panggung utama, para pemimpin istighatsah dan orang-orang sekitar memakai masker dan berjarak. Disadari atau tidak, apa yang beliau-beliau lakukan tersebut sejatinya adalah uswah, adalah contoh, adalah panduan untuk umat bila hendak melakukan ibadah bersama. 
  • Ketiga, sebagian daerah provinsi tetap membuka masjid dan beberapa masjid besar tetap menyelenggarakan shalat berjamaah dan jum’ahan. Seperti masjid Nasional al-Akbar Surabaya, masjid Agung Jombang dan lain-lain dengan tetap mematuhi protokol kesehatan dan berjalan khusyu’ sekali.

Nampaknya, semua itu berpulang pada komitmen masing-masing kepala daerah termasuk kegigihan pengurus masjid. Dan kami memaklumi, DMI (Dewan Masjid Indonesia) yang punya masjid, dan IPIM yang mengimami ibadah kurang terdengar suaranya.

  • Keempat, bahwa efek dari fatwa menutup masjid dan maklumat Kapolri yang memberi kewenangan aparat bertindak tanpa lebih dahulu ada edukasi menyentuh ke bawah acap kali menimbulkan keributan. Selain menimbulkan imej buruk terhadap masjid sebagai paling jorok dan berpotensi menyebar virus ketimbang pasar, juga tidak sedikit jum’ahan dibubarkan paksa, sementara pasar di sebelah dibiarkan. 
  • Kelima, beberapa hari lagi bulan suci Ramadlan tiba. Rahmat dikucurkan, ampunan dibagi-bagikan, pahala dilipat gandakan dan DOA DIKABULKAN. Bulan yang amat dirindukan oleh Rasulullah SAW, hingga dua bulan sebelumnya beliau berdoa semoga bisa menjumpai bulan suci ini.
  • Keenam, tuan-tuan pewaris para nabi (ulama’), para pejabat (umara’) tidak perlu mengistimewakan masjid, tapi cukup BERBUAT ADIL SAJA KEPADA MASJID dan tidak mendiskreditkan masjid. Cukup perlakukan masjid sama dengan pasar, sama dengan pabrik, sama dengan tempat tuan-tuan beristighatsah.

Untuk itu, sungguh lebih bijak dan mulia bila khusus bulan suci Ramadhan ini, tuan-tuan berkenan memberi fatwa penyempurna yang lebih SEJUK, BIJAK DAN TEGAS. Izinkan masjid-masjid yang mampu memenuhi protokol kesehatan dan berada di zona aman menyelenggarakan ibadah bersama dengan pengawasan bersama : pengurus masjid, tokoh agama dan aparat pemerintah.

Dengan dipenuhinya semua syarat-rukun kesehatan seperti tertuang dalam panduan penanggulangan Covid-19 yang dimaklumatkan pemerintah, maka illah al-hukum yang tuan pakai sebagai dasar pelarangan ke masjid, khusus masjid-masjid yang telah memenuhi syarat otomatis menjadi TIDAK ADA, seperti tidak adanya illah hukum pada tempat tuan-tuan beristighatsah.

Kami percaya, tuan-tuan adalah Ulama’ berilmu mendalam dan berkhasy-yah tinggi serta bijak melihat masalah. Kecuali bila masjid atau mushalla sudah tidak mampu menapung para jama’ah karena pen-jarak-an shaff, maka cukuplah. Disilahkan mereka shalat di rumah masing-masing.

Dan akan lebih sejuk lagi jika tidak ada lagi yang berfatwa, bahwa, “..beribadah di rumah tidak kurang pahalanya dibanding di masjid”. Itu bisa benar, tapi tidak tepat untuk masjid-masjid “hijau”. Bukankah masjid punya banyak kelebihan yang tidak dimiliki rumah? Masjid sebagai tempat paling utama (afdlal al-biqa’). Ada khatwah (langkah berpahala), ada i’tikaf, ada rahmat terkucur dan lain-lain.

Sungguh Allah SWT sangat senang kepada hamba-Nya yang menunaikan ibadah semampu-mampunya (..ma istatha’tum, haqq tuqatih), dengan pelaksanaan sebaik-baiknya yang dia bisa (ahsan ‘amala). Sesuatu yang tidak bisa dicapai semua, tidak boleh diabaikan semua. “Ma la yudrak kulluh, la yutrak kulluh“.   

Fatwa yang menyejukkan membuat masyarakat menjadi lebih tenteram, punya pedoman, punya kearifan lokal sehingga bisa menimbang-nimbang, kemudian mengambil keputusan : apakah tetap membuka masjid untuk ibadah bersama di bulan Ramadhan atau terpaksa harus menutup. 

Doa puluhan juta umat islam di masjid, di bulan suci Ramadlan, kami yaqin, haqq al-yaqin, insya Allah lebih mempercepat negeri ini bebas dari Covid-19. Amin. Barakallah fikum.