Respon Hadis Terhadap Fenomena Childfree
Respon Hadis Terhadap Fenomena Childfree
Era disrupsi atau juga dikenal dengan istilah revolusi industri 4.0 ditandai dengan digitalisasi dan otomatisasi menjadi sentral dalam setiap dimensi kehidupan manusia hari ini. Digitalisasi dan otomatisasi tidak lain adalah konsekuensi logis dari progresivitas perkembangan teknologi informasi. Sehingga, cara berfikir (mode of thought) kita lebih dipengaruhi oleh hal hal seperti;Artifisisal Intelegensi (AI), robotics, internet of things (IoT), mesin-mesin otomatis, 3D printing , Big-Data, nanoteknologi, bioteknologi dan lain-lain. Revolusi digital ini memiliki efek multifacet terhadap masyarakat global, baik di bidang pemerinahan, bisnis, akademik, budaya, ekonomi-politik, individu maupun civil society.[1]
Salah satu dampak disruptif pada era ini adalah munculnya tren baru di kalangan masyarakat, yakni pasangan suami istri memilih untuk tidak memiliki anak. Tren ini dikenal dengan istilah Childfree. Mengutip Oxford Dictionary, childfree adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi tidak memiliki anak, terutama karena pilihan. Istilah ini familiar dalam agenda feminisme yang menganggap childfree sebagai pilihan perempuan untuk menentukan jalan hidupnya. Budaya ini mulai muncul sejak akhir tahun 2000-an. Di Indonesia sendiri budaya ini mulai buming disuarakan oleh beberapa kalangan. Mulai dari Gita Savitri, Cinta Laura dan chef Juna.
Sekilas hal ini tentu bertentangan dengan ajaran Islam yang menjadikan pernikahan sebagai perantara untuk memiliki keturuanan. Bahkan menjadikannya sebagai salah satu tujuan utama syari’at (maqoshidus syari’ah) yaitu Hifdzun nasl (menjaga keturunan). Rasulullah dalam Hadisnya bersabda:
– حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ، وَعَفَّانُ، قَالَا: حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ خَلِيفَةَ، حَدَّثَنِي حَفْصُ بْنُ عُمَرَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ، وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا، وَيَقُولُ: «تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» .
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu anhu berkata: Rasulullah Saw memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: “Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat.” (HR. Ahmad No: 12613).
A. Takhrij Hadis
No. | Muallif | Kitab | No. Hadis |
1 | Ahmad Ibn Hambal | Musnad Ahmad | 1261 |
2 | Ahmad ibn Hambal | Musnad Ahmad | 13669 |
3 | Abi Dawud | Sunan Abi Dawud | 2050 |
4 | Imam Al-nasa’i | Sunan Al-Nasa’i | 3227 |
5 | Ibnu Hibban | Sahih Ibn Hibban | 4028 |
C. Syarah Hadis
Hadis di atas menjelasakan bahwasanya Rasulullah menganjurkan untuk menikahi wanita yang mencintai pasangannya (Wadud) dan wanita yang produktif (walud), hal ini bertujuan untuk menjalin keharmonisan antara kedua pasangan dan menjadi wasilah daripada tuntutan syara’ yakni memperbanyak keturunan agar supaya meningkatkan jumlah kuantitas ummat Muhammad.[2]
Dalam riwayat lain Rasulullah juga memberikan peringatan terhadap ummatnya agar tidak seperti para pendeta Nasrani yang memilih untuk tidak menikah dan meninggalkan harta.[3] Hal ini terlihat jelas bahwa memiliki keturunan merupakan tujuan utama (maqshad) dari hadis di atas dan juga menjadi salah satu landasan penetapan maqashid menjaga keturunan (hifdzun nasl).
D. Aktualisasi Hadis
Terdapat banyak alasan yang melatarbelakangi seseorang bersama pasangannya memutuskan untuk melakukan childfree diantaranya yaitu kekhawatiran tumbuh kembang anak, masalah personal, masalah finansial dan bahkan karena isu permasalahan lingkungan.[4]
Menjaga Keturunan Dalam Pandangan Maqashid
Mempunyai keturunan merupakan salah satu tujuan perkawinan di samping tujuan-tujuan lainnya. Oleh sebab itulah diatur hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan dalam bentuk perkawinan. Hal ini dimaksudkan agar mereka memperoleh anak cucu yang akan meneruskan garis ke turunan mereka. Dengan lembaga perkawinan, Allah SWT mengakui garis keturunan tersebut, begitu juga dengan masyarakat. Akan tetapi ketika lembaga perkawinan tidak diindahkan, maka Allah SWT tidak akan mengakui garis keturunan tersebut, termasuk masyarakat. Akibatnya secara vertikal (Allah SWT) dan horizontal (sosial kemasyarakatan) tidak ada kehormatan yang dimiliki berkenaan dengan keturunan yang dihasilkan. Ketika keturunan jelas, maka akan ada hukum-hukum selanjutnyayang berhubungan dengan itu, seperti hubungan kewarisan, kekerabatan, dan sebagainya. Oleh karena itu, pemeliharaan keturunan merupakan salah satu hal pokok yang mesti dipelihara oleh manusia.[5]
Memelihara keturunan, ditinjau dari kebutuhannya dapat dibagi menjadi tiga[6]:
- Memelihara keturunan pada peringkat al-dharuriyah, seperti disyariatkannya menikah dan dilarangnya berzina. Menikah adalah cara sah untuk mendapatkan keturunan, sebaliknya anak hasil zina tidak diakui sebagai keturunan yang sah. Oleh karena itu, mengabaikan aturan tentang memperoleh keturunan ini akan merusak eksistensi ketu runan, baik di dunia maupun di akhirat. Pentingnya garis keturunan yang jelas ini tidak hanya menghasilkan ke maslahatan di dunia, tetapi juga untuk kehidupan akhirat nanti.
- Memelihara keturunan pada peringkat al-hâjiyah, seperti keharusan adanya saksi dalam pernikahan, menyebutkan mahar ketika melangsungkan akad nikah dan diberikannya hak talak kepada suami. Apabila yang demikian tidak dilakukan, akan menyulitkan dalam hal pengakuan perkawinan yang berimbas kepada keturunan, akan menyulitkan bagi suami karena harus membayar mahar mitsl, dan kesulitan untuk mengakhiri perkawinan di saat perkawinan itu sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Di Indonesia, aturan tentang pencatatan perkawinan dapat dikategorikan kepada kebutuhan ini. Menurut ibn Taimiyah (w. 728 H), dalam hal ini juga diharamkan menikahi wanita pezina sebelum ia bertobat, dilarang menjatuhkan talak kecuali dalam situasi darurat, baik darurat agama maupun darurat dunia. Begitu juga larangan menyia nyiakan pendidikan anak-anak.25 Larangan-larangan ini juga bertujuan untuk menghindari seseorang dari kesulit an yang mungkin dialaminya berkenaan dengan pemeli haraan keturunan.
- Memelihara keturunan pada peringkat al-Tahsîniyah, seperti disyariatkannya khitbah (peminangan), dibolehkan melihat wanita yang akan dipinang, dan mengadakan walimah (resepsi) dalam pernikahan. Dalam bentuk larangan, misalnya larangan menikah dengan kerabat terdekat. Hal ini dilakukan untuk melengkapi acara pernikahan dan agar sebuah pernikahan lebih baik. Bila tidak dilakukan tidak akan berakibat negatif terhadap eksistensi perka winan dan keturunan.
Childfree Dalam Pandangan Fiqih
Konsep Childfree dalam kajian fiqih diilustrasikan sebagai bentuk kesepakatan menolak kelahiran atau wujud anak, baik sebelum anak potensial wujud ataupun setelahnya. Dalam kajian fiqih ada beberapa padanan kasus, yaitu menolak wujudnya anak sebelum sperma berada di rahim wanita, baik dengan cara, pertama, tidak menikah sama sekali. Kedua, dengan cara menahan diri tidak bersetubuh setelah pernikahan. Ketiga, dengan cara tidak inzal atau tidak menumpahkan sperma di dalam rahim setelah memasukkan penis ke vagina. Keempat, dengan cara‘azl atau menumpahkan sperma di luar vagina. Keempat hal di atas secara substansial sama dengan pilihan childfree dari sisi sama-sama menolak wujudnya anak sebelum berpotensial wujud. Apabila childfree yang dimaksud adalah menolak wujudnya anak sebelum potensial wujud, yaitu sebelum sperma berada di rahim wanita, dengan tujuan membatasi keturunan maka hukumnya mubah. Namun demikian kebolehan ini dapat berubah sesuai berbagai faktor yang mempengaruhinya. Seperti childfree yang dalam praktik riilnya dilakukan dengan menghilangkan sistem reproduksi secara total, maka hukumnya haram, dengan alasan apapun, baik karena kekhawatiran tumbuh kembang anak, masalah personal, masalah finansial[7]
Kesimpulan
Fenomena Childfree merupakan tren baru di kalangan masyarakat dunia pada umumnya dan di Indonesia khususnya. Keputusan untuk tidak memiliki keturunan ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya ; kekhawatiran tumbuh kembang anak, masalah personal dan masalah finansial. Namun dalam pandangan maqashidi salah satu tujuan disyari’atkannya pernikahan ialah memiliki dan menjaga keturunan, sehingga praktek childfree jika dilakukan dalam rangka memutus keturunan tentu hal ini sangat bertentangan dengan ajaran islam.
[1]Klaus Schweb, The Fourth Industrial Revolution,(Geneva: World Ekonomic Forum,2016)
[2]Abu al Hasan Mulla Ali al Harawi al Qary, Mirqatul Mafatih,(Beirut: Dar al fikr,2002), 5, 2047
[3]Zainuddin Muhammad al Munawi al Qahiry, At Taysir Syarah Jami’ as Shaghir, (Riyad: Maktabah as Syafi’i,1988),1,447
[4]Humas Uns, Childfree Dari Kacamata Pisikolog UNS, Universitas sebelas maret (blog), 22 Februari 2022,https://uns.ac.id/id/uns-update/childfree-dari-kacamata-psikolog-uns.html
[5] Busyro, Maqashid Syari’ah Pengetahuan Mendasar Memahami masalah, (Jakarta Timur: Prenada Media Group,2019),124
[6] Ibid. 125
[7]Abdullah al Hijazy as Syarqawy, Hasyiyah as Syarqawi, (Beirut: Dar al Kutub al Islamiyah, 2006)2,332