Talkshow Hari Kartini: Kartini dari Masa ke Masa
Talkshow Hari Kartini: Kartini dari Masa ke Masa
Kamis (27/04/23) dalam rangka memperingati Hari Kartini, Dewan Mahasantri Ma’had Aly (DEMA) Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang menyelenggarakan Talkshow Hari kartini dengan mengusung tema “Reinterpretasi Emansipasi Wanita”. Acara ini dilaksanakan secara daring melalui platform Instagram @galeri_maha dari jam 19.30 WIB hingga selesai.
Melalui Talkshow ini, Dema Ma’had Aly Tebuireng menghadirkan narasumber dari salah satu alumnus Ma’had Aly Hasyim Asyari sekaligus jurnalis dan aktivis gender, Siti Rahayu S.Ag dan acara ini dipandu oleh host atas nama Siti Asmaul Alif, mahasantri aktif Ma’had Aly Hasyim Asy’ari.
Kata Reinterpretasi dalam KBBI adalah penafsiran kembali (ulang); proses, perbuatan menafsirkan kembali terhadap interpretasi yang sudah ada. Sedangkan emansipasi merupakan pembebasan dari perbudakan atau penyetaraan hak asasi antara pria dan wanita.
“Menjadi perempuan di masa sekarang tidaklah sulit atau terbilang sangat mudah, jika kita bandingkan dengan masa-masa lampau,” ungkap narasumber sebagai pembuka diskusi.
Menurutnya, saat ini kesetaraan bukan lagi hal yang patut untuk dipertanyakan karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa kini banyak sekali perempuan yang berpengaruh dalam perkembangan zaman. Dan telah kita saksikan secara nyata bahwa dalam hal pendidikan, tidak ada lagi perbedaan yang begitu signifikan antara kaum pria dan wanita.
Pada dasarnya emansipasi wanita ini tidak hanya berfokus pada kesetaraan antara kaum pria dan wanita saja, namun makna sebenarnya ialah bagaimana para wanita dapat berkembang dan maju dari masa ke masa tanpa menghilangkan jati dirinya sendiri. Dengan memahami makna emansipasi yang sesungguhnya, wanita tersebut juga memberikan emansipasi baik bagi masyarakat dan negara.
Jika di masa lampau RA. Kartini memperjuangkan hak wanita untuk mendapatkan kesempatan yang sama antara pria dan wanita khususnya pribumi, kini emansipasi wanita dapat diwujudkan dengan langkah-langkah yang lebih mudah. Memandang bahwa saat ini teknologi memberikan akses yang sama terhadap pria dan wanita, maka akan lebih mudah bagi wanita untuk mengembangkan diri tanpa adanya perbedaan gender.
“Salah satu wujud sederhana dalam emansipasi wanita yakni ketika wanita tidak menggantungkan kehidupannya kepada seseorang khususnya para lelaki,” tegasnya.
Nyatanya, hingga kini kita masih memperjuangkan emansipasi wanita, hanya saja dalam keadaan sekarang, sudah sangat mudah untuk meraihnya. Tidak harus menjadi pahlawan nasional atau ketua muslimat terlebih dahulu untuk menginterpretasi nilai emansipasi. Karena pada dasarnya, hal-hal kecil juga dapat kita interpretasikan kembali menjadi sebuah nilai emansipasi, seperti mengabdikan diri di pondok pesantren untuk mendidik santri, ini pun sudah bisa disebut sebagai Kartini masa kini.
Sebenarnya, emansipasi wanita sudah ada sejak zaman Rasulullah saw. tepatnya pada istri-istri Rasulullah saw. contohnya Sayyidatuna Khadijah, sebelum menjadi istri Rasulullah saw. ia sudah terkenal sebagai saudagar kaya dan memiliki pengaruh yang besar pada zaman itu. Dan Sayyidatuna Aisyah r.a. yang digelari sebagai Ummul Mukminin dikarenakan ia memiliki peranan penting dalam mewarnai masyarakat pada masa itu, ia juga banyak meriwayatkan hadis sebagaimana pria pada masa tersebut.
Pada saat sesi tanya jawab, salah satu penonton Talkshow ini mengajukan pertanyaan yakni, apakah gerakan emansipasi wanita ini sama dengan feminisme, melihat gerakan para feminis ini terkadang mengarah pada radikalisme?
“Tentu, sudah pasti emansipasi wanita ini masuk ke dalam feminisme,” jawab Siti Rahayu.
Karena pada awalnya feminisme dan emansipasi wanita tujuannya sama. Bisa dibilang feminisme ini adalah sebutan bagus dari emansipasi wanita itu sendiri. Tapi semakin kesini feminisme ada beberapa pokok pengenalan, tergantung kita mendefenisikannya sebagai yang mana. Ada feminisme yang memang terkenal lebih radikal, seperti orang yang memperbolehkan LGBT dan lain sebagainya.
“Jadi ketika berbicara mengenai emansipasi wanita atau feminisme, ada batasannya, kita harus melihat manfaat apa yang bisa kita ambil atau terapkan karena memandang kehidupan feminisme tidak semuanya islami bahkan banyak juga yang tidak sejalan dengan agama Islam,” tandasnya.
Kontributor : Asti Maharani
Editor : Syofiatul Hasanah