Blog

Hadis Daif (Tidak) Dapat Diamalkan

IMG-20230713-WA0018
Artikel Mahasantri

Hadis Daif (Tidak) Dapat Diamalkan

Oleh: Himayatul Husna

Hadis sebagai sumber kedua setelah Al-Quran tentu tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam. Dalam pengamalannya, bahkan terdapat sejumlah amaliah atau tradisi umat Islam yang terinspirasi dari hadis Nabi. Hal ini juga melatarbelakangi perkembangan kajian hadis berkaitan dengan tradisi sosial yang berkembang dalam masyarakat beragama, dengan nama kajian living hadis.

Melihat peran sentral hadis, para ulama terdahulu sangat berhati-hati dalam menjaganya. Antusiasme para perawi hadis terlihat ketika mencari hadis dari satu daerah ke daerah yang lain, berpindah dari satu guru ke guru yang lain, dan mencari sanad yang lebih dekat sehingga melahirkan istilah sanad ‘ali dan nazil. Tidak berhenti di situ, keterbatasan baca tulis tidak dapat menghalangi sebagian dari mereka dalam menjaganya. Hadis tetap terpatri dalam hati dan ingatan, serta diimplementasikan dalam perbuatan.

Di balik kehati-hatian para penjaga hadis, tidak dapat disangsikan bahwa terdapat tangan-tangan yang kurang bertanggung jawab dalam proses transmisi hadis. Dari sini, kajian pemurnian hadis dari para informan yang bermasalah, dengan metode-metode yang merujuk pada klarifikasi dan verifikasi berkembang sebagai amanah ilmiah untuk memvalidasi transmisi hadis.

Namun dalam perkembangan kajian validasi ini, setelah kategorisasi hadis secara kualitas menjadi sahih, hasan, dan daif, muncul masalah lain dengan adanya suatu kelompok yang berasumsi bahwa hadis daif tidak bernilai sama sekali dan memosisikan hadis daif  setara dengan hadis palsu. Sehingga hadis daif dicampakkan ke tong sampah yang sama dengan hadis palsu. Atas dasar ini, pergerakan membuang kitab-kitab fikih yang menurut mereka tidak sesuai dengan hadis sahih dilakukan. Mereka mengampanyekan Fiqhul Musaffa atau fikih yang bersih dari hadis-hadis selain hadis sahih dan mencela para ulama yang menerima dan menggunakan hadis daif.

Membela Hadis Daif dan Kitab Ihya’ Ulumiddin

Hadis daif didefinisikan sebagai hadis yang tidak memenuhi kriteria hadis hasan. Hadis daif terbagi menjadi dua: hadis daif dengan kelas ringan dan hadis daif dengan kelas berat. Perbincangan posisi hadis daif dalam syariah memang sudah berlangsung lama, bahkan sejak awal kemunculan kajian hadis. Seiring dengan itu, muncul pula beberapa pandangan yang pada titik poinnya adalah khilaf. Setidaknya ada tiga mazhab yang berbeda pandangan tentang pengamalan hadis daif. Mazhab pertama, tidak boleh mengamalkan hadis daif secara mutlak. Mazhab kedua, boleh mengamalkan hadis daif secara mutlak. Mazhab ketiga, boleh mengamalkan hadis daif dalam masalah tertentu.

Dari ketiga mazhab di atas, pendapat yang paling unggul adalah pendapat yang ketiga. Mazhab ini menjadi pilihan mayoritas ulama hadis, ulama fikih, juga yang lain, bahkan al-Imam an-Nawawi, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Imam Mulla ‘Ali al-Qari berpendapat bahwa mazhab ini telah menjadi kesepakatan para ulama.

Dalam mazhab ketiga ini, tersimpan beberapa poin yang perlu diperhatikan rinciannya. Pertama, tidak boleh mengamalkan hadis daif dalam masalah akidah, pokok-pokok ibadah, dan masalah muamalah. Kedua, hadis daif tidak boleh dijadikan pegangan dalam masalah amaliah yang masyhur. Ketiga, tidak boleh mengamalkan hadis daif yang tingkat daifnya dinilai parah atau sampai maudu’.

Imam al-Gazali dengan keagungan yang diakui oleh ulama pada masanya sehingga mendapat julukan hujjat al-Islam. Bahkan, al-Imam As’ad al-Mihani berkata,

Seorang tidak akan mengetahui ketinggian ilmu al-Imam al-Gazali kecuali orang yang setara atau hampir mencapai kesempurnaan dalam akalnya

al-Imam As’ad al-Mihani

Akan tetapi, belakangan ini kritikan dan skeptis terhadap kredibilitas Imam al-Gazali dalam bidang hadis bermunculan dengan alasan kitab Ihya’ Ulumiddin memuat hadis-hadis yang dianggap daif, atau bahkan maudu’. Padahal, hadis daif yang dikutip oleh Imam al-Gazali bukan sebagai referensi utama, melainkan sebagai tambahan dari dalil-dalil sahih yang melandasi ijtihadnya.

Melihat jumlah hadis dalam kitab Ihya’ Ulumiddin sebanyak 5.600 hadis jika menghitung hadis yang diulang-ulang dan 3.800 hadis tanpa menghitung hadis yang diulang. Tterdapat lebih dari 2.000 hadis Ihya’ yang terdapat dalam kitab sahihain. Sedangkan sisanya, kebanyakan tersebar dalam kitab-kitab hadis induk lainnya, serta bersumber dari sebagian Rasa’il (risalah-risalah) yang dikarang oleh al-Hafiz Ibnu Abi ad-Dunya.

Banyak ulama telah melakukan takhrij terhadap kitab Ihya’ Ulumiddin. Takhrij paling  awal dilakukan oleh Imam Tajuddin as-Subki. Dia menemukan 928 hadis yang dinilai tidak memiliki sumber. as-Subki memotivasi banyak ulama lain untuk meneruskan arus intelektual al-Subki dalam bidang takhrij. Banyak karya yang bermunculan dalam mentakhrij kitab Ihya’ Ulumiddin. Sehingga pada penelitian yang dilakukan oleh Sayyid Murtada az-Zabidi semua hadis yang belum ditemukan sumbernya oleh para peneliti sebelumnya terlacak sumbernya, menyisakan 20 hadis saja. Dalam sisa hadis ini pun terdapat dalam beberapa kitab tertentu, seperti Tahzib al-Asrar, Qutu al-Qulub, Risalah Imam Ibnu Abi ad-Dunya, dan kitab-kitab yang dikarang oleh Imam al-Muhasibi. Hal ini disebutkan dalam penelitian paling akhir yang dilakukan oleh Syaikh Anas asy-Syarfawi.

Selain karena alasan kedaifan, penukilan yang dilakukan tanpa menyebutkan sanad juga menjadi bahan kritikan. Padahal, sebagaimana telah diketahui bahwa Ihya’ merupakan kitab tasawuf. Sehingga menurut Dr. Yusuf al-Qardawi, karena orientasi Ihya’ adalah tasawuf atau raqa’iq, maka sangat wajar jika Imam al-Gazali tidak menyebutkan sanad hadis-hadis yang dikutip.

Sebagian aktivis dan pengkaji juga mempertanyakan otoritas Imam al-Gazali dalam ilmu hadis karena tidak adanya karya yang secara khusus membahas ilmu hadis. Namun, alasan ini tidak cukup kuat untuk dijadikan landasan untuk menjatuhkan keilmuannya dalam bidang hadis. Hal ini dikarenakan, pembahasan mengenai studi ilmu hadis dapat dilacak dalam kitab karya Imam al-Gazali yang berjudul al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul dan al-Mustafa min ‘Ilmi al-Ushul.

Hemat penulis, hadis daif dengan beberapa pandangan tentang pengamalannya berujung khilaf, tidak bisa memaksakan satu pandangan, karena memang masuk pada ranah khilaf. Namun, bagaimanapun hadis daif tetaplah hadis, tidak dapat kemudian di buang ke tong sampah yang sama dengan hadis palsu. Selain itu, perdebatan ulama yang disajikan dalam buku “Membela Hadis Daif dan Ihya’ Ulumiddin” menghasilkan titik poin bahwa Imam al-Gazali dan karyanya Ihya’ Ulumiddin tidak seperti apa yang dituduhkan selam ini. Oleh karena itu, asumsi negatif yang terjadi terhadap suatu karya atau ulama tertentu, terlebih seorang ulama dengan keagungan yang diakui banyak ulama lain perlu dikaji ulang secara mendalam dan objektif.


Penulis merupakan Mahasantri angkatan ats-Tsurayya