Muhadlarah Ilmiah ‘Ammah, Bincangkan Metodologi Mufassirin dan Muhaddisin
Muhadlarah Ilmiah ‘Ammah, Bincangkan Metodologi Mufassirin dan Muhaddisin
Senin (16/09/2024), Ma’had Aly Hasyim Asy’ari (MAHA) kembali menggelar Muhadlarah Ilmiah ‘Ammah (kuliah umum) sebagai agenda tahunan. Acara ini berlangsung di lantai 3 gedung Yusuf Hasyim dengan menggandeng Ma’had Aly Yusuf Masyhar Jombang untuk menyukseskan acara kali ini.
Turut hadir dalam acara pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng, KH. Abdul Hadi Yusuf, S.H., Mudir MAHA, Dr. KH. Achmad Roziqi, Lc., M.H.I., Mudir Ma’had Aly Yusuf Masyhar, H. Sukron Ma’mun, Lc., M.A., segenap civitas akademika kampus dan delegasi mahasantri MAHA serta Ma’had Aly Yusuf Masyhar, juga para undangan yang lainnya.
Mengangkat pembahasan perihal Metodologi Mufassirin dalam Memahami Hadis dan Metodologi Muhaddisin dalam Memahami Tafsir, dengan ini MAHA dan Ma’had Ay Yusuf Masyhar mendatangkan pemateri yang luar biasa, Prof. Dr. Muhammad Salim Abu ‘Ashi, salah satu guru besar ilmu Tafsir di Universitas al-Azhar Mesir.
Dalam sambutan Mudir MAHA, Kyai Roziqi menyampaikan bahwa muhadlarah ini merupakan muhadlarah perdana yang mempertemukan antar dua Ma’had Aly di lingkungan Tebuireng (MAHA dan Ma’had Aly Yusuf Masyhar). Ke depannya, beliau berharap akan lebih banyak event yang menjadi penyambung antar dua Ma’had Aly tersebut. Menurutnya, MAHA dan Ma’had Aly Yusuf Masyhar memiliki satu sanad keilmuan yang sama, yakni dari Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari.
Kyai Roziqi juga berpesan kepada para hadirin agar mendengarkan pemaparan Prof. Dr. Muhammad Salim Abu ‘Ashi dengan seksama. Karena belajar dengan Dr. Salim merupakan kesempatan emas, terlebih lagi Prof. Dr. Muhammad Salim Abu ‘Ashi juga memiliki sanad keilmuan yang bersambung kepada Syaikh Ramadhan al-Buthi, salah satu ulama besar abad ini yang mempunyai banyak kitab fenomenal, di antaranya adalah kitab Fiqh Sirah an-Nabawiyyah.
Memasuki acara inti, Prof. Dr. Muhammad Salim Abu ‘Ashi memulai kuliah umum dengan membahas perihal al-Qur’an dan hadis yang merupakan sumber primer dalam agama Islam. Beliau menyebutkan bahwa orang yang mengingkari hadis sama saja mengingkari al-Qur’an, karena hadis merupakan penjelas (bayan) bagi al-Qur’an itu sendiri. Sama halnya dengan apa yang disebutkan dalam kitab al-Muwafaqat karya Imam asy-Syathibi yang mengatakan, “Jika saja مُبَيِّن (hadis) diingkari, secara otomatis مُبَيَّن (al-Qur’an) juga diingkari.”
“أعود و أقرّ لأنّ السنة كما تعلمون هي بيان القرآن، واللّه عزّ وجلّ يقول (و أنزلنا إليك الذكر لتبيّن للنّاس ما نزّل إليهم) “
Mengenai berbagai macam metode Mufassirin, beliau menjelaskan kepada para hadirin bahwasanya banyak sekali metode-metode yang digunakan. Semuanya tergantung konsentrasi mufassirnya, ada yang berkonsentrasi dalam gramatikal bahasa arab, sebut saja nahwu, seperti Tafsir Ibn hayyan, ada yang berfokus dengan fiqih, seperti Imam al-Qurthubi, dan masih banyak lagi.
Lebih lanjut, beliau menyinggung perihal metode penyusunan tafsir. Menurutnya, tafsir sebaiknya dikemas dengan metodologi yang memungkinkan dapat dikonsumsi oleh banyak orang. Tidak hanya orang-orang yang bergelut dengan ilmu tafsir saja yang bisa memahaminya.
Hal tersebut berangkat dari buku at-Tajdid fi at-Tafsir karya Amin al-Khuli. Dalam buku tersebut, diceritakan peran seorang Muhammad Abduh (salah satu tokoh “Pembaharu Islam”) dalam pembaharuan tafsir. Muhammad Abduh menggaungkan perihal penyusunan tafsir agar dapat dikonsumsi khalayak umum.
Begitu juga dengan hadis, menurut Prof. Dr. Muhammad Salim Abu ‘Ashi sebelum fokus pada hal-hal yang terperinci, kita diwajibkan untuk mempelajari metode terlebih dahulu. Jikalau saja menemukan perbedaan pendapat, kita tidak akan terombang-ambing karena sudah mengenali terlebih dahulu bagaimana metode yang para mufassirin gunakan.
Kuliah umum tersebut ditutup dengan sesi tanya jawab yang dilanjut dengan doa yang dipimpin oleh Prof. Dr. Muhammad Salim Abu ‘Ashi.
Kontributor: Mawil Hasanah & Irma Khumairoh
Editor: Syifa’Q.