Penjelasan Gus Amin tentang Relevansi Kajian Fikih Kebangsaan dalam Konteks Politik dan Sosial
Penjelasan Gus Amin tentang Relevansi Kajian Fikih Kebangsaan dalam Konteks Politik dan Sosial
Kegiatan Workshop Penulisan Karya Ilmiah untuk mahasantri Ma’had Aly marhalah tsaniyah (magister) yang diadakan oleh LPPD Pemerintah Provinsi Jawa Timur, berlangsung dengan penuh semangat dan antusias. Acara ini dihadiri oleh Ketua LPPD Prov. Jawa Timur (Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar, M.A) beserta tim, Ketua Asosiasi Ma’had Aly Indonesia/Amali (Dr. K.H. Nur Hannan, Lc. M.HI.), Mudir Ma’had Aly Tebuireng (Dr. H. Achmad Roziqi, Lc., M.H.I.), Mudir dua Ma’had Aly Lirboyo (Agus M. Aminulloh Mahin, M.Pd.), Kordinator pengabdian Ma’had Aly Situbondo (Ust. Irsyadul Ibad, M.Ag), dan para mahasantri marhalah tsaniyah dari masing-masing Ma’had Aly.
Berbeda Pesantren, Satu Sumbernya
Materi ketiga disampaikan oleh Agus M. Aminulloh Mahin, M.Pd., sebagai perwakilan dari Ma’had Aly Lirboyo. Beliau memulai dengan menceritakan kesatuan sanad keilmuan 3 pesantren yang menaungi 3 Ma’had Aly ini. Pendiri Pesantren Tebuireng, Lirboyo, dan Situbondo merupakan murid dari Kiai Kholil Bangkalan.
Beliau berbagi kisah inspiratif tentang Kiai Kholil dari Bangkalan, yang dengan bijak mengarahkan santri sesuai dengan bidang keilmuan yang diminati, “Pada akhir masa Kiai Kholil Bangkalan, ketika ada santri yang ingin belajar hadits, beliau mengarahkannya ke Tebuireng. kalau ada santri yang ingin belajar ilmu alat, maka beliau arahkan ke Lirboyo. Adapun Situbondo, saya kurang paham tetapi yang jelas ya saat itu yang diberikan tongkat seolah Situbondo lah yang akan menjadi pemimpin”.
Menurut beliau, kisah ini menunjukkan bahwa tiga pesantren ini sudah memiliki keahlian dalam takhasus Ma’had Aly mereka. Hanya saja, Ma’had Aly Lirboyo sedikit aneh, karena tidak bertakhasus ilmu alat, melainkan fikih kebangsaan. Kemunculan takhasus ini di Ma’had Aly Lirboyo, didorong oleh gejala-gejala trans nasional/pengaruh luar negeri terhadap bagaimana masyarakat memandang ideologi bangsa. Pengaruh-pengaruh tersebut disinyalir dapat menggerogoti NKRI. Beliau menyampaikan, “Mereka yang hendak meruntuhkan kebangsaan kita juga menggunakan dalil-dalil syariat”. Hal ini semakin mendorong Pesantren Lirboyo untuk memilih fikih kebangsaan sebagai takhasus Ma’had Aly-nya.
Perkembangan Kajian Fikih Kebangsaan di Ma’had Aly Lirboyo
Tema fiqih kebangsaan menjadi fokus utama pada sesi ini. Gus Amin membahas relevansi kajian fikih kebangsaan yang menjadi takhasus Ma’had Aly Lirboyo, dalam konteks politik dan sosial saat ini. Beliau mencontohkan relevansi kajian kepemimpinan perempuan di fikih dengan dominasi calon perempuan pada pemilihan gubernur Jawa Timur di tahun ini.
Kajian fikih kebangsaan tidak hanya tentang pemilihan pemimpin, tapi juga ideologi negara, kebijakan publik, politik, hubungan internasional, hukum positif, hak asasi manusia, dan gender. Ini semua dapat dibahas dalam judul tesis di marhalah tsaniyah Ma’had Aly Lirboyo. Dalam meneliti semua itu, para mahasantri menggunakan semangat menjaga dan membentengi ideologi yang sudah benar ini dengan kajian fikih.
Selain kajian berbasis problem, mahasantri Lirboyo juga menggunakan cara pandang apresiasi. Beliau berkata, “Kita juga sudah melihat bahwa sebagian syariat itu sudah diterapkan khusus untuk orang Islam seperti hukum waris. Itu kan sudah. Kemudian zakat ini menjadi undang-undang, juga sudah.”
Kajian fikih kebangsaan di Ma’had Aly Lirboyo sudah sampai pada tahap menemukan bahwa topik-topik yang dipermasalahkan oleh kalangan radikal, seperti bentuk pemerintahan, hukum pidana, dan aturan pajak di Indonesia, adalah hal diperbolehkan oleh syariat. Dalam kajiannya, mereka tidak sekedar mencari pembenar, tapi juga menganalisis berbagai qaul/pendapat dalam masalah tersebut. Perbedaan pendapat itu, digunakan sebagai wasilah mencari solusi dan bertoleransi sehingga tidak fanatik buta terhadap satu pendapat beragama yang menyalahkan realitas sosial politik di Indonesia.
Beliau menjelaskan, “Kita lihat dalam kacamata fikih, bukan berarti kita mencoba melegitimasinya, tetapi apakah ini memang ada yang memperbolehkan. Bukankah, di pesantren, kita biasa mendapati pendapat fikih yang berbeda-beda? Satu masalah bisa memiliki 4 atau 5 qaul/pendapat. Dari situ kita bisa mencari solusi dari beberapa problem yang ada di bangsa kita. Kemudian, ini juga bisa menepis karena memang tujuan kita itu: tetap mempertahankan apa yang diperjuangkan oleh pendahulu kita para kyai kita yakni: kemerdekaan Indonesia dengan harga mati. Kita akan terus berupaya mempertahankan kesepakatan ini dengan pandangan dari agama/dari syariat”.
Di akhir sesi, Gus Amin berkata, “penyesuaian-penyesuaian yang ada di negara kita yang tidak kita temukan atau berbeda dengan kitab-kitab fiqih kita – seperti kitab dasar sulam taufiq itu – kita carikan beberapa Solusi dari fikih yang lain, sehingga (penyesuaian) itu menjadi sah dan sudah isqath al-wujub (menggugurkan kewajiban). Kita sebagai umat Islam tidak mendapatkan tuntutan bahwa ini belum memenuhi syariat”.
Harapan
Perkembangan kajian fikih kebangsaan di Ma’had Aly Lirboyo ini, menurut Gus Amin, masih dapat ditingkatkan lagi. Khususnya di lini penulisan. Untuk itu, Ma’had Aly Lirboyo sangat terbuka untuk kolaborasi dan pelatihan kepenulisan.