Kembalinya Corak Keilmuan Pesantren Tebuireng
Kembalinya Corak Keilmuan Pesantren Tebuireng
Oleh: Anang Firdaus
Seiring terbitnya SK (Surat Keputusan) izin operasional bagi 13 Ma’had Aly di Tebuireng pada hari Senin 30 Mei lalu, Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng telah resmi mendapat pengakuan secara legal formal dari Pemerintah. Banyak yang mengatakan peresmian ini merupakan angin segar setelah satu dekade sejak pendiriannya pada 6 September 2006, Ma’had Aly masih berstatus lembaga non formal. Selama 10 tahun Ma’had Aly Tebuireng menjadi lembaga setara perguruan tinggi yang mendalami kajian fiqh dan ushul fiqh. Namun SK yang diterima oleh Ma’had Aly Tebuireng tertulis sebagai lembaga takhassus al-Hadith wa ‘ulumuh. Tentu saja SK tersebut akan mengubah warna Ma’had Aly Tebuireng. Angin segar yang ditunggu selama 10 tahun itu pun menggerakkan layar Ma’had Aly kepada pelabuhan lamanya, yang dulu menjadi jujukan para pengkaji hadis Nabi.
Tebuireng dan Kajian Hadis
Menurut Azyumardi Azra, Islam yang berkembang pertama kali di Indonesia didominasi oleh mistik, sehingga dalam pembaruan Islam di wilayah Melayu-Indonesia pada abad ke-17 bukan semata-mata Islam yang berorientasi pada tasawuf, melainkan juga Islam yang berorientasi pada syariat (hukum). Hal ini setelah adanya pusat jaringan di Timur Tengah. Upaya-upaya serius ke arah rekonstruksi sosio-moral masyarakat muslim akhirnya dikembangkan oleh Ashab al-Jawiyyin.[1] Di antara nama-nama yang menonjol adalah Syaikh Khatib al-Sambasi, Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Muhammad Shalih bin Umar al-Samarani, Syaikh Mahfudz al-Tarmasi, Syaikh Khalil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari Tebuireng, dan Kiai Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah). Dan sejak abad XIV dan XV, jumlah jama’ah haji sekaligus penuntut ilmu dari Nusantara yang berangkat ke Tanah Arab semakin meningkat.[2]
Dari kalangan Ashab al-Jawiyyin tersebut, Syaikh Mahfudz al-Tarmasi (w. 1338 H) yang mempunyai spesifikasi di bidang ilmu hadis. Pada abad XIX beliau merupakan the last link yang mempunyai sanad kitab Jami’ al-Shahih al-Bukhari. Dalam rangkaian sanad kitab hadis tersebut, beliau berada pada rantai sanad ke 19. Di antara muridnya yang memiliki spesifikasi keilmuan yang sama di bidang ilmu hadis adalah Kiai Hasyim Asy’ari, yang hampir semua sanad keilmuan dalam bidang hadis beliau dapatkan dari Syaikh Mahfudz. Oleh Kiai Hasyim, sanad keilmuan hadis dari Syaikh Mahfudz ini lantas disebarkan di Indonesia sepulangnya dari Makkah. Kajian Shahih Bukhari-Muslim secara rutin beliau selenggarakan di Pesantren Tebuireng pada bulan Ramadlan.
Hampir semua kiai Nusantara yang mengaji hadis mengambil sanad dari Kiai Hasyim, baik sebagai santri pondok maupun santri kalong. Mungkin kalau tidak karena Kiai Hasyim, sanad hadis Syaikh Mahfudz tidak akan tersebar secara masif di Nusantara. Karena Syaikh Mahfudz hingga meninggal bermukim di Makkah.[3] Sejak saat itu citra Pesantren Tebuireng di mata para santri dan kiai di pandang sebagai pusat kajian hadis di Nusantara. Hingga sekarang, kajian kitab Bukhari dan Muslim masih terus dikaji ketika bulan Ramadlan.
Kajian Hadis yang Kembali Dilirik
Meskipun hadis merupakan ajaran pokok dan dasar hukum Islam setelah Al Quran, namun sayang belum banyak yang meminati. Para santri dan mahasiswa lebih tertarik mempelajari konsentasi yang lain. Hal ini diakui juga oleh KH. Ali Mustafa Yakub (w. 2016) bahwa rendahnya minat mempelajari hadis juga terjadi secara umum di negara-negara Islam lainnya. Beliau mengakui, mempelajari hadis memang lebih sulit dibandingkan mempelajari Al Quran, fikih, tasawuf, dan studi ilmu Islam lainnya. Ketika beliau masih belajar di Madinah, Arab Saudi, pada era 80-an dulu, dari 300 mahasiswa hanya ada empat orang yang masuk ke fakultas hadis. Para mahasiswa enggan mempelajari hadis karena dikenal susah sehingga dikhawatirkan menyulitkan perkuliahan mereka. Sedangkan, kuliah di jurusan tafsir atau ilmu Islam lain relatif lebih mudah dan cepat lulus.[4] Hal ini yang membuat kajian tafsir hadis kalah popular dengan cabang ilmu Islam lain
Sedangkan di Indonesia, dewasa ini dari sekitar 16 ribu lembaga pendidikan pesantren, kebanyakan mereka memfokuskan pendidikan pada kajian ilmu Al Quran, fikih, tauhid, dan tasawuf. Beberapa pesantren hanya mempelajari hadis dari sisi matan sebagai penjelas Al Quran. Metode yang digunakan pun sama dengan mempelajari fikih, yakni sorogan atau bandongan. Meskipun begitu, saat ini setidaknya ada dua lembaga pendidikan yang melakukan kajian hadis secara mendalam, yaitu Pesantren Luhur Darussunah asuhan KH. Ali Mustafa Ya’qub (yang kini diemban oleh anaknya, Gus Zia Ul Haramein), yang kedua adalah Lembaga Pusat Studi Hadis asuhan Dr. KH. Ahmad Luthfi Fathullah. Kedua lembaga tersebut berada di Jakarta.
Kajian hadis mulai mendapat perhatian kembali pada tahun 2014-an, banyak madrasah dan pesantren yang membuat program hafalan hadis. Di tingkat perguruan tinggi, prodi tafsir-hadis juga dipisah dan dikonsentrasikan pada masing-masing keilmuannya. Fenomena ini lantas ditangkap oleh KH. Junaidi Hidayat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Aqabah Kwaron Jombang. Beliau mengadakan program takhassus ilmu hadis yang mewajibkan santrinya untuk hafalan hadis dan melakukan belajar takhrij al-hadis pada tingkatan Madrasah Aliyah. Yang mana pada umumnya, takhrij al-Hadits tersebut dilakukan di tingkat Perguruan Tinggi. Kajian hadis juga mulai mendapat perhatian dari stasiun televisi milik pemerintah (TVRI) dengan menayangkan Dr. KH. Ahmad Luthfi Fathullah sebagai narasumber selepas subuh. Yang sebelumnya lebih didominasi oleh kajian tafsir dan fiqih. Ini merupakan momen yang menguntungkan bagi Ma’had Aly Tebuireng yang mulai tahun ajaran ini mengubah takhassusnya menjadi jurusan ilmu hadis.
Perubahan Kurikulum
Hingga saat ini kajian-kajian mengenai hadis masih terbatas pada mengaji dan menghafal di pesantren atau sekolah Islam. Sementara itu, kajian hadis di level perguruan tinggi agama Islam, hadis didudukkan dalam ranah kajian akademik. Pada level ini, kajian hadis terpusat pada beberapa ragam kajian, pertama, kajian sanad hadis, kedua, kajian matan hadis, ketiga, kajian praktik-praktik di masyarakat yang disinari/diilhami oleh hadis (baca: living hadis). (Sahiron Syamsuddin) Dari ketiga ragam ini, dua ragam pertama telah berjalan lama di perguruan tinggi Agama Islam, sedangkan yang ketiga masih relatif baru, karena munculnya pada tahun 2000an.[5]
Peralihan fokus kajian yang pada awalnya bermula pada teks hadis ke realitas, lalu beralih dari realitas praktik ke teks merupakan satu ikhtiar yang sudah sangat menarik untuk dilakukan.
lahan yang belum tergarap adalah, pertama, kajian hadis di dunia online. Hanya saja pola, corak, dan metodologi pengkajiannya masih belum jelas. Kedua, kajian lain yang juga perlu disentuh adalah kajian atas berbagai software hadis yang bermunculan. Pada umumnya software ini berasal dari Timur Tengah dan tampaknya masih sangat minim yang ada di Indonesia karena hal ini tentu membutuhkan dana dan disiplin ilmu teknologi informatika yang memadai. Tentu tidak hanya kedua hal di atas yang perlu dipetakan, mungkin nantinya akan terdapat banyak hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam perkembangan studi hadis di Indonesia.
Kehadiran Prodi Ilmu Hadis akan terbentuk ciri khas dan keunikannya. Jika ikhtiar ini tetap dijaga dan dilestarikan serta berupaya pula membuka ranah kajian baru dalam studi hadis dengan meminjam berbagai disiplin keilmuan, tentu studi hadis akan jauh lebih potensial untuk dielaborasi, karena sangat banyak wilayah kajian yang sama sekali belum dan tidak terjamah dalam studi ini dikarenakan terlalu terpakunya studi akademis dalam meneliti para perawinya (baca: sanad).
Tantangan di masa depan
Faktor penting untuk keberlanjutan dan pendalaman ilmu hadis pada masa yang akan datang, adalah membuat kajian hadis menjadi kajian yang lebih menarik dengan mengaitkan pada persoalan kekinian. Ma’had Aly Hasyim Asy’ari berupaya untuk memberikan beasiswa khusus ilmu hadis. Dalam beberapa dekade terakhir para orientalis barat berusaha membedah ajaran dan amaliah agama Islam terutama melalui hadis. Contohnya seperti runtutan mengambil air wudhu berusaha dipertanyakan secara ilmiah.
Berkenaan dengan hadis, di antara orientalis yang aktif mengkaji adalah Ignaz Golziher seorang Yahudi kelahiran Hongaria melalui karyanya Muhammedanische Studien, Hamilton Alexander Rosken Gibb seorang orientalis asal Inggris dengan karyanya Shorter Encyclopaedia Of Islam dan beberapa orientalis lain.
“Mereka berusaha mengkritik karena menilai hadis hanya merupakan hasil karya ulama dan ahli fiqh yang ingin menjadikan Islam sebagai agama yang multidimensional. Mereka menganggap hadis tidak lebih hanya sekedar ungkapan manusia atau bahkan jiplakan dari ajaran Yahudi dan Kristen.”
[1] Penuntut ilmu dari Nusantara yang berangkat ke Tanah Arab dan mendatangi pusat-pusat keilmuan Islam di sepanjang rute perjalanan haji yang akhirnya terbentuk sebuah komunitas atau jaringan intelektual-keagamaan Nusantara.
[2] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 17.
[3] Disarikan dari cerita KH. Lukman Harits Tremas, cucu kemenakan Syaikh Mahfudz saat Studi Banding Ma’had Aly Hasyim Asy’ari pada 03 Nopember 2015
[4] Disampaikan dalam acara Wisuda Pesantren Luhur Darus Sunnah Ciputat Jakarta pada 06 Juni 2015
[5] http://ilmuhadis.uin-suka.ac.id/index.php/page/kolom/detail/2/tantangan-studi-hadis-di-masa-depan-melacak-ranah-kajian-baru#_ftn12
*Diterbitkan dalam Buletin Edisi Wisuda III, 2016