Sukses dengan Bekerja Keras dan Berkarakter
Sukses dengan Bekerja Keras dan Berkarakter
Oleh: H. M. Muhsin KS, M.Ag.*
Pada suatu ketika seorang pemuda berjabat tangan dengan Rasulullah SAW, tiba-tiba Rasul mencium tangan pemuda tersebut sambil berkata, “Inilah kedua tangan yang dicintai Allah SWT” (HR. Jamaah). Kedua tangan pemuda tersebut keras dan agak kasar yang mencerminkan bahwa ia seorang pekerja keras yang tidak mengenal lelah. Tergambar pula dari raut wajahnya dan penampilan fisiknya, yang ternyata sosok muslim pekerja keras inilah yang dicintai dan dibanggakan oleh Rasulullah SAW.
Islam Mendorong Bekerja Keras
Memang Islam adalah agama yang selalu mendorong umatnya untuk selalu bekerja dan bekerja dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan, mempersembahkan kerja dengan amal yang terbaik (ihsan), baik dalam berhubungan dengan Allah SWT maupun dengan sesama manusia, bahkan dengan dirinya sendiri. Karena hanya dengan cara inilah seorang Muslim akan memperoleh kebahagiaan yang hakiki di dunia maupun di akhirat. “Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada-Nya (Allah) yang mengetahui akan yang gaib dan nyata, maka Allah memberitakan kepada kalian semua apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubat: 105).
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya (bekerja keras) dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan kepada-Nyalah (kembali setelah) dibangkitkan.” (Al-Mulk: 15).
Berarti Rasulullah SAW sangat memuji orang yang berusaha dan bekerja dengan sungguh-sungguh mencari nafkah untuk keperluan diri dan keluarganya, seperti digambarkan dalam hadis di atas dan hadis riwayat Imam Bukhari no. 2072, “Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik dari pada hasil usahanya sendiri dan Nabi Dawud AS juga makan dari hasil usahanya sendiri.” Bahkan, jika seseorang tertidur kelelahan karena mencari rezeki yang halal, tidurnya itu akan dipenuhi ampunan dari Allah SWT (HR Imam Tabrani).
Sebaliknya Rasulullah SAW sangat membenci orang yang bermalas-malasan, tidak mau bekerja. Dan beliau, selalu memohon perlindungan Allah SWT dari sifat malas.
Introspeksi Diri
Pada tahun 2012 terungkap kasus pengadaan Al-Quran di Kementerian Agama, harus dimengerti kasus ini tidak berkaitan dengan agama Islam. Korupsi bisa terjadi di mana pun. Dalam gereja, pura juga bisa terjadi korupsi. Karena itu, harus dibedakan antara agama yang tidak bisa dinodai korupsi dan pemeluknya yang notabene manusia, yang bisa saja tidak suci dan korup.
Memang resah memikirkan mengapa di negeri yang nyaris 100 persen warganya percaya Tuhan justru tinggi korupsinya. Sebaliknya, di negeri yang mayoritas warganya tidak percaya Tuhan (ateis), justru tidak ada korupsi. Seperti di Denmark, 80 persen warganya ateis, tetapi pada hari “Anti-korupsi Dunia, 18 November 2015 yang lalu dinyatakan sebagai negara yang terbersih dari korupsi, karena “kejujuran” menjadi landasan hidup masyarakat. Lalu, Tiongkok, yang ideologi penguasanya komunis, malah bisa melaksanakan hukum yang tegas terhadap koruptor, yakni dihukum mati di depan publik. Akibatnya koruptor di Tiongkok menjadi jera. Bahkan, negeri jiran yang baru merdeka habis diporak-porandakan Amerika, yaitu Vietnam. Di sana, semua pejabatnya terbebas dari korupsi dan rakyat siap untuk bekerja keras demi masa depan negerinya. Ternyata, perilaku Islam lebih terlihat di negeri-negeri komunis itu dibandingkan di negara kita. Di negara yang minoritas muslim itu, ternyata bangsanya memiliki sikap dan mental yang siap untuk menjadi bangsa yang maju. Terbukti kemajuan Vietnam secara bertahap makin meninggalkan kita. Bukan hanya di dunia olahraga, seperti di SEA Games, namun di berbagai kancah kehidupan lain.
Sikap mental demikian tentu tak datang tiba-tiba. Sikap mental itu merupakan karakter yang terbangun dari nilai kepercayaan dan budaya yang dianut. Hal itu telah berakar panjang pada sejarah Vietnam. ”Satu-satunya bangsa yang pernah mengalahkan Cina, Perancis dan Amerika”. Dengan kata lain, karakter sebagai kunci kemajuan bangsa, bukan hadir begitu saja, melainkan merupakan hasil rajutan yang sangat ditekuni oleh seluruh bangsa.
Merajut Karakter
Dalam kehidupan bermasyarakat, motif beragama kebanyakan orang Indonesia sekedar mencari kesyahduan atau romantisme beragama bagi diri sendiri. Beragama dilepaskan dari konteks sosial. Padahal, Tuhan menurunkan agama-agama bukan untuk satu orang. Aspek sosialnya ada. Terkait ini, di semua agama, ada ajaran tentang keadilan. Ada banyak ayat di kitab-kitab suci agama yang menekankan pentingnya keadilan. Sayang, pesan keadilan itu sudah dicorek atau ditiadakan oleh umat beragama di sini. Hukum Tuhan dalam kitab suci sudah tidak dipedulikan lagi. Orang hanya mengejar kesucian dan kekayaan bagi diri sendiri.
Sebagai warga pesantren, perlu merenungi kisah Ibnu Hajar. Sebagai seorang santri dengan kecerdasan yang pas-pasan yang membuatnya selalu tertinggal dalam menerima pelajaran. Sebagai murid terbodoh tentu membuat frustrasi. Ia lalu pulang kampung dan memilih putus sekolah. Saat beristirahat dalam perjalanan pulang, ia melihat tetesan air yang menimpa sebuah batu. Tampaknya, sudah bertahun-tahun tetesan itu terjadi hingga batu tersebut berlubang.
Akal sehat menuntunnya pada sebuah kesadaran. Batu yang keras pun dapat berlubang oleh tetesan lembut air jika terjadi secara terus menerus. Serendah apa pun kecerdasan, pikirnya, akan terasah bila terus menerus ditempa dengan belajar. Maka, ia putuskan untuk kembali ke sekolah. Ibnu Hajar menjadi seorang pembelajar yang sangat tekun hingga akhirnya menjadi intelektual yang dihormati lingkungannya.
Ketekunan merajut karakter seperti itu terpotret jelas di masyarakat Jepang. Sejak dari rumah, anak-anak telah dilatih untuk menjadi jujur, bersih, tertib, dan tekun. Tatanan buat meletakkan sepatu pun telah terumuskan secara baik hingga seluruh masyarakat memiliki nilai bersama. Ketekunan merajut karakter juga dimiliki para pendidik sehingga mereka bukan hanya menekankan aspek pengajaran di sekolah, melainkan lebih menekankan pada penanaman budi pekerti. Hasilnya adalah bangsa Jepang yang berkarakter kuat. Bangsa yang menjadi bangsa global dengan berpijak pada nilai dan akar budayanya sendiri.
Sedangkan kita sebagai warga pesantren, masih jauh dari posisi itu. Namun, tak pernah ada kata tak bisa, bila kita mau bersungguh-sungguh mengejar ketertinggalan itu. Kuncinya adalah ketekunan bersama untuk membentuk rajutan karakter yang kuat hingga warga pesantren ini menjadi umat yang maju, seperti Jepang dan beberapa bangsa yang lain. Ketekunan bersama itu selalu memerlukan ketekunan pribadi masing-masing sebagai titik mulanya. Usaha semacam ini di lingkungan pesantren sudah dirintis oleh para kiai terdahulu, kita tinggal meneruskan.
Tulisan ini dimuat dalam MAHA Media edisi wisuda tahun 2016