Masa Depan Indonesia dan Pesantren
Masa Depan Indonesia dan Pesantren
Oleh: Syarif Abdurrahman*
Tahun 2030 Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi. Jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibanding penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa.
Bonus demografi merupakan kesempatan emas bagi Indonesia dalam peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan salah satu cara pendukung agar Indonesia menjadi negara maju. Kalau Indonesia bisa memanfaatkan masa emas tersebut maka Indonesia telah berhasil mengambil peluang dari bonus demografi.
Indonesia di masa depan diprediksi akan berada di kekuatan ekonomi nomor empat secara global. Negara-negara Eropa di dunia akan lewat oleh Indonesia pada tahun 2030. Oleh karena itu, sumber daya manusia memegang peranan penting dalam pembangunan bangsa. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan salah satunya oleh kualitas sumber daya manusia yang dimiliki bangsa itu.
Kementerian Kominfo memiliki fokus pada percepatan pembangunan broadband secara merata di daerah 3T (Terluar, Terdepan dan Tertinggal). Kementerian Kominfo mengatur beberapa hal antara lain penyelenggaraan telekomunikasi, internet broadband, dan sektor Kominfo lainnya. Kementerian Kominfo terus berupaya mewujudkan pembangunan jaringan internet cepat di Indonesia melalui program Palapa Ring, khususnya di daerah-daerah pedalaman yang masih terkendala akses jaringan telekomunikasi.
Tujuannya selain untuk menghubungkan jaringan antarkabupaten/kota, internet cepat juga akan membantu layanan dasar kepada masyarakat seperti di bidang pendidikan, kesehatan, dan informasi. Melalui pembangunan infrastruktur telekomunikasi Palapa Ring di tahun 2019 ditargetkan pada 440 kota dan 514 kabupaten sudah terhubung dengan internet berkecepatan tinggi.
Saat ini kemajuan penggarapan Palapa Ring Timur sudah mencapai 90 persen. Sedangkan untuk Palapa Ring Barat dan Tengah sudah rampung 100 persen. Palapa Ring merupakan proyek infrastruktur telekomunikasi pembangunan serat optik di seluruh Indonesia sepanjang 36.000 kilometer. Palapa Ring terdiri dari tujuh lingkar kecil serat optik (untuk wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi, dan Maluku) serta satu backhaul untuk menghubungkan semuanya.
Bonus demografi akan didominasi generasi yang hidup dalam kemajuan informasi dan teknologi, mereka tentu saja memiliki pola hidup berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Perubahan besar-besaran akan terjadi di berbagai aspek kehidupan, tidak terkecuali dunia pendidikan. Dalam hal ini, pesantren pun akan mengalami tantangan baru untuk bisa tetap berdiri di tengah-tengah generasi post-milenial.
Post-milenial merupakan generasi yang kritis dan ensiklopedik. Bagaikan ensiklopedia, mereka mengetahui banyak hal karena informasi dengan sangat mudah didapatkan. Meskipun demikian, mereka tidak menguasai suatu bidang khusus. Generasi yang sudah terkoneksi dengan internet dan media sosial sejak lahir ini cenderung mampu melakukan banyak hal (multitasking), tetapi di lain sisi mereka juga kurang fokus.
Berbeda dengan para santri zaman old yang betah mondok selama belasan bahkan puluhan tahun, generasi muda saat ini cenderung memilih pendidikan di sekolah dan daerah yang berbeda-beda, karena mereka lebih terbuka kepada hal baru. Mereka ingin mendapat jaringan lebih luas dan pengalaman lebih banyak.
Namun sayang, berlama-lama mondok dan istiqomah yang diyakini mampu menembus kematangan dan keberkahan ilmu tidak lagi diminati oleh generasi Z ini. Dengan metode “melahap semua ilmu agama” yang diterapkan, pesantren akan kesulitan melahirkan para santri generasi post-milenial yang mampu menjadi pakar suatu bidang ilmu dengan rentang waktu mondok yang singkat.
Lalu, apa yang dapat dilakukan pesantren? Haruskah pesantren bertransformasi?
Direktur Pendidikan Ma’had Al Shighor Cirebon, Ramzi Ahmad mengatakan, pesantren harus mampu bertransformasi menyesuaikan diri dengan zaman. Namun tentu saja nilai-nilai kepesantrenan tidak boleh dihilangkan. Solusi bagi permasalahan ini adalah memunculkan pesantren yang berkonsentrasi di suatu bidang khusus. Jadi, meskipun santri post-milenial tidak mondok dalam kurun waktu lama, mereka bisa tetap mendalami satu bidang ilmu.
Salah satu pesantren yang telah menerapkan ini adalah Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Ciputat. Pesantren yang didirikan oleh almagfurlah KH. Ali Musthafa Ya’qub ini memfokuskan pengajaran dalam bidang hadis dan ilmu hadis.
Ramzi Ahmad yang juga merupakan penasihat Arus Informasi Santri (AIS) Nusantara menyampaikan solusi bagi tantangan yang dihadapi pesantren. Ada tiga hal yang bisa dilakukan pesantren, yaitu:
- Mentoring and coaching.
Santri yang masuk ke pesantren akan dikelompokkan dan dibimbing oleh ustadz-ustadz khusus. Metode kelompok yang lebih kecil dengan sistem mentoring akan lebih efektif dibandingkan metode ceramah di hadapan banyak santri. Dahulu, ceramah yang disampaikan kiai di hadapan ribuan santri mampu meresap ke hati dan fikiran pendengar. Namun metode ceramah di hadapan massa dengan jumlah banyak tidak lagi relevan bagi generasi post-milenial, hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki fokus yang baik.
- Memunculkan ustad-ustadz ke media massa.
Generasi yang refleks terhadap media ini selalu ingin hal yang instan. Mereka ingin mendapatkan berbagai jawaban dengan cepat. Maka dari itu, ketika generasi Z ini menemukan sebuah permasalahan, dengan seketika mereka menanyakannya kepada internet. Dengan memunculkan para ustadz ke media massa, santri post-milenial ini akan lebih mudah mendapatkan informasi dan menghindari santri menerima paham yang salah di dunia maya.
- Mempromosikan pesantren ke media sosial.
Pesantren harus dikenalkan kepada para generasi post-milenial melalui media sosial, karena generasi ini selalu bersentuhan dengan media sosial. Dengan mempromosikan pesantren ke dunia maya, diharapkan orang-orang yang awam terhadap dunia kepesantrenan menjadi tahu dan tertarik untuk menjadi santri.
Santri di Zaman Millennial
Berkaca pada giat pemerintah membangun jaringan internet dan bonus demografi maka kita perlu mengkaji juga peran santri. Kapital sosial santri sungguh luar biasa yang senantiasa menyatukan diri secara integral bersama masyarakat, memiliki basis dan jejaring sosial yang sungguh dahsyat. Potensi yang dimiliki oleh santri selama ini dinilai masih belum tereksplorasi dan termanfaatkan dengan baik dalam membangun bangsa, padahal santri merupakan individu-individu pilihan masyarakat yang diharapkan mampu berbuat sesuatu demi kebangsaan dan kesejahteraan umat.
Santri harus terus mengembangkan diri untuk meneruskan estafet perjuangan para pendahulunya. Perlu dipikirkan bagaimana menciptakan santri agar memiliki kemampuan diferensial dan distinctive dalam menghadapi perkembangan perubahan mondial (global) dan dapat berkiprah dalam wilayah-wilayah sosial, ekonomi, politik maupun pemerintahan. Santri bukan hanya menguasai kitab-kitab kuning saja tapi juga mampu survive dan memberikan warna tersendiri dalam berbagai sektor kehidupan.
Santri meski mempunyai bidang “keahlian dunia”, di bidang kedokteran, kimia, IT dan desain komunikasi visual, astronomi, nuklir, dan lain-lain sehingga mandiri, tak tergantung ‘angin politik’ dan ‘tidak tegoda’ untuk sibuk ‘menyusun proposal’. Sehingga dakwahnya lebih luas dan masuk ke berbagai lapisan masyarakat.
Di era millenial, santri fardhu ‘ain melakukan dakwah di zaman kacau (message) ini. Santri harus menjadi generasi langgas yang moderat dan toleran di dunia maya. Santri harus aktif dan berani mentransfer, mengampanyekan sekaligus mensosialisasikan doktrin Islam yang toleran dan anti kekerasan di dunia maya. Santri adalah garda terdepan yang mendakwahkan Islam yang teduh, bukan rusuh. Santri harus menjadi ‘promotor’ persatuan, perdamaian, dan ketertiban. Bukan malah menjadi ‘buzzer’ kemunkaran, permusuhan, fitnah dan ujaran kebencian. Santri itu harus serbaguna, serbabisa, multitalenta.
Santi tidak boleh kudet (kurang update). Santri harus berpikir konstruktif, reflektif, aktif, efektif, kreatif, inovatif. Santri harus terus menjadi pelaku sejarah, bukan beban sejarah. Santri harus menjadi paku bumi. Santri harus mampu mengambil peran sebagai lokomotif perubahan sosial demi kemaslahatan umat, bukan sekadar pendorong.
*Mahasantri angkatan 2019