Mahasantri MAHA Bawakan 2 Makalah dalam Konferensi MUI di Jakarta
Mahasantri MAHA Bawakan 2 Makalah dalam Konferensi MUI di Jakarta
Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari (MAHA) mendapat undangan dari Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) untuk menghadiri agenda Annual Conference on Fatwa Studies (ACFS) VIII dalam rangka Milad MUI yang ke-49. Acara yang digawangi oleh Prof. Asrorun Niam S. sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI ini mengundang mahasantri Marhalah Tsaniyah (M2) MAHA yakni Yuniar Indra Yahya dan mahasantri Marhalah Ula (M1) MAHA yaitu Muhammad Farhan Syahputra. Kedua mahasantri tersebut mengikuti agenda yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta, Menteng, Jakarta Pusat, pada Sabtu, (27/07/24) dengan membawakan makalah yang berjudul “Peran Majelis Ulama’ Indonesia dalam Upaya Deprivatisasi Air di Indonesia” dan “Peran Hadis dalam Fatwa MUI tentang Fikih Salam Lintas Agama (Analisis Hadis Muslim No. 2167)”.
Mereka menjadi bagian dari 60 pemakalah terpilih dari 200-an makalah yang diseleksi oleh panitia. Enam puluh peserta terpilih adalah pemakalah yang memiliki nilai di atas 70 dengan kriteria penilaian; metodologi dan penulisan 30%, pemahaman dan subtansi 30%, kebaruan data 20%, dan ketajaman analisis 20%. “Sebenarnya saya tidak menyangka bisa terpilih menjadi pemakalah dan berangkat ke Jakarta dengan membawa studi hadis di hadapan akademisi tinggi,” kata Farhan saat diwawancara. Kegembiraan Farhan itu juga turut dirasakan oleh peserta lain yang datang dari berbagai daerah di Indonesia; Kendari, Lampung, Pekalongan, Situbondo, Sampang, dan lainnya.
Kegiatan yang bertajuk “Peran Fatwa dalam Mewujudkan Kemaslahatan Bangsa” ini turut mengundang beberapa pembicara dari negara-negara sahabat. Seperti, Syaikh Uwadlah Othman (Dar al-Ifta’, Mesir), Datok Haji Noor Gadot (Malaysia), dan Ustaz Haji Awang Abdul Aziz bin Juned (Brunei Darussalam). Dalam kesempatan itu Syaikh Uwaidlag Othman mengatakan pada para hadirin, “Fatwa berubah seiring zaman, waktu, dan keadaan. Fatwa juga membutuhkan ilmu sosial, psikologi, antropologi, kedokteran, dan kimia. Semua fatwa harus berakhlak, karena fatwa itu tak lain untuk kemaslahatan. Fatwa itu butuh fakta lapangan, peristiwa, tidak hanya tekstual. Bisa jadi fatwa menyebabkan kekacauan, permusuhan, dan lain sebagainya yang negatif. Jadi harus hati-hati dalam fatwa sebab dipertanggung jawabkan kepada Tuhan. Apabila fatwa rusak, maka umat juga rusak.”
Akademi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Marsudi Syuhud memaparkan bagaimana urgensi MUI di Indonesia bahkan negara-negara tetangga, “Kita bersyukur bahwa sangat produktif sekali dibanding ulama’ ahli fatwa di negara lain. Mereka membutuhkan fatwa dari Indonesia, seperti Australia dan Singapura. Negara yang minoritas menginginkan fatwa-fatwa praktis dan efektif dari Indonesia. Mereka juga meminta ulama-ulama perempuan Indonesia agar memimpin ulama perempuan sedunia. Jadi dari situ, saya meminta komisi fatwa terkait agar fatwa-fatwa itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Inggris.”
Wakil Presiden RI, KH. Ma’ruf Amin dalam sambutannya juga menyampaikan kepada khalayak bahwa MUI itu ibarat kereta api, karena relnya ada dua, yakni pelayan umat (khadim al-ummat) dan mitra pemerintah (shadiq al-hukumah). Kalau umat ini baik, maka bangsa ini baik juga. Beliau juga mempertegas bahwa MUI bertugas menjaga dan melindungi umat dari akidah yang menyimpang, makan minum yang tidak halal, serta muamalah yang sesuai syariah. Ia juga mengajak MUI untuk mengevaluasi apakah tindakannya sudah maslahat.
“Termasuk ketika memberikan. Kalau ucapan kita kurang didengar, maka perlu ada evaluasi. Syaikh Nawawi menceritakan bagaimana nasihat orang dulu lebih bermanfaat daripada ucapan kita saat ini. Alasannya karena pembicaraan orang terdahulu itu untuk kemuliaan Islam (izz al-islam), keselamatan umat (najah al-nufus), dan keridaan Allah (ridha al-rahman). Kalau omongan sekarang, hanya untuk dirinya dan mencari dunia,” tandasnya.
Kontributor: Yuniar Indra Yahya
Editor: Syifa’