Kajian Hadis di Pesantren Tebuireng
Kajian Hadis di Pesantren Tebuireng
Ma’had Aly Hasyim Asy’ari (MAHA) menjadi tuan rumah program kuliah kerja lapangan (KKL) dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus, Rabu, (22/05/2024). Program KKL ini merupakan wujud kongkret kerja sama MAHA dan IAIN Kudus. Materi disampaikan oleh Dr. Mohamad Anang Firdaus dengan tema kajian hadis di pesantren.
Dr. Anang merupakan lulusan asli dari Pesantren Tebuireng sejak Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan Ma’had Aly Hasyim Asy’ari. Kemudian melanjutkan S2 dan S3 di Sunan Ampel Surabaya UIN Sunan Ampel Surabaya. Di antara buku-buku dan karya tulis adalah “Karomah Sang Wali, Biografi Kyai Haji Muhammad Adlan Aly”. Juga Kyai Sufi Pecinta Al Quran dan nabi yang Patut Diteladani.
Kajian Hadis di Nusantara dimulai dari abad ke-17. Manuskrip yang ada itu dari Syekh Abdul Rauf as-Singkili (nama lengkapnya Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili). Beliau menulis salah satu kitab hadis yang diproduksi dari ulama Nusantara, sehingga kajian hadis di Nusantara pada abad ke-17 itu sudah mulai ada.
Syekh Nuruddin Al-Raniri (nama lengkapnya Syekh Nuruddin Muhammad ibnu ‘Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi), menulis tentang hadis-hadis Nabi Muhammad dengan judul, Hidayat al-Habib fi al-Targhib wa al-Tarhib. Lalu Abdul Rauf as-Singkili juga memiliki karya al-Mawa’id al-Badi’ah. Keduanya sama-sama dari Aceh dan pada abad ke-17. Ini menjadi salah satu tanda bahwa kajian hadis itu mulai tumbuh di Nusantara.
Dalam catatan Van Den Burg, banyak sekali peneliti-peneliti itu menukil atau merujuk catatan beliau ini mulai dari Martin van Bruinessen atau Standbring dan bahkan Prof. Zahro dan lain-lain. Dikatakan bahwa komposisi kitab kuning di pesantren abad ke-19 berdasarkan daftar yang dibuat Van der Berg itu ada 49 kitab dengan berbagai kajian pengetahuan Islam. Mayoritas kitab fikih dengan jumlah 20 kitab. Kemudian ada bahasa Arab, teologi, tasawuf, tafsir. Pertanyaannya adalah mana hadisnya? Memang hadis dari dulu sampai sekarang mungkin masih minim peminat karena kebanyakan corak di pesantren lebih ke fikih.
Di abad ke-19 muncul salah satu ulama Nusantara Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi. Dengan salah satu kitab babon beliau yaitu Manhaj Dzawi al-Nadzar. Dan ini diperkenalkan sebagai salah satu kitab kajian ulumu hadis. Dan kitab tersebut pada zaman Kiai Hasyim hingga setelah Kiai Hasyim diajarkan di Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim sendiri merupakan salah satu murid utama Syekh Mahfud Tremas. Sanad hadis-hadis Kiai Hasyim dari Kiai Mahfud termasuk sanad Shahih al-Bukhari.
Sebenarnya pesantren sejak abad 19 itu mulanya mayoritas fikih, Kiai Hasyim lah yang membawa pulang ke Indonesia keilmuan hadisnya Syekh Mahfud dan menyebarkannya. Syekh Mahfud Tremas sendiri meninggal di Makkah. Ini termasuk kontribusi besar Kiai Hasyim dalam menyebarkan kajian hadis (dalam kategori riwayat) di Nusantara.
Dr. Anang membaca sekilas untuk tabarrukan ke Kiai Hasyim.
قال، “قد اتصلت إلينا رواية صحيح البخاري سماعا من أوله إلى أخيره عن شيخنا العلامة محمد محفوظ بن عبد الله الجاوي ثم المكي. قرأت عليه من أول سنة 1317 إلى 1319 بمكة المشرفة وأجازني بقراءته كما أجاز بقراءة غيره من كتب الحديث عن شيخ سيد أبي بكر بن محمد ابن محمد شطا المكي …” اهـ
Tahun 1317 Hijriyah itu sekitar 1890 – 1899 Masehi, Kiai Hasyim masih mengaji di Makkah. Sedangkan Pesantren Tebuireng lahir pada 1899 Masehi. Ini perlu data pendukung untuk itu.
Setelah itu ada sanad Shahih Muslim dengan sanad yang hampir sama. Memang keduanya (Bukhari dan Muslim) dan beberapa kitab Sunan yang lain itu didapatkan Kiai Hasyim dari Syekh Mahfud Termas. Apakah Kiai Hasyim itu satu-satunya yang menyebarkan kitab hadis di Nusantara? Ternyata tidak. Ada sanad dari Kaliwungu, Kendal, tercantum bahwa dari Syekh Mahfud Termas.
أرويه عن العلامة المتفنن الكياهي باقر بن نور الجوكجاوي ثم المكي والعلامة المعمر الكياهي أحمد بيضاوي بن عبد العزيز اللاسمي والشيخ عمر بن حمدان المحرسي محدث الحرمين الشريفين ثلاثتهم عن الإمام المحدث الحافظ الكياهي محفوظ بن عبد الله الترمسي …اهـ
Sehingga Syekh Mahfudz Tremas ini sejak abad ke-19 itu memiliki beberapa murid, salah satunya Kiai Baidhowi dari Lasem. Beliau juga memberikan pengajian kitab Bukhori ke beberapa murid. Artinya di masa-masa itu Kiai Hasyim sebenarnya dengan teman angkatan yang sama itu memberikan pengajian hadis. Tetapi dalam tradisi kajian hadis itu kebanyakan di Tebuireng.
Abu Bakar Aceh yang sempat menuliskan bahwa Kiai Hasyim selama bulan Ramadhan memberikan kuliah istimewa mengenai ilmu hadis karangan al-Bukhari dan Muslim. Kedua kitab hadis yang penting ini harus khatam selama sebulan puasa dimulai dari Sya’ban. Oleh karena itu bulan tersebut menjadi bulan yang penting bagi kiai-kiai bekas muridnya di seluruh Jawa. Tradisi dalam khataman di bulan puasa masih berjalan hingga sekarang bagi murid-muridnya yang sudah memimpin pesantren.
Mereka tidak hanya untuk melanjutkan hubungan silaturahmi dengan guru, juga untuk mengikuti seluruh kuliah istimewa mengenai hadis Bukhari dan Muslim guna mengambil berkah atau tabaruk. Tujuannya kira-kira sama dengan mahasiswa-mahasiswi IAIN Kudus Praktik Kerja Lapangan (PKL) ke Tebuireng. Bedanya adalah dalam forum tersebut tidak ngaji. Harusnya ngaji itu mengambil sanad supaya benar-benar tabarrukan. Karena Ma’had Aly Hasyim Asy’ari juga memiliki masyayikh sepuh yang memang memiliki sanad langsung yang sambung dari Kiai Hasyim dan beliau-beliau ini sebagai mujis. Barangkali di lain waktu konsepnya diubah menjadi kiai sepuh yang ngaji dan memberikan ijazah beberapa kitab tertentu, tabarukan.
Kiai Saifuddin Zuhri, dalam bukunya Berangkat dari Pesantren disebutkan, “Orang yang pernah melihat sendiri, cara Hadratussyaikh membaca al-Bukhari mengatakan bahwa beliau sebenarnya telah hafal seluruh isi kitab ini. Seolah-olah sedang membaca kitab karangannya sendiri!”.
Dr. Anang menyampaikan bahwa pernah mendapatkan data dari Gus Afif saat kunjungan ke Yanbu’, Kudus. Gus Afif punya paman yang bernama Kiai Halimi yang nyantri langsung ke Kiai Hasyim. Menurut riwayat beliau, Kiai Hasyim ketika akan memulai pengajian kitab Bukhari, kitab dibuka lalu dibolak-balik dibaca sekilas lalu ditutup, dibalik dan mulai ngaji. Ngaji Kiai Hasyim itu katanya tanpa sadar. Jadi kira-kira jedab gitu. Sehingga ketika Kiai Hasyim ngaji menggunakan alas kulit kambing dan kulit kambing itu panas, tidak sadar geser-geser sarung dan hampir tersingkap. Akhirnya ada murid yang maju kemudian menyingkap (menutup) lagi sarung Kiai Hasyim. Memang Kiai Hasyim tidak sadar. Beliau agak mendongak, lanjut terus-menerus ngaji.
Data yang luar biasa dari Gus Afif. Artinya dua data tersebut sebenarnya menguatkan bahwa Kiai Hasyim itu hafal kitab Bukhari. Pertanyaannya sekarang, mengapa Kiai Hasyim itu memilih fan keilmuan hadis sebagai tren keilmuan beliau?.
Dalam kitab Irsyadussari di mukaddimah-nya itu beliau menuliskan keistimewaan-keistimewaan bagi orang yang mengkaji hadis. Kira-kira apa itu? Salah satunya adalah menetapkan hadis Nabi sebagai landasan kajian dan landasan mengajar beliau, tahamul wa al-‘ada dari hadis Ibnu Mas’ud:
روينا عن إبن مسعود رضي الله عنه قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” نضر الله امرأ سمع مقالتي فحفظها ووعاها وأداها فرب حامل فقه إلى من هو أفقه منه، رواه الشافعي والبيهقي
وعن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال في حجة الوداع نصر الله إمرأ سمع مقالتي فوعاها فرب حامل فقه ليس بفقيه
Proses transmisi hadis (tahamul wa al-‘ada) itu berdasarkan hadis tersebut. Pertama سمع, mendengarkan dari riwayat-riwayat (ngaji). Setelah itu ditambah dengan menghafal. Maka dari itu di Ma’had Aly ada tahfid hadis, menghafal dalam empat tahun target 240 hadis.
Kedua أدى, transmisi keilmuan pun harus dengan amanah (كما سمع). Ini menjadi penjagaan kualitas hadis secara tepat dari sang guru, tercermin dari sanad yang disampaikan kepada murid-muridnya. Kiai Hasyim juga mengutip hadis:
عن إبن عباس رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اللهم إرحم خلفائي، ثلاثا، قلنا: يا رسول الله ومن خلفاؤك، قال: الذين يروون أحاديثي ويعلمونها الناس، رواه الطبراني في الأوسط
Ini termasuk motivasi pengajar hadis dari Hadratussyaikh. Dr. Anang menafsirkan semua yang ada dan menyimak di forum KKL ini yang termasuk kategori orang yang mempelajari hadis Nabi. Semoga setiap detik dari waktu yang dilalui ini mampu membawa kita masuk dalam kategori orang-orang yang mendapatkan doa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Salah satu bentuk ragam tahamul wa al-‘ada atau periwayatan hadis di Tebuireng adalah ijazah secara mutlak. Contohnya:
إني قد أجزت ولدي وقرة عين رادين فوزا بن المرحوم الشيخ معصوم القدسى الجاوي أن يروي عنى ما تجوز روايته من صحيح البخاري وصحيح مسلم وإحياء الإمام الغزالي …. اهـ
Ini adalah bentuk periwayatan secara ijazah (ijazah umum). Dan Kiai Hasyim memberikan parafnya secara jelas dengan tulis tangannya sebagai penutup, أنا القفير الجاني محد هاشم أشعري الجنباني حامدا مصيا محوقلا. Beliau mengijazahkan kitab-kitab beliau ke Raden Fauzan bin Kiai Maksum itu dengan mengharap bahwa kitab ini bisa disebarkan di Kudus.
Ada sanad dari Kiai Aqil Siroj, Cirebon yang meriwayatkan secara سماعا لبعضه (bandongan) dan إجازة لبقيه (ijazah mutlak) dari Kiai Hasyim. Ada juga sanad Kiai Siddik, Kudus, dari Damaran, yang dua kali khatam dari Kiai Hasyim di Tebuireng pada 18 Sya’ban 1359 dan tahun 1361 Hijriyah.
Tahamul yang pertamaitu ijazahan, yang kedua sima’an, dan yang ketiga al qiraah ala syaikh (sorogan). Ketiga hal tersebut merupakan bermacam proses transmisi hadis yang ada di Tebuireng.
Kyai Syansuri Badawi yang meneruskan tradisi kajian kitab Shahih Bukhari dan Muslim di pesantren Tebuireng dan sanadnya juga, tetapi lebih ke sima’an.
فقد اتصلت إلينا رواية صحيح مسلم سماعا من أوله إلى آخره عن شيخنا العلامة هاشم أشعري التبوئرنج عن الشيخ محمد محفوظ بن عبد الله … اهـ
Teks tersebut menunjukkan bahwa Kiai Syansuri itu ngajinya simaan ke Kiai Hasyim. Dr. Anang sendiri ngaji menyantri di Tebuireng dengan Kyai Habib Ahmad. Beliau mengambil sanad Bukhari dengan cara qiroah dari Kiai Idris Kamali dan simaan dari Syaikh Sansuri Badawi.
Dari periwayatan hadis itu lantas Ma’had Aly mencoba untuk menggabungkan dan menerjemahkan tradisi tersebut ke dalam kurikulumnya. Beberapa mata kuliah di Ma’had Aly disampaikan secara bandongan dan sorogan. Perkuliahan kitab Bukhari oleh Kiai Muthohharun Afif disampaikan secara sorogan. Tetapi ada masyayikh lain yang menggunakan bandongan. Ini salah satu bentuk Ma’had Aly mencoba untuk meneruskan tradisi periwayatan hadis dengan segala macam jenis periwayatannya dan dicerminkan ke dalam SKS.
Ijazah itu lebih ke khataman Bukhari Muslim, dan beberapa kitab yang lain. Ma’had Aly juga punya PKL semacam KKL ini, rihlah ilmiah dengan judul “sambung sanad”. Sowan ke kiai sepuh seperti Kiai Anwar, Lirboyo, kemudian ke Langitan. Sambung sanad ini untuk membekali mahasantri-mahasantri tabarrukan sanad ke kiai sepuh.
Sebenarnya mayoritas dari pesantren termasuk di Kudus itu ada pengajian kitab Bukhari. Kalau dulu itu Kiai Asnawi Kudus, membaca kitab Bukhari di masjid Menara dan berlanjut sampai sekarang. Dr. Anang yakin sanadnya (Kiai Asnawi) dari Tebuireng, dari Kiai Hasyim dan beberapa pondok seperti Lirboyo dan lain-lain juga seperti itu. Sehingga bisa dikatakan Kiai Hasyim ini menjadi salah satu tokoh sentral yang menyebarkan tradisi keilmuan hadis secara riwayat di Nusantara. Dan hingga saat ini menjadi salah satu kajian yang menarik. Tebuireng ingin mencoba untuk studi jejaring sanad Kyai Hasyim menyebar ke mana saja sekarang. Itu menjadi salah satu cita-cita di Tebuireng.
Mungkin nanti bisa dibuat sebagai sebuah program Ma’had Aly untuk pelacakan jejaring keilmuan riwayat hadis Kiai Hasyim sudah sampai mana saja, yang masih langgeng hingga sekarang mana saja dan yang sudah khatam tidak diteruskan mana saja. Mohon maaf jika terlalu panjang, Wallahu muwaffiq ila aqni thariq wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Penyampaian materi KKL ini dimoderatori oleh Ach. Syifa’ Qolby. Adapun dalam sesi dialog diberikan dua kesempatan bagi mahasiswa IAIN Kudus untuk bertanya kepada narasumber.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Izin bertanya, sekarang kan sedang berada di era digital, bagaimana pesantren dalam mempertahankan relevansi kajian hadis di tengah perkembangan teknologi dan akses yang sangat mudah terhadap informasi?.
Sekarang kajian-kajian bandongan di pesantren sudah disiarkan langsung (live streaming). Khusus untuk pengajian-pengajian masyayikh kitab-kitab besar, itu sudah disiarkan langsung. Jadi ketika Ramadan, Bukhari atau Muslim itu di-live streaming. Ramadan kemarin Dr. Anang juga ngaji kitab Muslim ke Kyai Ahmad Sukarto melalui live streaming tetapi ketika khataman beliau hadir saat sanadan (ijazahan).
Mengapa seperti itu? Karena dulu saat kita pernah seperti ini ada seminar dengan Syaikh an-Ninowi dari Amerika Serikat. Ada santri, teman-teman itu nanya, “Kira-kira kalau ngaji live streaming itu dapat sanadnya tidak?” Kata Syaikh an-Ninowi itu bisa karena sebenarnya live streaming itu hanyalah wasilah saja. Tetapi memang kalau keberkahan tidak tahu, karena keberkahan itu kan menempel pada waktu, menempel pada tempat, menempel pada seseorang. Sedangkan live streaming tidak dapat keberkahan tempat karena tidak bisa bertatap muka kepada Syekhnya. Dari sisi keberkahan, wallahu a’lam mungkin nilainya bisa kurang, tetapi untuk keilmuan yang disampaikan itu bisa kita terima. Sehingga ada beberapa peserta ngaji kilatan itu yang sifatnya memang ngaji kilatan mukim di Tebuireng. Beberapa itu mengikuti melalui live streaming dan ini menjadi salah satu bentuk bagaimana pesantren itu bisa beradaptasi dengan kebutuhan-kebutuhan modern. Dengan jarak dan waktu yang terhalang untuk bisa hadir maka beberapa pesantren menyelenggarakan pengajian secara streaming.
Kalau bentuk yang lain belum ada. Inginnya di M2 karena salah satu program pengabdian setelah kuliah M2 itu bisa berbasis teknologi. Sehingga mahasantri M2 nanti bisa mengabdi dengan mendigitalisasi dan membuat program semacam apps atau yang lain dari keilmuan-keilmuan hadis yang dasar, apakah itu musthalah atau kajian hadis. Program pengabdian ini sudah disampaikan kepada pengasuh dan disetujui. Semoga niat baik untuk bisa menyiarkan dan viralkan kajian hadis, bisa terlaksana. Dan ini menjadi salah satu bentuk kontribusi dan cita-cita kami untuk bisa berkhidmah kepada ilmu.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Izinkan bertanya tentang Ma’had Aly yang erat dan kental kaitannya dengan kitab turast, tradisi bandongan, atau sorogan. Bagaimana ketika ada mahasiswa yang belum lancar atau tidak bisa dalam memahami membaca kitab, itu strategi bagaimana Ma’had Aly menghadapi mahasiswa yang seperti itu? Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Waalaikumsalam warahmatullah.
Ma’had Aly mempunyai visi tafaqquh fiddin. Pengasuh Tebuireng memiliki komitmen untuk membiayai mahasiswa atau siapa pun yang ingin mengkaji dan mendalami hadis, biayanya ditanggung oleh pesantren. Beasiswa ini menjadikan Ma’had Aly tidak bisa menerima semua pendaftar. Salah satu cara penyaringannya dengan tes materi bahasa Arab.
Bagaimana jika sudah lulus dan sulit untuk membaca kitab kuning? Belum lagi nanti presentasinya memakai bahasa Arab dan dosen menyampaikan dengan bahasa Arab? Ma’had Aly menyediakan program matrikulasi. Matrikulasi bahasa ini memiliki dua target yang dituju, pertama adalah menguasai baca kitab (bimbingan membaca kitab/BMK), kedua adalah lebih ke maharatul kalam dan ini ditempuh selama satu tahun pertama. Sehingga insyaallah nanti bulan Juni akan menggelar workshop kurikulum, sehingga semua mata kuliah yang berkaitan dengan bahasa itu ditaruh di awal. Semester 1 full dengan bahasa dan tahfidz serta bandongan-bandongan. Lalu semester 2 sudah mulai masuk ke keilmuan-keilmuan dasar ummulul hadis, ulumul quran, dan lain-lain.
Matrikulasi menjadi salah satu pijakan kepada mahasantri. Ketika dievaluasi muncul beberapa kesulitan di awal-awal itu karena tidak mudah untuk mendapatkan bibit calon mahasantri yang ideal, bisa baca kitab dan bahasa Arab. Sehingga Ma’had Aly juga tidak lepas tangan dengan lantas membiarkan mahasantri-mahasantri ikut kuliah tanpa bisa memahami materi, tetapi coba untuk dibina. Ma’had Aly mengawal pembinaan kebahasaan itu dengan program matrikulasi dan diintegrasikan ke dalam kurikulum. Beberapa penguatan bahasa dilakukan di kampus maupun di asrama. Di Ma’had Aly semuanya wajib tinggal di pondok, sehingga pembinaan itu bisa dua arah baik di kampus maupun di asrama. Bagaimana kalau ada yang tetap lemah? Memang ada beberapa kasus, sebelum muncul program matrikulasi itu ada mahasantri sampai mengajukan cuti. Satu tahun, lantas kursus atau mondok di Pare. Model semacam itu akhirnya Ma’had Aly mencoba untuk membuat program pembinaan sendiri. Juga pernah kerja sama dengan salah satu kursus di Pare. Itu menjadi salah satu ikhtiar bagaimana supaya teman-teman Ma’had Aly bisa mengikuti kuliah dengan lancar, bisa paham ketika membaca kita kuning dan bisa ngomong ketika presentasi bahasa Arab.
Wallahuul muwaffiq ila aqwamit thariq wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pentranskrip: Masnun