Blog

Korona Merebak, Ibadah Malang Kadak (2)

Bincang di Masa Pandemi bersama KH. Mustain Syafi'i
Diskusi Publik

Korona Merebak, Ibadah Malang Kadak (2)

Oleh: Ahmad Musta’in Syafi’ie

(Dishare via What App pada 24 Maret 2020)

Memang penyakit itu lintas agama. Tak pandang agamanya apa. Bila lemah, ya kena. Tapi kami yaqin, haqqul yaqin, bahwa islam lebih sempurna memberi panduan. Tidak hanya pakai kurikulum “puskesmas” saja, melainkan juga kurikulum “masjid”.

Usulan tetap memakmurkan masjid di tengah korona bukan melawan kurikulum puskesmas, karena setelah lebih dahulu mematuhi kurikulum puskesmas. Seperti disteril, cuci tangan, jaga jarak dll. Tidak pula melawan fatwa pembolehan tidak jum’ahan atau berjamaah, justru membantu pemerintah dalam penanganan korona. 

1. Pertama, masjid adalah tempat sujud, tempat mengadukan semua problem kepada Dzat yang maha kuasa. Apalagi dilakukan secara kolosal dan demonstratif (berjama’ah), maka Tuhan tak tega menolak. Jika Anda yakin ini, maka izinkan masjid membantu percepatan penyelesaian korona dengan caranya sendiri.

Untuk itu, datanglah besopan-sopan ke Rumah-Nya, seperti anda beramai-ramai datang ke istana menuntut sesuatu. Di masjid, Tuhan telah lama menunggu kedatangan kalian. Saatnya berik’tikaf menyeluruh, muhasabah dan isftigfar, serta membuka pintu masjid di malam hari. Saatnya semua ber-QUNUT NAZILAH secara tadlarru’ wa khufyah.

Simak salah satu penggalan kata dalam qunut nazilah. “.. Allahumm idfa’ ‘anna al-bala’ wa al-waba’ wa al-ghala’…“. (tangkislah kami dari bala, waba dan ghala). Ada keterkaitan antara ketiganya : al-bala’ (cobaan, belai – Jawa), al-waba’ (wabah, korona), al-ghala’ (harga mahal). Terbaca, bahwa Masjid tidak hanya memproyeksikan dihilangkannya korona saja, melainkan juga bala’ yang lain, bahkan memohon stabilitas ekonomi yang bisa terjadi akibat dampak wabah.

Betapa banyak orang yang tega mengeruk untung dari sekedar penjualan masker, jahe dan temulawak. Belum lagi kalau “lock down”, maka kebutuhan pokok jadi rebutan. Sungguh hal yang tidak terjangkau oleh kurikulum puskesmas. Dan itu hanya bisa dilakukan bersama, di masjid.

Dalam sejarah orang-orang shalih terdahulu, tidak ada qunut nazilah yang tidak efektif. Semua problem terselesaikan di luar nalar. Padahal zaman dulu, penanganan wabah secara medis tidak secanggih sekarang.  

2. Kedua, benar-benar ada jaminan dari hadlrah Rasulillah SAW, bahwa Allah SWT tidak akan menimpakan wabah kepada ahli masjid, ‘ummar al-masjid. Jika anda percaya sabda Nabi ini, maka yakinlah bahwa Tuhan tidak mungkin menebar Covid-19 di rumah-Nya sendiri.

Maka, bagi yang sudah positif terpapar, ya jangan ke masjid. Sekali lagi, karena ahli masjid adalah orang-orang bersih, lahir dan batin, ” fih rijal yuhibbun an yatatahharu” (al-Taubah:108). Sementara kerumunan di luar masjid, resepsi, wisuda, tahlilan, tempat ibadah agama lain tidak ada jaminan.   

3. Ketiga, korona ini bisa jadi sebagai tes keimanan bagi umat islam terkait kepeduliannya dengan masjid. Bukankah, hanya orang yang beriman saja yang setia memakmurkan masjid (al-Taubah:18) ?.

Bagi yang tidak pernah ke masjid memang tak ada beda, diwajibkan, apalagi dilarang. Tapi tidak bagi yang biasa sobo masjid. Rasanya ada yang hilang. Bukankah Tuhan juga welas asih kepada seseorang yang hatinya “gumantung” di masjid, “rajul qalbuhu mu’allaq fi al-masajid” (Hadis).

Indah sekali, bila kiai Makruf Amin mempelopori sisi masjid, sementara pak Jokowi sisi puskesmasnya. Tulisan ini sekedar mengimbangi pemikiran fiqih yang lebih fokus ke akaliah dengan mengajak sedikit naik ke zona ilahiah. KEHILANGAN SANDAL DI MASJID MEMANG KECEWA. SEHARUSNYA LEBIH KECEWA LAGI KETIKA SANDAL ANDA TIDAK PERNAH KELIHATAN DI MASJID. Hadana Allah.