Larangan Perempuan menjadi Pemimpin dalam Hukum Islam
Larangan Perempuan menjadi Pemimpin dalam Hukum Islam
Semakin lama waktu berjalan, semakin kompleks pula kehidupan serta peradaban manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut manusia untuk selalu berproses dan mengembangkan dirinya. Potensi-potensi yang ada dalam diri manusia menjadi modal penting untuk terwujudnya manusia yang produktif dan diharapkan akan memberi manfaat terhadap sesama. Dewasa ini, tidak hanya laki-laki saja yang ingin berkiprah untuk menwujudkan ambisi-ambisi dan tujuannya, wanita sekarang juga mempunyai keinginan yang sama untuk berproses dan berkembang dengan tujuan untuk mewujudkan semua ambisinya dalam hal-hal yang ia cita-citakan.
Perempuan di zaman sekarang cenderung ingin merobohkan asumsi mayoritas masyarakat yang berpendapat bahwa peran perempuan hanyalah menjadi konco wengkeng, hanya berperan sebagai suporter laki-laki dari belakang dan tidak mempunyai peluang besar untuk ikut berperan seperti halnya laki-laki.
Tidak hanya sampai di situ, kini juga banyak perempuan yang berambisi untuk menampakkan eksistensinya di ruang publik. Tidak sedikit dari mereka mencalonkan dirinya untuk menjadi pemimpin, baik dalam sektor desa sekalipun sampai dengan kota atau bahkan negara.
Namun banyak teks-teks keagamaan normatif yang difahami secara mantuqiyah (tekstual) oleh ulama klasik yang membatasi perempuan untuk berperan sejauh itu. Dengan mepertimbangkan perbedaan keadaan sosio-historis ulama terdahulu dan sekarang, tentu teks-teks keagamaan tersebut membutuhkan peninjauan pemahaman kembali serta kajian secara komperhensif dengan metode mafhumiyah (kontekstual).
Di antara teks keagamaan yang membatasi peran perempuan khususnya dalam ranah kepimimpinan adalah hadis riwayat Bukhari nomer 4425 :
عنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ: لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الجَمَلِ، بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ، قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى، قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً» (رواه البخارى فى الجامع الصحيح)
A. Terjemah Hadis.
Diriwayatkan dari Abu Bakrah berkata: “Allah menjagaku dengan sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah SAW pada perang Jamal yakni tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang kuda guna berperang bersama mereka”. Abu Bakroh meneruskan: Saat Kaisar Persia mati, Rasul bersabda: “Siapa yang menjadi penggantinya?” Mereka menjawab: Putrinya. Lalu Nabi pun bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan”
B. Hasil Takhrij
NO | MUALLIF | KITAB | BAB | NO HADIS |
1 | Imam Al-Bukhori | Shohih Al-Bukhori | Fitnah yang bergejolak seperti gejolaknya laut | 7099 |
2 | Imam Al-Turmudzi | Sunan Al-Turmudzi | Bab | 2262 |
3 | Imam An-Nasa’i | Sunan An-Nasa’i | Larangan Menyerahkan Hukum terhadap Perempuan | 5388 |
4 | Imam Al-Baihaqi | Sunan Al-Kubro | Bab perempuan dan orang Fasik menjadi wali | 20362 |
5 | Imam Al-Hakim | Mustadrok ‘Ala Al-shohihaini | Kisah I’tizalnya muhammad bin musallama al-Anshori | 4608 |
C. Bagan Sanad
D. Asbabul Wurud
Dalam diskursus ilmu hadis, telah dikenal ilmu asbab al-wurud. Dalam kajian fiqhu al-hadis ilmu asbab al-wurud mempunyai peranan yang sangat penting, karena dapat menghindarkan dari kesalahapaman (misunderstanding) dalam mengungkap pemahaman tersirat dari suatu hadis atau biasa dikenal dengan istilah fikih al-hadis. Untuk memahami hadis di atas dengan pemahaman yang sempurna perlu kiranya untuk membahas secara komperhensif asbab al-wurud dari hadis tersebut.
Hadis ini disampaikan oleh Nabi saw ketika mendengar berita dari salah satu sahabat tentang pengangkatan seorang ratu di Persia yang bernama Buwaran binti Sarawaih bin Kisra. Dia diangkat menjadi ratu karena semua saudara laki-lakinya terbunuh karena perang saudara untuk memperebutkan kekuasaan, sedangkan keluarga kerjaan tidak rela jika kekuasaan di kerajaan lepas dari keturunan raja-raja sebelumnya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 9 H.
Sedangkan alasan periwayatan Abu Bakroh terhadap hadis ini adalah peristiwa perang Jamal. Di mana Aisyah, Thalhah dan Zubair pergi ke Basrah untuk mengajak orang-orang guna menuntut kematian Utsman ibn Affan kepada pemerintah yang sedang berkuasa saat itu yaitu Ali bin Abi Thalib agar melaksanakan hukum qishas terhadap pembunuh Utsman. Abu Bakrah pun menolak untuk bergabung dengan gerakan pasukan jamal (unta) yang bertendensi dengan hadis yang ia dengar dari Rasulullah tersebut.[1]
E. Penjelasan Hadis
Jika hadis ini diamati secara tekstual maka dapat diambil kesimpulan bahwa suatu kaum atau suatu negara bahkan suatu distrik terkecilpun tidak akan menuai keberhasilan dan kesuksesan jika dipimpin oleh seorang perempuan. Inilah metode pemahaman yang ditempuh oleh cendikiawan muslim klasik.
Imam Jabir Al-jazairi misalnya. Beliau, adalah salah satu cendikiawan muslim yang menempuh metode yang digunakan oleh mayoritas cendikiawan muslim klasik, yaitu memahami hadis tersebut dengan metode tekstual. Imam al-jaziri menuliskan dalam salah satu kitabnya yang bertajuk Uddath Wa Ubbar Min Ahadisi Sayyidi Al-Basyar setidaknya ada beberapa point penting yang bisa diambil dari hadis tersebut :
- Hadis tersebut menerangkan tentang kaum Persia yang beragama Majuzi yang mempunyai seorang raja yang bernama Kisra. Ketika Kisra meninggal tahtanya pun berpindah kepada anak perempuannya yang bernama Buwaran binti Sarawaih. Ketika masa kepemimpinan Buwaran binti Sarawaih, Persia mengalami kemunduran yang sangat pesat bahkan mengalami kehancuran.
- Apa rahasia dibalik dilarangnya seorang perempuan menjadi seorang pemimpin? Rahasia di balik dilarangnya seorang perempuan menjadi pemimpin adalah karena seorang perempuan adalah sosok yang lemah dan mempunyai beberapa kekurangan. Rasulullah telah mengisyaratkan bahwa perempuan mempunyai beberapa kekurangan yaitu kekurangan dalam aspek akal serta agama.
- Perempuan mempunyai pekerjaan tersendiri yang telah ditentukan oleh Allah untuknya. Yakni, membesarkan anak-anaknya serta mendidik mereka. Dan ini termasuk pekerjaan khusus bagi wanita yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang laki-
- Jika pekerjaan seorang laki-laki berada di luar rumah maka pekerjaan perempuan hanya meliputi hal-hal yang meliputi rumah tangga saja, tidak lebih. Ini adalah hukum yang dikehendaki oleh Allah SWT, bukan hukum yang berasal dari Barat yang penuh dengan kebodohan serta kekufuran. Mirisnya hukum barat inilah yang malah sekarang dilakukan oleh kebanyakan manusia di seluruh dunia.
- Permulaan bagi rusaknya hukum-hukum Allah dengan aturan-aturan Barat yang penuh dengan kebodohan dan kekufuran adalah banyaknya orang muslim yang belajar tentang ilmu serta budaya Barat. Maka dari itu, mulai sekarang saya mengajak serta mengingatkan kepada seluruh wanita muslimah untuk tidak belajar kecuali hal-hal yang berhubungan dengan agamanya, bagaimana dia mengabdi kepada tuhannya serta berbakti kepada orang tuanya. Kemudian setelah dia menuntaskan belajarnya, dia kembali kepada orang tuanya guna membantu mereka untuk mengurus hal-hal yang berhubungan dengan rumah tangga seraya tetap mengabdi kepada tuhannya sampai ada laki-laki yang menjemputnya dan menikahinya. Yang di dalam rumah tangga tersebutlah, mereka akan saling membahagiakan satu sama lainnya. [2]
Cendikiawan muslim klasik berbeda pendapat dalam perempuan yang menjadi pemimpin atau menjadi seorang hakim.
- Pendapat pertama mengatakan bahwa seorang perempuan tidak berhak untuk menjadi pemimpin atau menjadi seorang hakim. Pendapat ini didasarkan terhadap hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori di atas. Ini merupakan pendapat yang diusung oleh mayoritas ulama klasik (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Ahmad).
- Boleh secara mutlak, maksudnya, perempuan boleh menjadi menjadi pemimpin atau seorang hakim dalam semua ranah hukum, baik dalam ranah akhwal as-syahsiyah (hukum keluarga) ataupun hukum jinayat (pidana). Ini merupakan pendapat Ibnu Jarir.
- Wanita boleh menjadi pemimpin atau seorang hakim di dalam ranah yang dimana dalam ranah tersebut persaksiannya diterima yaitu pada ranah akhwal as-syahsiyah (hukum keluarga). Wanita tidak boleh menguasai hukum yang berhubungan hukum jinayat (pidana). Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah.[3]
4. Kontekstualisasi Hadis
Perdebatan tentang kepemimpinan wanita dalam perspektif Islam memang sangat menarik dan perlu untuk dikaji, mengingat kepemimpinan merupakan suatu hal sangat primer dalam menata kehidupan masyarakat, baik mulai dalam lingkup kecil seperti rumah tangga, maupun dalam lingkup yang besar seperti negara. Sebagaimana telah dijelaskan di atas mengenai kepemimpinan seorang wanita, mayoritas ulama klasik hingga sebagian ulama kontemporer berpendapat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk menjadi seorang pemimpin negara, dengan dasar hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah tersebut.
Namun demikian semua pendapat itu merupakan hukum fikih yang diperoleh melalui kreatifitas intelektual para ulama dengan kajian yang sangat mendalam terhadap sumber utama hukum Islam yaitu Al-Quran dan hadis. KH. Husein Muhammad mengatakan bahwa fikih merupakan aspek paling praktis dalam mengatur tata kehidupan masyarakat beragama, baik dalam hubungan personal antara manusia dengan tuhannya (ubudiyah), hingga hubungan yang lebih luas, seperti hubungan sosial kemasyarakatan (muamalah). Oleh karena itu fikih tidak lepas dari aspek sosial masyarakat, baik secara budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Sehingga tidak ada hukum yang absolut dalam fikih, serta memungkinkan fikih untuk berubah sesuai perkembangan kehidupan masyarakat.[4]
Literatur keislaman jika dipahami secara sekilas seolah tidak memberikan perempuan ruang yang cukup untuk menjadi seorang pemimpin. Namun seiring dengan berkembangnya zaman dan perubahan kehidupan, menuntut umat Islam untuk lebih terbuka serta perlu menafsirkan kembali secara lebih terbuka terhadap dalil-dalil yang ada, demi menjaga relevansi hukum Islam dalam menyikapi problem yang ada dalam kehidupan masyarakat. Terlebih di era modern ini masyarakat sangat menjunjung tinggi kehidupan berdemokrasi, yang artinya antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam hal apapun termasuk menjadi seorang pemimpin.
Fakta sejarah telah menunjukkan bahwa banyak perempuan yang menjadi presiden atau perdana menteri di berbagai negara di seluruh dunia, dan melaksanakan tugasnya dengan sangat baik, bahkan terkadang lebih baik dari pada tugas itu diemban seorang laki-laki. Namun sejumlah orang masih menganggap perempuan kurang cocok untuk menduduki posisi jabatan kepemimpinan tertentu, bahkan bagi para pemikir konservatif perempuan masih ditolak menjadi pemimpin.
Salah satu dalil yang dijadikan rujukan ialah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah sebagaimana telah disebutkan di atas. Mengenai hadis tersebut Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadis yang diriwayatkan Abu Bakrah ini melengkapi kisah raja Kisrah yang menyobek surat Nabi SAW. Kemudian pada suatu saat ia dibunuh oleh anak laki-lakinya kemudian dia membunuh saudara-saudaranya. Ketika dia mati diracun penguasa kerajaan akhirnya jatuh ketangan anak perempuannya yaitu Bauran binti Sarawaih bin Kisra. Tidak lama kemudian kerajaan itu hancur berantakan sebagaimana doa Nabi saw.[5]
Melihat terhadap latar belakang hadis tersebut KH. Husein Muhammad memaparkan hadis ini jelas hanya diungkapkan dalam kerangka pemberitahuan sebuah informasi yang disampaikan Nabi SAW dan bukan dalam kerangka legitimasi hukum. Oleh karena itu hadis tersebut tidak mempunyai relevansi sebagai landasan hukum fikih untuk meralang perempuan menjadi pemimpin.[6] Dengan demikian hadis tersebut harus dipahami dari esensi dan tidak bisa digenaralisasikan untuk semua kasus, melainkan bersifat khusus untuk bangsa Persia pada saat itu.
Selain hadis di atas, dalil yang dijadikan landasan bahwa perempuan dilarang menjadi pemimpin mengacu pada ayat Al-Quran surah an-Nisa’ sebagaimana berikut:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Laki-laki adalah qawwam atas perempuan. Dikarenakan Allah telah memuliakan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari harta mereka”.(QS. an-Nias’ 34)
Husein Muhammad dalam kitabnya “Fikih Perempuan” memaparkan penafsiran ulama klasik terhadap ayat di atas. Menurutnya para ahli tafsir menyatakan bahwa qawwam berarti pemimpin, pelindung, penangagung jawab, pendidik, pengatur dan lain-lain yang semakna. Para ahli tafsir juga mengatakan bahwa kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan ialah karena keunggulan akal dan fisik nya.[7] Salah satu ahli tafsir yang berpendapat demikian ialah Imam ar-Razi, beliau mengatakan bahwa kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan meliputi dua hal: ilmu pengetahuan (al-‘ilm) dan kemampuan fisik (al-qudrah). Akal dan ilmu pengetahuan laki-laki menurut ar-Razi melebihi akal dan pengetahuan perempuan serta untuk pekerjaan keras laki-laki lebih sempurna.[8]
Para ahli tafsir yang lain seperti Imam al-Qurtubi juga mempunyai pendapat yang sama, dalam kitabnya beliau menyatakan bahwa laki-laki mempunyai kekuatan baik fisik maupun karakter secara alami yang tidak dimiliki perempuan, karena karakter laki-laki cenderung semagat dan tegas, sedangkan karakter perempuan cenderung lemah lembut.[9] Dengan artian kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan merupakan pemberian tuhan yang bersifat fitri, alami, kodrati. Demikian pula pandangan para ahli fikih, sebagaimana telah disebutkan bahwa Imam Malik, Imam Syafi’ dan Imam Ahmad berpendapat perempuan tidak boleh menduduki posisi kepemimpinan publik dalam sektor apapun baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Karena sektor tersebut merupakan ranah publik yang harus dipimpin oleh sesorang yang mempunyai intgritas, sedangkan tingkat kecerdasan perempuan berada di bawah kecerdasan laki-laki.
Namun demikian pandangan bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan, di era yang serba demokrasi ini menuai kritikan dari beberapa ulama kontemporer. KH. Husein Muhammad adalah salah satu ulama yang tekun dalam membela kesetaraan. Dalam kitabnya beliau memaparkan bahwa pandangan tentang kelebihan-kelebihan tersebut telah terbantahkan dengan sendirinya melalui fakta-fakta yang terjadi. Realitas sosial dan sejarah modern membuktikan bahwa telah banyak perempuan yang bisa melakukan tugas-tugas yang selama ini dianggap hanya bisa dilakukan kaum laki-laki. [10]
Jika demikian lalu bagaimana cara memahami ayat tersebut? Setelah mengkritik pandangan bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan adalah hal yang bersifat alami, KH. Husein Muhammad memaparkan bahwa ayat tersebut harus dipahami sebagai ayat sosiologis dan kontekstual, karena posisi perempuan yang menjadi subordinasi laki-laki, muncul dari peradaban masyarakat yang dikuasai kaum laki-laki. Tentu dalam bangunan masyarakat yang demikian perempuan tidak diberikan kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya sebagaimana laki-laki. Pemahaman bahwa ayat Al-Quran menempatkan perempuan pada posisi itu, dalam bangunan masyarakat yang demikian adalah tepat dan maslahah.[11]
Apa yang dipaparkan oleh KH. Husein muhamad adalah hal yang rasional. Karena jika melihat terhadap perkembangan sejarah era klasik, akses pendidikan yang diperoleh perempuan lebih kecil dibandingkan laki-laki, sehingga laki-laki tampak lebih unggul dari pada perempuan termasuk dalam hal kepemimpinan. Oleh karena itu larangan perempuan mejadi pemimpin adalah hal yang maslahah pada era tersebut. Hal ini tentu berbeda dengan era modern, di mana antara perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk menunjukan eksistensinya, sehingga dalam hal kepemimpinan tidak lagi melihat terhadap jenis kelamin, melain tergantung pada potensi dan integritas.
Tentu landasan pendapat ulama kontemporer tentang kepemimpinan perempuan bukan hanya melihat terhadap fakta sejarah modern, melainkan juga berdasarkan ayat Al-Quran. Salah satu ayat yang mendasari pemikir kontemporer terhadap boleh nya perempuan menjadi pemimpin ialah firman Allah:
“يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ”
“Hai manusia, kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan kami telah jadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling takwa”. (QS. Al-Hujurat (49) ayat 13.)
Mengenai ayat di atas, KH. Husein Muhammad dalam kitabnya memaparkan pandangan Syekh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah. Setelah beliau meneliti terhadap teks-teks Al-Quran dan hadis, beliau menyimpulkan bahwa syariat Islam dibangun untuk kepentingan manusia serta tujuan kemanusiaan yang universal, yaitu kemashlahatan, keadilan, kerahmatan dan kebijaksanaan. Prinsip-prinsip ini harus menjadi dasar dan subtansi dari seluruh persoalan fikih. Ia harus senantiasa berada dalam pikiran setiap ahli fikih dalam memutuskan suatu kasus hukum.[12]
Dari pandangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam melihat persoalan hukum, ulama kontemporer lebih mengacu terhadap konsep dasar dalam hukum Islam yaitu kemaslahatan. Sebagaimana disampaikan Imam al-Ghazali, kemaslahatan ialah mewujudkan tujuan-tujuan agama, yaitu menjaga lima hal. Pertama menjaga agama (hifdzu al-din) kedua menjaga jiwa (hifdzu al-nafs) ketiga menjaga akal (hifdzu al-aql) keempat menjaga keturunan (hifdzu al-nasl) kelima menjaga harta benda (hifdzu al-mal). Setiap hal yang mengandung perlindungan terhadap lima prinsip ini adalah kemashlahatan.[13] Pernyataan imam al-Ghazali tersebut diadopsi oleh ulama kontemporer sebagai gambaran komitmen agama untuk menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu dalam pandangan ulama kontemporer konsep hukum apapun akan dibenarkan, termasuk dalam masalah kepimpinan perempuan, selama masih sesuai dengan lima tujuan dasar syariat Islam, serta dapat memberi kemaslahatan bagi peradaban umat manusia.
[1] .Imam Al-Qostilani, Irsyadu As-Syari Syarh Shahih Al-Bukhari (6/640)
[2] Jabir Al-Jazairi, Uddath Wa Ubbar Min Ahadisi Sayyidi Al-Basyar, hal:38.
[3] Fatawa Al-Azhar (10\15)
[4] Husein Muhammad Islam tradisional yang terus bergerak ( IRCiSoD, 2019) h. 131.
[5] Husein Muhammad Islam tradisional yang terus bergerak ( IRCiSoD, 2019) h. 289.
[6] Ibid
[7] Husein Muhammad Fiqh Perempuan ( IRCiSoD, 2019) h. 283.
[8] Fahruddin Ar-razi Tafsir Al-Kabir Juz 10, H 88.
[9] Syamsuddin Al-Qurtubi Tafsir Al-Qurtubi Darul kutub Al-qahirah Juz 5, h 169
[10] Husein Muhammad Fiqh Perempuan ( IRCiSoD, 2019) h. 284.
[11] Ibid
[12] Husein Muhammad Fiqh Perempuan ( IRCiSoD, 2019) h. 273.
[13] Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Mushtashfa fil Ilmil Usul (Bairut. Libanun) Juz 1 halaman 286.