Pandangan Hadis tentang Khilafah
Pandangan Hadis tentang Khilafah
Semenjak berdirinya Daulah Islamiyah sudah menuai pro dan kontra. Gerakan politik yang didirikan Taqiyuddin al-Nabhani ini banyak ditentang oleh pemerintah Palestina. Belum cukup sampai di situ ternyata nabi Muhammad sudah menyatakan bahwa kekhalifahan hanya berlansung selama tiga puluh tahun, semenjak Abu Bakar hingga Ali:
سنن الترمذي ت بشار (4/ 73)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَشْرَجُ بْنُ نُبَاتَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُمْهَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي سَفِينَةُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الخِلاَفَةُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُونَ سَنَةً، ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ لِي سَفِينَةُ: أَمْسِكْ خِلاَفَةَ أَبِي بَكْرٍ، وَخِلاَفَةَ عُمَرَ، وَخِلاَفَةَ عُثْمَانَ، ثُمَّ قَالَ لِي: أَمْسِكْ خِلاَفَةَ عَلِيٍّ قَالَ: فَوَجَدْنَاهَا ثَلاَثِينَ سَنَةً، قَالَ سَعِيدٌ: فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ بَنِي أُمَيَّةَ يَزْعُمُونَ أَنَّ الخِلاَفَةَ فِيهِمْ؟ قَالَ: كَذَبُوا بَنُو الزَّرْقَاءِ بَلْ هُمْ مُلُوكٌ مِنْ شَرِّ الْمُلُوكِ.
Said bin Jumhan berkata Safinah menyampaikan hadis kepadaku, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pemerintahan khilafah pada umatku selama 30 tahun, setelah itu diperintah oleh kerajaan.” Lalu Safinah berkata kepadaku: “Hitunglah kekhilafahan Abu Bakar (2 tahun), Umar (10 tahun) dan Utsman (12 tahun).” Safinah berkata lagi kepadaku: “Tambahkan dengan masa khilafah Ali (6 tahun). Ternyata semuanya 30 tahun. Said berkata: “Aku berkata kepada Safinah: Sesungguhnya bani Umayyah berasumsi bahwa khilafah ada pada mereka.” Safinah menjawab: “Mereka (bani Umayyah) telah berbohong. Justru mereka adalah para raja, yang tergolong seburuk-buruk para raja.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
A. Takhrij Hadis
A.1 Daftar Rujukan Hadis:
No. | Mu’allif | Kitab | Bab | No. Hadis |
1 | Imam Ahmad ibn Hambal | Musnad Ahmad | Riwayat Abi Abdillah Abdul al-Rahman al-Safinah | 21816 |
2. | Imam al-Tirmidzi | Sunan al-Tirmidzi | Perkara yang ada dalam Khilafah | 2226
|
3. | Imam Abi Dawud | Sunan Abi Dawud | Tentang Khilafah | 4646 |
A.2 Bagan sanad:
B. Syarah Hadis
Hadis tersebut menguraikan bahwa tidak ada kekhalifahan setelah kepemimpinan khulafa’ rasyidin yang berlangsung selama tiga puluh tahun. Terhitung mulai Abu Bakar as-Siddiq yang memerintah selama 2 tahun 3 bulan 10 hari. Kemudian masa kepemimpinan Umar bin Khattab mencapai 10 tahun 6 bulan 8 hari. Lalu dilanjutkan oleh Usman ibn Affan yang memimpin selama 11 tahun 11 bulan 9 hari. Terkahir dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib selama 4 tahun 9 bulan 7 hari. Kesemuanya adalah kekhalifahan di zaman setelah nabi Muhammad wafat.[1]
Namun ada penentangan pada penjelasan hadis di atas, bahwa Zarqa’ salah seorang wanita bani Umayyah mengaku atas kekhalifahan Umayyah. Kemudian disanggah oleh Safinah bahwa Zarqa’ telah berbohong atas perkataannya. Karena masa kekhalifahan terakhir berada di tangan Ali.
Kerajaan setelah Ali hingga seterusnya itulah yang disebut sebagai seburuk-seburuknya pemerintahan. Karena pada zaman itulah terjadi perpecahan umat Islam menjadi beberapa golongan. Sebabnya tak lain hanya karena politik praktis yang memiliki kecenderungan berpihak pada satu kelompok. Beberapa kelompok yang menonjol saat itu yakni Syi’ah, Khawarij, dan Ahlu al-Sunnah[2]. Sampai-sampai mereka berbeda pendapat dalam penerimaan hadis.Khawarij hanya menerima hadis-hadis yang disampaikan petingginya, dan menolak semua periwayatan selain darinya. Demikian dengan Syi’ah yang menerima riwayat ahli bait saja[3].
C. Aktualisasi Hadis
Khilafah dicetak dari kata Khalafa-Yakhlufu-Khalfan. Khilafah merupakan produk ijtihad masa lampau yang dimulai zaman Khulafa’ al-Rasyidin. Dilanjutkan oleh kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah, dan lain sebagainya. Hingga pada tahun 1924 layar khilafah telah ditutup. Dengan kekhalifahan dinasti Usmaniyah sebagai pamungkasnya.[4] Pun dihiasi bermacam-macam kegagalan dan kekacauan pada setiap kekhalifahan. Akhirnya, kekhalifahan Islam digantikan oleh berbagai ideologi pembaharu, seperti sekularisme di Turki yang digaungkan oleh Mustafa Kamal al-Tartuk.
Kemudian, dilihat dari aspek normatif pendirian Hizbut Tahrir menyandarkan ideologinya pada surat al-Imran ayat 104.
وَالتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ الَي الخَيرِ ويَأمُرُونَ بِالمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ المُنْكَرِ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.
Ayat tersebut memunculkan semangat revolusi Taqiyuddin untuk mewujudkan Daulah Islamiyah, karena ia beranggapan umat Islam saat itu telah diremehkan oleh sistem pemerintahan baru.
Akan tetapi, sistem sekularisme yang ditawarkan al-Tartuk tidak berpihak pada Islam. Dari situ muncul salah satu protes yang digagas oleh Syekh Taqiyuddin al-Nabhani. Beliau beranggapan tergantinya sistem khilafah oleh sekularisme disebabkan: Pertama, tidak adanya pemahaman yang mendalam mengenai fikrah Islamiyah di kalangan para aktivis kebangkitan Islam. Kedua, tidak adanya gambaran yang jelas mengenai thariqah Islamiyah dalam menerapkan fikrah. Ketiga, tidak adanya usaha menjalin fikrah Islamiyah dengan thariqah Islamiyah sebagai satu hubungan yang solid, yang tidak mungkin terpisahkan.[5]
Pada tahun 1953, Syeikh Taqiyudin al-Nabhani yang bercita-cita ingin mewujudkan Daulah Islam. Bersamaan dengan terwujudnya hukum-hukum syara’ secara menyeluruh di setiap sendi kehidupan manusia. Beliau beranggapan bahwa Islam ditafsirkan tidak selaras dengan kandungan nash-nashnya, dengan tujuan agar dapat disesuaikan pada kondisi masyarakat saat itu. Padahal seharusnya, masyarakatlah yang harus dirubah agar sesuai dengan Islam, bukan sebaliknya. Jadi, bukan membuat interpretasi baru mengenai Islam yang sesuai keadaan masyarakat.[6]
Syekh Taqiyudin juga menolak beberapa kaidah fiqih, seperti:
لاَيُنْكَرُ تَغَيُّرُ الاَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الزَمَانِ.
“Perubahan hukum tidak ditolak dikarenakan perubahan zaman”
atau:
العَادَةُ مُحَكًّمَة.
“Adat isitiadat dapat dijadikan patokan hukum”
Lebih dari itu beliau beranggapan umat Islam telah keliru menafsiri ayat berikut:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ. (التوبة: 122)
Tidak patut orang-orang mukmin keluar (medan perang) semuanya. Tapi alangkah baiknya jika yang keluar hanya sebagian dari tiap-tiap golongan dari mereka, supaya mereka menerima pelajaran tentang agama, dan untuk mereka ingatkan pada kaumnya apabila mereka telah kembali kepada mereka, agar mereka bisa berhati-hati.
Sesungguhnya jihad itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu ‘ain. Alhasil, ketika ada suatu kaum yang hendak berperang, maka sebaiknya tidak semua dari mereka keluar berperang. Sebagian darinya harus ada yang bermukim untuk tafaqquh fi al-din, supaya sebagian kamu tersebut dapat mendidik sebagian lainnya yang kembali dari peperangan. Atas dasar ini kewajiban tafaqquh fi al-ddin merupakan fardhu kifayah bukan fardhu ‘ain.[7]
Menurutnya, pendapat di atas telah keliru. Padahal setiap muslim yang baligh dan berakal wajib hukumnya memahami agama, terutama perkara-perkara yang dibutuhkan dalam kehidupannya. Karena ia diperintahkan untuk seluruh amal perbuatannya dengan perintah dan larangan Allah. Dan tidak ada jalan lain untuk melakukan hal ini kecuali dengan mengetahui hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan seluruh amal perbuatan manusia. Karena itu ia beranggapan bahwa tafaqquh fi al-din.
Atas beberapa dasar itu Hizbut Tahrir berusaha untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam di kawasan jazirah Arab. Melalui jalan mendirikan Daulah Islamiyah di beberapa wilayah sebagai titik sentral Islam, sebagai benih terbentuknya Daulah Islam di seluruh dunia.
Namun, jika kita melihat dengan kaca mata Indonesia maka sistem yang ditawarkan oleh Syeikh Taqiyuddin tidak layak untuk diterapkan di sana. Karena ideologi Pancasila yang dirancang oleh para pendiri bangsa tersebut sudah efektif di dalam struktural bangsa Indonesia. Oleh karena itu Daulah Islamiyah menimbulkan beberapa ancaman, pertama ancaman ideologis atas Pancasila. Mereka menganggap Pancasila adalah al-banshasila falsafah kufr la tattafiq ma’a al-Islam (Pancasila adalah falsafa kafir tidak sesuai dengan ajara Islam) (al-Amin, 2012:65).[8]
Kedua, ancaman politik melalui penggantian NKRI dengan negara Islam. Andaikan NKRI digantikan dengan khilafah, umat beragama non-Islam menjadi warga negara nomor dua dan diskriminasi berbasis perbedaan agama menjadi kebijakan utama pemerintahan Islam di Indonesia. (Mas’ud, 2011).
Ketiga, ancaman keamananan, karena doktrin-doktrin yang digunakan berpotensi timbulnya tindakan ekstrimis, hingga muncul gerakan teroris. [9]
[1] Tuhfat al-Ahwadzi syarah Tirmizdi, hal. 88.
[2] Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Dainuri, Ta’wil Mukhtalifah al-Hadist
[3] Ibid.
[4] Nadirsyah Hosen, Islam Yes khilafah No, (Yogjakarta: SUKA Press, 2018), hal. 269.
[5] Abdullah, Terjemah Mafahim Hizbut Tahrir, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2011), hal. 6.
[6] Terjemah Mafahim Hizbut Tahrir, hal. 11.
[7] Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad Syamsudin al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 8, hal 294.
[8] Pandangan dan Perjuangan Ideologis HTI dalam Sistem Kenegaraan, Syaiful Arif
[9] Ibid,