Blog

Studium General Ma’had Aly Tebuireng, Prof. Ahmad Zahro Jelaskan Hadis Ahkam Perspektif Fikih Kontemporer

Studium General 2017
Berita

Studium General Ma’had Aly Tebuireng, Prof. Ahmad Zahro Jelaskan Hadis Ahkam Perspektif Fikih Kontemporer

Mengambil tema “Memahami Hadis-Hadis Ahkam dalam Perspektif Fikih Kontemporer”, stadium general menjadi agenda penutupan rangkaian acara OSPEK Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng pada Ahad (30/07/2017) di Aula Bachir Ahmad Gedung KH. M. Yusuf Hasyim. Kali ini, yang menjadi narasumber merupakan Guru Besar Hukum Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Imam Besar Masjid al Akbar Surabaya, dan Rektor Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum Rejoso (Unipdu), yaitu Prof. Dr. KH. Ahmad Zahro, M.A.

Stadium General kali ini 99% menggunakan bahasa pengantar Bahasa Arab. Di awal penyampaian, beliau menjelaskan, hadis ahkam adalah hadis yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah. Sedangkan fikih kontemporer adalah fikih berlandaskan metode penggalian hukum pada zaman sekarang, mencakup mashalih mursalah, mashalih al-‘am, maqasid as-syari’ah, dan seterusnya. Juga berfokus pada penggalian hukum secara kontekstual dalam memahami makna hadis.

“Kami beri contoh, kita mengenal ada istilah asbab al-wurud. Tetapi juga ada sya’nu al-wurud, yakni lingkungan yang meliputi, konteks hadis itu diucapkan oleh Nabi Saw. Ada berbagai macam hadis yang diucapkan oleh Rasulullah, yang juga mencakup dalam konteks atau keadaan tertentu,” ungkap profesor asal Nganjuk itu.

Beliau mencontohkannya dengan hadis, “antum a’lamu bi amri dunyakum”. Lafad amri tidak diganti dengan umuur (bentuk plural). Hadits ini dirawayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Anas bin Malik ra. Untuk hadis ini ada sababu al-wurud, yaitu tentang seorang petani yang akan membudidayakan pohon kurma. Rasulullah memberikan saran dalam hal bercocok tanam kurma, tetapi hampir pohon kurma itu mendekati layu dan mati. Petani tersebut ragu dan menanyakan lagi pada Rasulullah perihal saran dari beliau yang telah dia laksanakan. Maka Rasulullah bersabda, “antum a’lamu bi amri dunyakum”.

Menurut Prof. Zahro, orang yang meninjau secara tekstual, akan berpendapat bahwa lafad dunya adalah segala hal yang berkaitan dengan dunia. “Seakan-akan Rasulullah hanya mengerti perkara akhirat saja, dan perkara dunia diserahkan kepadamu. Tidak. Tidak seperti itu,” lanjut alumnus Al Azhar Kairo Mesir dan Ma’had Khartoum Sudan itu.

Dunya yang dipahami disini, lanjut beliau, adalah dunia pertanian, bukan dunia yang menjadi kebalikan akhirat. “Rasulullah mengetahui perdangangan, dan juga perkara-perkara yang lain mengenai kehidupan di dunia. Jadi yang dimaksud dunya dari hadis tersebut adalah dunia pertanian,” tambah Ketua Ikatan Persaudaraan Imam Masjid Seluruh Indonesia (IPIM).

Oleh karena itu, Prof. Zahro menganggap,  dari mata fikih kontemporer menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak dapat digunakan dengan makna “segala perkara duniawi”, melainkan disesuaikan dengan kejadian yang melatarbelakangi munculnya hadis itu.

Pada contoh kedua,Prof. Zahro menjelaskan mengenai kepemimpinan perempuan dengan hadis, “Lan yufliha qoumun wa lau amruhum imro’atun”, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari sahabat Abu Bakar. Bagi kelompok tekstualis, maka kepemimpinan bagi seorang wanita itu dilarang, sedangkan bagi kelompok kontekstualis, mereka akan memandang konteks sabab al-wurud dari hadis ini. Menurut Prof. Zahro, hadis ini berlaku secara khusus dalam keadaan sabab al-wurud tersebut, tidak bisa diberlakukan secara umum. Pada persoalan ini, kelompok tekstualis melarang, sedangkan kelompok kontekstualis membolehkan.

Banyak tambahan contoh yang beliau paparkan, mulai dari kewajiban mandi saat hari Jumat, menyemir rambut, mempertebal jenggot, dan beberapa hal lain yang hingga sekarang masih menjadi perdebatan yang cukup hangat di kalangan umat Islam.

Mengenai sabab al-wurud dan sya’nu al-wurud, beliau menjelaskan keduanya merupakan metode penggalian hukum dari fikih kontemporer atau zaman sekarang. Tetapi, tambah beliau, tidak semua hadis Rasulullah itu, juga mempunyai sabab al-wurud.

“Beda antara fikih klasik dan fikih kontemporer, ada pada metode yang  digunakan. Fikih kontemporer akan lebih berfokus pada makna hadis secara kontekstual,” jelas Pembina Jaringan Intelektual Muslim Indonesia (JIMI) se Jawa Timur, Bali dan NTB itu

Acara Studium Genaral ini menjadi salah satu rangkaian acara Penutupan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) 2017 dan pelantikan pengurus Badan Eksekutif Mahasantri (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasantri (DPM) Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng periode 2017-2018.

Hadir dalam kesempatan itu, Mudir Ma’had Aly, KH. Nur Hannan, Lc., M.Hi., Wakil Mudir bidang Akademik, KH. Ahmad Syakir Ridwan, Wakil Mudir bidang Kemahasantrian, KH. Muthoharun Afif, mantan Mudir, Prof. Dr. KH. Djamaluddin Miri, dan sejumlah dosen serta staf.(Sutan/Abror)


Leave your thought here

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *