Menyelesaikan Masalah Kehadisan “Hadis” Dalam Masyarakat
Menyelesaikan Masalah Kehadisan “Hadis” Dalam Masyarakat
Penulis: Ach. Syifa’ Qolby
Menurut alim hadis Dr. Mahmud Thahhan (w. 2022 M) dalam kitabnya Taisir Mustholah Hadis menyebutkan bahwa hadis adalah apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik ucapannya (qouli), tindak lampahnya (fi’li), ataupun ketetapan dan sifatnya (taqriri dan sifat). Dalam dunia Islam, hadis menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, bahkan hadis sendiri dapat menjadi penjelas (bayan) untuk kalam Allah ini. Dengan kedudukan yang luhur tersebut, tentunya menyebar luaskan hadis-pun harus dilakukan dengan saksama. Diperlukan kajian dan penelitian sebelum berdalil atau berhujah dengan hadis.
Yang menjadi titik masalah kali ini adalah bercampurnya hadis dengan yang bukan hadis. Gampangnya, ada banyak ungkapan yang bukan hadis tapi dianggap sebagai hadis. Hal-hal seperti itu disebut dengan Hadis Maudhu’ (Hadis Palsu). Hadis palsu muncul pertama kali pada tahun 41 H., ketika kaum muslimin terpecah-pecah menjadi beberapa golongan karena pertarungan politik yang memanas. Seperti munculnya kaum Khawarij, Syiah, dan jumhur sehingga mereka membuat hadis-hadis palsu yang mendukung golongan mereka sendiri. Hal ini dikemukakan oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki (w. 2004 M) dalam kitabnya Al-Manhalul Lathif fi Ushulil Hadis As-Syarif.
Maka dari itu, banyak ulama terdahulu telah membuat rumusan cara mengetahui keabsahan suatu hadis. Hadis sendiri kemudian dibeda-bedakan nilainya oleh mereka sesuai segi penilaian hadis tersebut. Hal ini dilakukan agar dapat diketahui hadis mana yang dapat digunakan untuk berhujah (maqbul) dan mana yang tidak (mardud). Dengan rumusan tersebut, juga dapat memilah mana yang hadis dan mana yang bukan (hadis maudhu’).
Rumusan ini bisa dilihat dalam beberapa literatur kutubus shafra’ (kitab kuning), seperti kitab Al-Muhadditsul Fashil karya Al-Qadhi Ar-Ramahurmuzi (w. 306 H), kitab ini diyakini sebagai kitab pertama yang membahas ilmu hadis secara khusus, meskipun isi pembahasan di dalamnya masih mencakup umum dan belum mendetail tentang hadis, Muqaddimah Ibnu Sholah karya Imam Ibnu Sholah (w. 643 H), At-Taqrib Wa At-Taisir karya Imam Nawawi (w. 676 H), dan juga syarah kitab tersebut karya Imam As-Suyuthi (w. 911 H) yang berjudul Tadribur Rowi Fi Syarh Taqrib An-Nawawi,atau kitab-kitab maashir (kontemporer) seperti Taisir Mustholah Hadis karya Dr. Mahmud Thahhan (w. 2022) serta masih banyak yang lainnya.
Bahkan, sebenarnya sudah ada beberapa kitab yang fokus dalam mengumpulkan hadis-hadis nabi. Seperti Al-Jami’ As-Shohih karya Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori (w. 870 M), serta satu kitab dengan nama yang sama Al-Jami’ As-Shohih karya Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisabur (w. 875 M), dan kitab-kitab yang berisikan khusus hadis nabi lainnya. Kitab-kitab tersebut biasanya disebut kutubussittah (6 kitab), yakni dua kitab hadis shohih tadi, As-Sunan Abu Dawud karya Sulaiman bin al-Asy’ab (w. 888 M), Al-Jami’ At-Tirmidziy karya Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa At-Tirmidziy (w. 892 M), As-Sunan An-Nasa’i karya Abu Abdirrahman Ahmad bin Ali bin Syu’aib (w. 915 M), As-Sunan Ibnu Majah karya Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah (w. 887 M), bahkan ada yang menyebutkan kutubuttis’ah (9 Kitab) dengan tambahan Musnad Ahmad karya Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (w. 855 M) dan Al-Muwattha’ karya Malik bin Anas (w. 800 M).
Kendati seperti itu, faktanya masih tersebar bebas dalam lapisan masyarakat awam (khususnya di Indonesia) ungkapan-ungkapan yang dianggap hadis namun belum diteliti secara mendalam tentang validitas kehadisannya. Apakah benar ungkapan-ungkapan tersebut (selanjutnya akan disimbolkan dengan “hadis” [dengan tanda petik]) adalah hadis atau bukan masih dipertanyakan. Banyak sekali “hadis” yang belum jelas kehadisannya melanglang buana di masyarakat umum. Hal ini bisa saja terjadi karena para dai (pendakwah) atau orang-orang yang dipercaya ucapannya oleh masyarakat (namun tidak ahli dalam ilmu hadis) ringan mulut dalam menggaungkan suatu qoul dengan hadis, mereka terlalu mudah mengecap satu ungkapan dengan embel-embel hadis untuknya tanpa memakai rumusan-rumusan yang telah ditetapkan oleh para ahli dalam bidang hadis.
Agar tidak jatuh dalam lembah masalah di atas, maka diperlukan objek bacaan yang membahas tentang hal tersebut. Tentunya dari orang-orang yang kredibel dalam fan hadis. Muncullah kitab-kitab yang menjawab masalah ini. Seperti contoh Al-Jaddu Al-Hatsits fii Bayani Ma Laisa bi Hadis karya Ahmad bin Abdul Karim Al-Amiri Al-Ghazi (w. 1143 H). Kitab ini mencakup banyak ungkapan yang dianggap sebagai hadis oleh masyarakat (muslimin).
Setidaknya ada 543 “hadis” dalam kitab ini. “Hadis-hadis” itu disusun sesuai dengan abjad arab (hijaiyah) serta langsung diungkapkan apakah “hadis” tersebut benar-benar hadis atau tidak tanpa memberikan sabab-musabbab-nya secara mendalam. Tentunya, kitab ini sangat berguna bagi para muslimin secara umum, khususnya bagi mereka yang memang bisa berbahasa arab dan memiliki karakteristik lingkungan yang sama dengan penulis kitab tersebut. Sebab “hadis-hadis” ini muncul dipengaruhi dinamika-dinamika yang sedang terjadi. Lantas, bagaimana dengan ajam (masyarakat yang tidak bisa berbahasa arab) dan orang-orang yang memiliki dinamika lingkungan yang berbeda dengan penulis kitab tadi?
Untungnya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, seorang ulama yang telah masyhur sebagai ahli hadis Indonesia, menulis satu buku yang mengangkat masalah di atas. Dia memberi nama bukunya dengan nama “Hadis-Hadis Bermasalah”. Dalam buku ini, KH. Ali Mustafa mengupas kebenaran ungkapan-ungkapan yang dianggap hadis dan telah masyhur di masyarakat, apakah ungkapan tersebut memang benar hadis atau bukan.
Menurut KH. Ali Mustafa sendiri buku ini awal mulanya adalah jawaban pertanyaan-pertanyaan dari berbagai lapisan masyarakat tentang “hadis-hadis” yang berkembang di kalangan mereka. Biasanya, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab secara singkat olehnya. Namun, ada beberapa penanya yang meminta keterangan lebih rinci mengenai validitas “hadis” yang sedang ditanyakan. Oleh karenanya, dibutuhkan kajian, bahasan, bahkan penelitian khusus mengenai “hadis-hadis” yang mereka tanyakan tadi.
Agar kajian tersebut lebih diketahui oleh khalayak umum, maka dia mencoba menggunakan media massa untuk menyebarkan hasil kajiannya. KH. Ali Mustafa pun menggunakan Majalah AMANAH Jakarta untuk menerbitkan tulisan-tulisan tentang hasil kajian hadisnya tadi. Tentu saja, tulisan-tulisan di majalah ini jumlahnya tidak begitu banyak, namun dengan awal yang baik ini telah mengilhami dirinya untuk lebih banyak meneliti dan mengungkap “hadis-hadis” seperti itu. Maka terbitlah Buku “Hadis-Hadis Bermasalah” ini sebagai jawaban atas “hadis-hadis” yang masih mubham (tidak jelas) kehadisannya dan telah kondang (terkenal) di masyarakat.
Di dalam buku ini terdapat 30 judul, yang mana dalam satu judul memuat satu “hadis” yang akan dikuliti kebenaran kehadisannya. Tentunya, dalam mengkaji “hadis” tersebut dilengkapi dengan penelitian yang sistematis dan mendalam. Uniknya, dalam membahas satu “hadis”, KH. Ali Mustafa tidak langsung masuk dalam penghakiman kehadisan “hadis” tersebut. Tapi di setiap pembahasan, diawali dengan menggambarkan “hadis” yang sedang dikupas, seperti kapan “hadis” tersebut biasanya dilontarkan, dalam kondisi bagaimana “hadis” tersebut biasanya diungkapkan, dan lain-lain. Hal ini dapat mempermudah pembacanya untuk men-tashowwurkan (menggambarkan) kapan “hadis” tersebut biasanya digaungkan atau diutarakan.
Meskipun begitu, KH. Ali Mustafa tetap menggunakan bahasa yang dapat merangkul seluruh lapisan masyarakat, baik yang awam maupun pakar hadis sekalipun. Dibuktikan dengan adanya cerita (qishshah) atau dialog (hiwar) di dalam pen-tashowwuran ”hadis” tadi. Dengan ini, KH. Ali Mustafa berhasil memadukan corak penelitian ilmiah dengan pembendaharaan bahasa yang lebih mudah dipahami khalayak umum, bahkan diselipi kata-kata jenaka untuk “merilekskan” otak agar tidak spaneng (tegang) ketika membaca.
Setelah itu barulah KH. Ali Mustafa mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan judul atau “hadis” tersebut. Seperti para perawi hadis, kualitas hadis, menambahkan bukti, dalil, ataupun argumen yang mengungkap apakah “hadis” tersebut dapat dikatakan sebagai hadis atau tidak, serta lengkap dengan pendekatan-pendekatan dan faktor-faktor penguat lainnya. Dengan ini, KH. Ali Mustafa berhasil meyakinkan pembacanya mengenai hasil akhir dari kajian “hadis” yang sedang dikuliti kebenaran kehadisannya tersebut. Hal ini berbeda dengan kitab Al-Jaddu Al-Hatsits fii Bayani Ma Laisa bi Hadis yang telah diterangkan di muka.
Pada setiap lembar yang ditulis KH. Ali Mustafa dalam buku ini sarat dengan ilmu; “penuh daging”. Hal ini terjadi karena memang penulisnya sendiri sudah tidak perlu diragukan lagi keahliannya dalam fan ilmu hadis.
Apalagi menurut penuturannya, buku ini telah dipersiapkan setidaknya sembilan tahun olehnya. Dengan rincian, hadis pertama disiapkan pada bulan Desember 1994, sedangkan hadis terakhir disiapkan pada bulan Maret 2003. Namun hal demikian ini wajar, karena KH. Ali Mustafa menunggu apa yang berkembang di masyarakat. Karena “hadis-hadis” itu muncul menyesuaikan ragam situasi dan kondisi yang sedang tumbuh dalam masyarakat. Maka tak ayal bilamana bahasan-bahasannya sangat sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu, dengan berpegang pada buku ini diharapkan para pembacanya tidak kebingungan lagi dalam menyikapi apakah “hadis” yang sedang digaungkan pada mereka itu benar-benar hadis atau bukan.
Penulis merupakan mahasantri angkatan Mutawatir dan penerima beasiswa PBSB 2022.