Ketika Akal Menjadi Cermin Ruh: Menyelami Hakikat Manusia yang Berpikir dan Beramal
Ketika Akal Menjadi Cermin Ruh: Menyelami Hakikat Manusia yang Berpikir dan Beramal
Manusia Adalah makhluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah sebaik-baik ciptaannya yang dilengkapi dengan akal dan ruh. Kedua anugerah ini Allah titipkan agar manusia mampu memahami kebenaran, membedakan antara hak dan batil, serta menata kehidupan dengan nilai-nilai ilahiah. Akal berfungsi sebagai alat untuk berpikir logis dan analitis, sedangkan ruh menjadi sumber kesadaran moral dan spiritual. Ketika keduanya menyatu, manusia tidak hanya berpikir untuk mengetahui, tetapi juga beramal untuk memaknai.
Keistimewaan fungsi akal tersebut dalam pandangan dalam ilmu mantiq (logika), terwujud melalui kemampuan berpikir yang tertib: tasawwur (pemahaman konsep), tasdiq (pembenaran proposisi), dan qiyas (penalaran silogistis). Melalui proses berpikir rasional ini, akal menjadi instrumen lahirnya ilmu yang benar dan amal yang bermartabat. Oleh karena itu, akal seharusnya tidak berdiri sendiri, melainkan diarahkan oleh nilai moral dan kesadaran spiritual agar tidak terjebak pada kesombongan intelektual.
Setelah memahami fungsi akal dalam perspektif logika, penting pula melihat hakikat manusia secara menyeluruh sebagaimana dipahami dalam pandangan filsafat dan wahyu.
Secara kodrati manusia dikenal sebagai homo faber (makhluk pekerja) yang menghasilkan karya, sekaligus animal rationale (makhluk berakal) dengan kemampuan berpikir abstrak. Secara biologis manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens dalam kelompok kera besar. Namun, Al-Qur’an melihat manusia lebih komprehensif yang mencangkup beberapa konsep yang meliputi diri (nafs), roh (ruh), akal (‘aql), dan kalbu (qalb). Keseluruhan aspek ini berfungsi sebagai sumber kehidupan dan kesadaran spiritual.
Allah berfirman dalam surat Al-Hijr ayat 29:
فَاِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهُ سٰجِدِيْنَ
Artinya: “Maka, apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)-nya dan telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, menyungkurlah kamu kepadanya dengan bersujud”.
Ayat ini menunjukan bahwa manusia bukan sekedar makhluk jasmani tetapi juga makhluk ruhani yang mengandung unsur ketuhanan. Penggabungan kedua macam unsur ini menyebabkan manusia mempunyai potensi untuk mengambil manfaat dari bumi seluruhnya dengan pengetahuan yang dianugerahkan Allah kepadanya.
Selanjutnya dalam Surah Asy-Syams ayat 7–10, dijelaskan bahwa Allah telah memberikan inspirasi kepada jiwa manusia dua dorongan: kebaikan (taqwa) dan keburukan (fujur), serta manusia diberikan pilihan untuk mengikuti salah satunya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih, tetapi juga dilengkapi dengan petunjuk berupa wahyu dan akal untuk membedakan antara benar dan salah. Kemampuan positif yang dimiliki oleh manusia akan berkembang apabila diarahkan melalui pendidikan iman, amal baik, serta pemahaman yang tepat mengenai ajaran agama. Sementara itu, potensi negatif dapat menyebabkan kerusakan pada manusia jika tidak dikelola dengan baik.[1]
Pada hakikatnya, manusia adalah entitas yang diciptakan untuk berpikir, beriman, dan beramal dalam kesatuan yang harmonis. Akal menjadikan manusia mampu menalar realitas secara objektif, sedangkan ruh menuntunnya agar penalaran itu tidak kehilangan arah nilai. Ketika akal bekerja tanpa ruh, ilmu kehilangan makna moralnya; sebaliknya, ruh tanpa akal menjadikan spiritualitas bersifat dogmatis tanpa arah rasional. Karena itu, keseimbangan antara keduanya merupakan kunci kesempurnaan manusia sebagai khalifah di bumi.
Di tengah arus modernitas yang menuhankan rasionalitas dan mengabaikan dimensi spiritual, manusia ditantang untuk meneguhkan kembali identitasnya sebagai makhluk yang berpikir sekaligus beriman. Integrasi akal dan ruh tidak hanya membentuk pribadi yang berilmu dan beradab, tetapi juga melahirkan peradaban yang berkeadilan dan berkeilahian. Dengan demikian, kemajuan sejati bukan sekadar hasil kecerdasan intelektual, melainkan buah dari kesadaran spiritual yang menempatkan ilmu dan amal dalam bingkai pengabdian kepada Allah Swt.
Penulis: Ibnu, Mahasantri M1 Wisuda 2025
[1] Aryandika Firmansyah, M. Yazid Fathoni, Wismanto Wismanto, Dio Herfanda Bangun, and Muhammad Hanif Nasution. 2024. “Pandangan Islam Dalam Memaknai Hakikat Manusia.” Jurnal Manajemen Dan Pendidikan Agama Islam 2(1):88 103. doi: 10.61132/jmpai.v2i1.63.
