Mahasantri sebagai Intelektual Produktif: dari Kajian Kitab Kuning Menuju Tradisi Menulis Ilmiah
Mahasantri sebagai Intelektual Produktif: dari Kajian Kitab Kuning Menuju Tradisi Menulis Ilmiah
Dalam tradisi pesantren, mahasantri dikenal sebagai penjaga khazanah keilmuan klasik melalui kajian mendalam terhadap teks-teks kitab kuning. Namun, dinamika intelektual abad ke-21 menuntut kompetensi yang lebih luas. Penguasaan soft skill berupa menulis karya ilmiah bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan esensial bagi mahasantri untuk mentransformasikan kedalaman ilmu yang mereka miliki menjadi wacana publik yang mencerahkan.
Menulis menjadi alat transfer nilai, kritik sosial, dan pengembangan pemikiran yang memungkinkan ilmu pesantren berkontribusi lebih nyata di tengah masyarakat. Dengan demikian, mahasantri tidak hanya menjadi pembaca warisan ulama klasik, tetapi juga aktor intelektual yang produktif membangun peradaban ilmu kontemporer.
Kitab kuning adalah fondasi keilmuan pesantren, namun pemahaman terhadap teks tidak bisa berhenti pada tataran reproduksi informasi. Para ulama, salah satunya seperti Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari telah memberikan teladan bahwa ilmu tidak hanya untuk dihafal, tetapi juga untuk diproduksi, dikritisi, dan dikembangkan sesuai konteks zaman.
Ketika mahasantri hanya berkutat pada membaca, mengartikan, atau menghafal teks tanpa melanjutkan pada proses artikulasi pemikiran, maka ilmu tersebut terancam menjadi stagnan. Pada titik ini, pesantren akan sulit memasuki arena percakapan intelektual modern yang menuntut dokumentasi, penelitian, dan publikasi. Padahal, banyak sekali gagasan berharga yang lahir dari kegiatan bandongan, sorogan, bahtsul masail, diskusi di kelas, dan berbagai halaqah kitab kuning yang ada di asrama dan kampus.
Diskusi tentang hadis, ilmu hadis, etika lingkungan, hingga isu-isu kontemporer sebenarnya terus berlangsung di ruang-ruang pesantren. Sayangnya, diskusi itu sering kali menguap begitu saja tanpa sempat dibukukan atau dipublikasikan. Ilmu yang tidak terdokumentasi pada hakikatnya kehilangan peluang untuk menjadi rujukan dan bagian dari perkembangan peradaban.
Di sinilah urgensi menulis memiliki signifikansi strategis. Melalui karya ilmiah, mahasantri dapat merawat, mengembangkan, bahkan memperluas horizon pemikiran para ulama. Menulis merupakan cara memperpanjang napas tradisi itu sendiri agar tetap relevan dan hidup.
Menulis sebagai Instrumen Transfer of Knowledge
Ilmu yang diamalkan memang termasuk ilmu yang bermanfaat, tetapi ilmu yang tidak ditransformasikan juga akan kehilangan jangkauan. Menulis menyediakan medium paling efektif untuk mentransfer ilmu pesantren kepada masyarakat yang lebih luas. Tulisan membuka jalan agar nilai-nilai syariat tidak hanya hidup di ruang kelas, tetapi juga menjadi bagian dari diskursus publik.
Publikasi ilmiah memungkinkan argumentasi kajian kitab kuning masuk ke ranah ilmiah formal, seperti jurnal, prosiding, dan buku akademik. Sementara itu, tulisan populer membuka ruang dialog yang lebih cair melalui artikel opini, esai keagamaan, atau refleksi sosial yang dapat diakses oleh masyarakat awam. Kedua jenis tulisan itu penting untuk memperkuat posisi pesantren sebagai pusat produksi ilmu.
Dalam konteks ini, kemampuan menulis menjadi semacam jembatan epistemologis. Ia menghubungkan kedalaman turats dengan dinamika ilmu modern. Misalnya, ketika mahasantri menulis tentang fikih lingkungan, ia tidak hanya mengutip pendapat ulama, tetapi juga dapat menghubungkannya dengan data ilmiah, riset ekologis, serta kebijakan publik. Dengan demikian, ilmu pesantren tidak berdiri sendiri, melainkan berdialog dengan realitas sosial dan intelektual.
Penguasaan kitab kuning memberikan dasar epistemologis yang kuat bagi mahasantri untuk memasuki dunia akademik modern. Tradisi taḥqīq, tashhīḥ, syarḥ, ikhtilāf, dan istinbāṭ mengasah ketelitian, kedalaman analisis, serta kemampuan membaca argumen. Ketika dipadukan dengan pendekatan penelitian kontemporer, baik kualitatif, kuantitatif, maupun studi kepustakaan, mahasantri akan mampu menghasilkan karya ilmiah yang orisinal dan kompetitif.
Menulis sebagai Soft Skill untuk Memperkuat Daya Saing Mahasantri
Era digital menuntut generasi muda memiliki kemampuan yang kompleks: berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif. Keterampilan menulis ilmiah secara langsung melatih empat kompetensi tersebut. Melalui menulis, mahasantri belajar mengonstruksi argumen, mengelola literatur, membaca data, dan menyampaikan gagasan secara sistematis.
Selain itu, tradisi menulis akan memperkuat posisi mahasantri dalam dunia akademik maupun profesional. Banyak lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan organisasi sosial membutuhkan SDM yang mampu menulis seperti, laporan, dan kajian ilmiah. Mahasantri dengan kemampuan menulis akan memiliki nilai tambah dibanding lulusan lain. Tidak hanya itu, tulisan dapat berfungsi sebagai portofolio intelektual yang menunjukkan kedalaman analisis, kekayaan perspektif, serta kekuatan metodologi yang dimiliki.
Menulis juga membantu mahasantri membangun jaringan keilmuan. Melalui publikasi, ide-ide mereka akan dibaca, dikritisi, atau diapresiasi oleh akademisi dan praktisi. Proses ini penting untuk memperluas jejaring intelektual yang kelak akan membuka peluang kolaborasi. Dengan demikian, kemampuan menulis bukan hanya keterampilan teknis, tetapi juga modal sosial dan akademik yang memberi daya saing tinggi bagi mahasantri.
Mengatasi Stereotip bahwa Pesantren “Anti-Kritis”
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul tudingan bahwa kultur pesantren cenderung feodal dan membatasi daya kritis santri. Persepsi ini muncul karena kurangnya representasi pemikiran pesantren dalam wacana publik. Ketika narasi yang beredar tentang pesantren hanya datang dari luar, maka mudah terjadi kesalahpahaman dan generalisasi.
Menulis dapat menjadi strategi paling elegan untuk mengatasi stereotip tersebut. Melalui tulisan berbasis kajian dan pengalaman, mahasantri dapat menunjukkan bahwa pesantren bukan ruang yang membungkam kritik, melainkan institusi yang mengajarkan adab dalam berpikir. Kritik dalam tradisi pesantren tidak liar, tetapi terikat pada metodologi, etika ilmiah, dan sopan santun intelektual.
Dengan menulis, mahasantri dapat menjelaskan perbedaan antara tawadhu’ dengan ketakutan untuk mengemukakan pendapat. Mereka dapat mendiskusikan isu sensitif, seperti relasi kiai-santri, atau dinamika kehidupan di pesantren dengan pendekatan ilmiah dan perspektif pesantren. Tulisan-tulisan semacam ini akan menampilkan wajah pesantren yang dewasa, intelektual, dan terbuka terhadap dialog.
Penutup
Mahasantri memiliki modal intelektual dan spiritual yang istimewa: pemahaman terhadap turats, kedalaman karakter, serta tradisi ilmiah yang panjang. Namun, agar modal itu dapat berkontribusi lebih besar bagi masyarakat modern, mahasantri perlu mengembangkan soft skill berupa menulis karya ilmiah. Menulis bukan sekadar kemampuan teknis; ia adalah proses berpikir, bentuk pengabdian, dan jalan untuk menghidupkan kembali warisan keilmuan pesantren dalam ruang publik. Dengan membangun tradisi menulis, mahasantri tidak hanya menjaga nilai-nilai pesantren, tetapi juga mengembangkannya. Mereka menjadi intelektual produktif yang mampu merespon isu-isu kontemporer. Sebagai penutup tulisan ini, mengutip perkataan Pramudya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi ketika dia tidak menulis maka ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah.”
Rizky Amaliah, Wisuda M1 2025
