Blog

Meneropong Masa Depan Hadis Dan Ilmu Hadis

WhatsApp Image 2023-07-27 at 13.49.54 (1)
Artikel Mahasantri

Meneropong Masa Depan Hadis Dan Ilmu Hadis

Penulis: Fadhliatul Azizah 

Seiring perkembangan zaman, hadis yang awalnya menjadi sumber hukum yang penting dalam Islam mulai banyak dipertentangkan. Kini, hadis dinilai menyisakan banyak problem yang membuat orang-orang semakin ragu tentang kebenarannya. Oleh karena itu, pengkajian hadis merupakan hal yang terbilang urgent untuk umat Islam.

Di antara problem yang muncul ialah aspek historis, otoritas, otentisitas, interpretasi, metodologi, menjawab tantangan zaman dengan ribuan problemnya, dan lain-lain. Hal ini pun menimbulkan berbagai pertanyaan dari banyak kalangan umat Islam, seperti: benarkah hadis itu murni perkataan dan perbuatan Nabi? Mampukah hadis menjadi solusi masyarakat modern? Atau bahkan apakah hadis masih diperlukan di era modern ini?

Tentunya pertanyaan-pertanyaan seperti ini timbul dari kesalahan yang pernah terjadi di masa lalu seperti awal terjadinya pemalsuan hadis, yang menyebabkan maraknya masyarakat Islam masa kini yang tak percaya dengan otentisitas hadis. 

Sebagaimana mayoritas kaum orientalis yang memandang hadis secara negatif dan ini berakibat pada labilitas fondasi otentisitas dan kebenaran hadis di mata mereka, sehingga mereka tidak akan mau mengakui kebenaran hadis sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi. Lalu bagaimana seharusnya cara yang tepat untuk mengatasi hal ini?

Problematika hadis dan ulumul hadis sangatlah perlu untuk dituntaskan. Hal tersebut menjadi sangat marak diperbincangkan karena munculnya berbagai kalangan yang terus menentangnya. Menurut Dr. Waryono Abdul Ghafur, kritikan terhadap hadis muncul sebab faktor kesejarahannya yang jauh berbeda dengan kesejarahan al-Qur’an, di antaranya ialah dalam hal penulisannya.

Kritikan terhadap hadis muncul sebab faktor kesejarahannya yang jauh berbeda dengan kesejarahan al-Qur’an, di antaranya ialah dalam hal penulisannya

Dr. Waryono Abdul Ghafur

Dr. M. Syuhudi Ismail menyatakan bahwa waktu penulisan hadis secara resmi dengan wafatnya nabi adalah 90 tahun. Mungkin hal ini juga yang menjadi alasan sebagian golongan dari umat Islam dalam meragukan kebenaran hadis. Golongan ini biasa diistilahkan dengan inkar as-sunnah, penolak sunnah. Di antara golongan inkar as-sunnah  ialah kaum syiah yang umumnya memberikan tafsir menyimpang terhadap hadits Nabi Muhammad SAW.

Sebagaimana hadis, ulumul hadis juga tidak luput dari kritikan, mengingat kelahirannya ditandai dengan adanya upaya pembuatan kaidah-kaidah untuk mengukur kualitas hadis. Seiring berkembangnya zaman, problematika hadis dan ulumul hadis menjadi sangat luas. Oleh karena itu, penulis mengklasifikasi beberapa problem tersebut dalam beberapa aspek yaitu, problem hadis dan ulumul hadis dari aspek metodologi, otentitas, otoritas, interpretasi dan pandangan para sarjana Barat.

Memandang dari klasifikasi Muhammad Rusli dari beberapa problem tersebut tentunya ada hal yang ingin penulis tekankan tentang hadits dan ulumul hadis di zaman modern ini. Seperti dalam hal problem hadis perspektif sarjana Barat, yang ditekankan dalam hal ini adalah kesejarahan hadis itu sendiri karena hal ini merupakan hal yang penting dalam perbincangan sarjana barat. Akan tetapi, sangat disayangkan kesadaran historis di kalangan ulama hadis terhitung rendah. Usaha untuk mengkaji kesejarahan hadis sendiri secara serius baru dilakukan pada abad ke-17 Hijriyah, melalui karya Al-Khawliy.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa pada masa Rasul hadis tidak dibukukan sebagaimana halnya al-Quran melainkan hanya terpelihara dalam hafalan para sahabat yang kemudian meriwayatkannya secara lisan kepada generasi berikutnya.

Adapun pemalsuan hadis bermula pada tahun sekitaran 40 H, yang kemudian semakin meluas dengan motif yang beragam dan corak pemalsuan yang juga berbeda-beda. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa salah satu celah hadis dan ulumul hadis menuju pembaruan adalah aspek kesejarahan, yang mana aspek tersebut melewati rentang waktu yang cukup panjang, yang memungkinkan lahirnya berbagai macam masalah di dalamnya seperti pemalsuan hadis.

Ulumul hadis yang kita kenal sebagai metodologi yang populer zaman sekarang yang menurut mayoritas sarjana Islam sangat akurat pun menyimpan sejumlah pertanyaan-pertanyaan epistimologis yang tidak terjawab secara detail. Al-Bukhari yang dikenal sebagai the man of hadis saja, tidak pernah menjelaskan metodologinya secara detail, terlebih kecenderungan sebagian masyarakat Islam ialah menolak atau menerima hadis tanpa meneliti historisitasnya. Pun terdapatnya sebuah hadis dalam sejumlah kitab-kitab hadis tidak dijelaskan secara jelas historisitasnya.

Singkatnya semua hadis yang terekam dalam kitab hadis harus tunduk pada kritik sejarah. Selanjutnya dalam metode membandingkan riwayat dan lain sebagainya menurut versi ulumul hadis tidak selamanya diterapkan oleh para kolektor hadis. Hal ini diketahui dengan membandingkan riwayat satu perawi dengan perawi yang lain. Kenyataan ini menunjukkan pentingnya metodologi alternatif ketimbang ulumul hadis untuk menentukan kualitas hadis. Sama halnya dengan hadis, ulumul hadis pun masih menyisakan banyak kritikan dan problem yang harus diperbaiki.

Pembahasan akan ke-otentisitas-an hadis muncul dan berkembang sesuai dengan pendapat yang dominan di kalangan ulama hadis yakni terdapat jarak waktu yang cukup jauh antara wafatnya Nabi SAW dan kodifikasi hadis secara resmi. Bila dibayangkan perjalanan hadis hingga sampai kepada kita, tentunya melewati fase yang sulit, baik dari segi sanad ataupun matannya.

Al-Muwaththa’ yang merupakan kitab atau kumpulan koleksi hadis paling tua (disusun pada pertengahan awal abad ke II H) saja tidak hanya memuat tentang hadits-hadits Nabi, tetapi juga fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Hal ini membuktikan ke-otentisitas-an hadis tidak luput dari kritikan. Berkaitan dengan otoritas hadis penulis menekankan bahwa munculnya istilah-istilah untuk mengukur kualitas hadis justru menjadi problem baru bagi otoritas hadis, para ulama juga berbeda pendapat tentang hal ini. 

Menurut Imam Ahmad dan Abu Dawud hadis dha’if secara mutlak diamalkan kandungannya dengan syarat tidak ada hadis lain yang ditemukan. Mayoritas ulama dari kalangan muhaddisin dan fuqaha seperti yang dikemukakan oleh an-Nawawi, Syekh Ali Qari dan Ibn Hajar al-Haytami berpendapat bahwa hadis ahad dianjurkan untuk diamalkan hanya dalam fadhail al-a’mal. Sementara sebagian ulama mengatakan bahwa hadis dha’if tidak boleh diamalkan secara mutlak baik dalam persoalan fadhail al-a’mal maupun dalam persoalan hukum dan akidah. Karena perbedaan tersebut berpengaruh pada otoritas hadis, selanjutnya akan melahirkan asumsi yang berbeda lagi, apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak.

Pada dasarnya, interpretasi secara tekstual dan kontekstual telah terjadi sejak zaman Nabi. Namun pada perkembangan selanjutnya, para muhadditsin lebih dominan menggunakan interpretasi yang bersifat tekstual. Oleh karena itu, hadis-hadis Nabi tidak menutup kemungkinan untuk diinterpretasi ulang dengan menimbang dari berbagai hal.

Solusi Problematika Hadis dan Ulumul Hadis 

Muhammad Rusli menyarankan beberapa solusi tentang problematika hadis dan ulumul hadis yang telah ia paparkan dalam tulisannya, di antaranya :

  1. Pendekatan Isnad Cum Matn Analysis

Metode ini digunakan untuk menaksir kualitas hadis berdasarkan matannya, bahkan kualitas sanadnya pun dapat ditaksir melalui matannya. Di antara karakteristiknya ialah kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan pada komentar ulama tentang perawi tersebut. Penulis menganggap metode ini perlu mendapat respon positif dari umat Islam, mengingat metode ini bukanlah sesuatu yang baru hanya saja nyaris tidak diterapkan dalam kajian hadis. Terlebih lagi di era modern saat ini, telah menjanjikan berbagai macam fasilitas seperti CD hadis, ensiklopedia hadis, berbagai macam kitab hadis, dan lain sebagainya.

2. Metode Tematik

Selain itu, penulis juga menawarkan solusi lain yang tak kalah menarik yang disebut dengan metode tematik (Maudhu’i). Metode Tematik sendiri ialah metode yang mengandung makna pensyarahan, atau pengkajian hadis berdasarkan topik permasalahan. Solusi ini juga bisa dibilang efektif mengingat dengan adanya metode ini, maka memungkinkan untuk mengetahui bagaimana tawaran sebenarnya dari hadis, baik secara tekstual maupun kontekstual.

3. Kontekstualisasi Hadis

Penulis juga menyebutkan solusi dengan cara kontekstualisasi hadis. Kontekstualisasi ialah usaha penyesuaian dengan hadis untuk mendapatkan pandangan yang sejati, orisinal, dan memadai bagi perkembangan atau kenyataan yang dihadapi, yang berarti kontekstualisasi itu dilakukan dengan melakukan dialog atau saling mengisi di antara keduanya. Menurut Hamim Ilyas, kontekstualisasi hadis dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa prinsip yaitu: Prinsip ideologi, prinsip otoritas, prinsip klasifikasi, dan prinsip regulasi terbatas.

4. Rekonstruksi Ulumul Hadis

Di antara solusi lainnya juga ialah Rekontruksi Ulumul hadis. Rekontruksi yang penulis maksudkan di sini ialah penataan ulang ilmu-ilmu hadis, mengingat hadis berjalan dinamis sesuai dengan perubahan yang melingkupinya. Penulis menambahkan ilmu hadis juga tampak sebagai ilmu yang terbuka, yang setiap saat bisa diuji kembali. Tentunya untuk mengetahui perkembangan ilmu ini, perlu adanya rekontruksi dengan memanfaatkan kondisi yang ada dan dengan bantuan ilmu pengetahuan mutaakhkhir.

5. Hermeneutika

Terakhir, Hermeneutika sebagai Alternatif Solusi, secara etimologis, hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuien yang berarti menafsirkan. Hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Dalam memahami hadis sendiri, setidaknya diperlukan tiga variabel yang saling berkaitan di dalamnya sama halnya dalam memahami teks lain, yakni teks, pengarang, dan pembaca. Yang mana ketiganya dihubungkan oleh alat bantu yang disebut bahasa. Oleh karenanya, dalam memahami hadis itu sendiri sangat diperlukan untuk merujuk kepada karakter bahasa Arab itu sendiri (yang merupakan bahasa dari hadis).

Kesimpulan

Beberapa problem hadis dan ulumul hadis yang telah disebutkan di atas sangat membutuhkan perhatian dan kedewasaan dalam menyikapinya. Oleh karena itu di zaman modern ini sangat dibutuhkan dukungan masyarakat Islam untuk para ulama dalam mengemban beberapa solusi permasalahan hadis dan ulumul hadis masa kini. Hal tersebut harus segara dilakukan demi mengatasi problem-problem yang terjadi dan menghindari kemungkinan buruk yang akan terjadi di masa mendatang serta sebagai antisipasi dari munculnya aliran-aliran baru yang menyesatkan Islam.

Tentunya sangat diharapkan beberapa solusi yang ditawarkan oleh penulis tersebut dapat ditimbang kembali oleh para ulama untuk kemudian diteliti guna kemaslahatan umat Islam. Dan sebagai upaya untuk membangkitkan pengkajian hadis dan pengembangan ilmu-ilmu hadis di berbagai wilayah khususnya pondok pesantren dan perguruan tinggi Islam. Karena merekalah nantinya yang akan meneruskan dan mengemban ilmu ini.


Penulis merupakan Mahasantri angkatan Mutawatir