Blog

Misinterpretasi G.H.A. Juynboll Terhadap Hadis Mutawatir

20230615_114455_0000
Artikel Mahasantri

Misinterpretasi G.H.A. Juynboll Terhadap Hadis Mutawatir

Oleh: Zumrotus Sholikatun Nurjanah

Sebagai landasan hukum kedua setelah al-Qur’an, hadis tentunya juga menjadi sorotan dalam kajian intelektual keislaman, baik dari segi cara periwayatan hingga diksi dalam redaksi yang disampaikan. Bahkan hadis mutawatir yang dianggap paling autentik oleh ulama’ ahli hadis sekalipun. Meskipun hadis mutawatir adalah berita yang disandarkan pada tokoh paling otoriter di kalangan umat muslim, serta tidak diragukan karena banyaknya jalur periwayatan yang menyebutkannya, ternyata masih tak luput dari komentar para orientalis. Salah satu diantaranya yaitu sanggahan dari G.H.A. Juynboll (1935-2010), orientalis asal Belanda ini mempertimbangkan hadis mutawatir dengan teori common link.

Juynboll mengklaim bahwa para ahli hadis tidak konsisten dalam mendefinisikan hadis mutawatir. Konsep yang digunakan hanya cocok diterapkan dalam sebagian hadis tapi sama sekali tidak cocok dengan hadis-hadis lainnya. Menurutnya konsep yang diterapkan ahli hadis tersebut dikembangkan secara asal-asalan dan cenderung mengandung banyak ambiguitas. Dalam hal ini, Prof. Idri, guru besar ilmu hadith di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, berkolaborasi dengan Rohaizan Baru, sebuah Lembaga Penelitian Produk Islam dan Peradaban Melayu di Universiti Sultan Zainal Abidin yang bertempat di Terengganu Malaysia, untuk memberikan kritik terhadap pemikiran Juynboll.

Dalam artikelnya, Prof. Idri memulai dengan mengemukakan penjelasan hadis mutawatir dari perspektif ahli hadis kemudian disusul dengan sanggahan dari G.H.A. Juynboll lalu ia mencoba mengkritisi dengan cara membandingkan keduanya.

Teori Juynboll biasa disebut dengan teori common link, yang mengasumsikan bahwa semua hadis pasti memiliki pusat mata rantai persebaran (sumber utama periwayatan) yang berasal dari para generasi yang hidup diabad kedua (tabi’in) atau setelahnya (tabi’ al tabi’in), lalu kemudian mereka menyandarkan pada generasi sebelumnya (sahabat) yang terkenal memiliki otoritas dan terakhir disandarkan pada otoritas utama (Nabi SAW.) agar mendapatkan kepercayaan dan legitimasi penuh oleh masyarakat.

Prof. Idri menyebutkan sebenarnya Juynboll bukanlah penemu asli teori ini, dia hanya mengembangkan dari penemu pertama yaitu Joseph Schacht (1902-1969), hanya saja teori ini lebih sering diasosiasikan dengannya karena memang dia dianggap lebih berhasil dalam menjelaskan konsep teori tersebut. Melalui teori ini,  Juynboll  membantah validitas hadis mutawatir yang diyakini oleh para ahli hadis, dengan melihat cara pendefinisian hadis mutawatir yang menurutnya masih rancu dan ambigu, pembagian kriteria yang masih penuh kontroversi, dan jumlah rantai isnad yang masih terdapat perselisihan bahkan dari pihak ahli hadis sendiri.

Namun Prof. Idri tidak menyinggung samasekali bahwa sebelum Joseph Schacht ada tokoh orientalis lain yang menggagas teori common link yang selanjutnya diteruskan oleh Joseph Schacht ini, yaitu Ignaz Goldziher (1850-1921).

Dalam artikelnya, Prof. Idri membantah semua tuduhan Juynboll. Dalam hal definisi hadis mutawatir, Prof. Idri berkomentar bahwa anggapan G.H.A. Juynboll yang mengatakan konsep hadis bisa dikategorikan mutawatir hanya bisa diterapkan pada beberapa hadis saja, merupakan pendapat yang justru dapat menjadi serangan balik untuk G.H.A. Juynboll sendiri, mengingat dalam ilmu hadis ada kategori lain dari segi kuantitas selain hadis mutawatir (hadis ahad) yang tentunya kriteria hadis mutawatir tidak cocok diterapkan didalamnya.

Tentu saja suatu definisi hanya bisa diterapkan pada sesuatu yang memang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, dari segi kuantitasnya hadis dibagi menjadi dua, yaitu; hadis mutawatir ketika diriwayatkan oleh banyak jalur periwayatan, dan hadis ahad ketika hanya diriwayatkan oleh sedikit jalur periwayatan.

Kemudian dari segi kriteria, yang diklaim oleh Juynboll hanya memperhatikan pada banyaknya jumlah periwayat tanpa meneliti lebih dalam tentang kredibilitas para rowi tersebut. Dari sini kita dapat melihat Juynboll terlalu memaksakan untuk mencari celah dari pendapat ahli hadis. Prof. Idri memberikan kritik bahwa meskipun hanya dengan melihat dari jumlah periwayatan saja, sebenarnya sudah bisa dipastikan data yang didapatkan bersifat empiris, mengingat para perowi pada masa tersebut terpencar di berbagai daerah dengan jarak yang jauh, apalagi ketika itu masih belum tersedia alat komunikasi seperti saat ini, jadi sangat kecil kemungkinan mereka dapat melakukan kesepakatan untuk berbohong.

Dan yang terakhir dari segi perbedaan pendapat tentang jumlah rowi dalam isnad hadis mutawatir, menurut Prof. Idri hal ini sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan, karena konteks “banyak” sudah cukup mewakili maksud tidak mungkinnya terdapat indikasi kebohongan atas riwayat mereka, tanpa harus menyebutkan secara spesifik jumlah dari keseluruhan hadis mutawatir.

Dari sisi lain ada seorang orientalis asal Jerman bernama Harald Motzki (1948-2019) yang juga mengkritisi teori common link yang digunakan G.H.A. Juynboll, dengan metode Dating dan Isnad Cum Matn, yang mana metode ini dianggap lebih komprehensif dalam meneliti hadis karena meneliti dari segi sanad dan matan sekaligus, bukan dari segi sanad saja seperti common link yang pasti akan menghasilkan data penelitian yang kurang akurat. Hanya saja penulis tidak menyinggung orientalis ini samasekali dalam jurnalnya.

Kesimpulan

Argumen yang disampaikan dalam artikel tersebut cukup menambah pengetahuan kita tentang keautentikan hadis, terutama hadis mutawatir sebagai hujah kedua setelah al-Qur’an, serta kelemahan dari kritik orientalis yang mencoba menggoyahkan keyakinan kita. Dapat dipahami bahwa penelaahan secara komprehensif sangat diperlukan dalam meneliti suatu objek, agar tidak menghasilkan pemahaman parsial seperti yang terjadi pada G.H.A. Juynboll dengan common linknya, padahal penelitian yang dilakukan oleh para ahli hadis mengenai hadis mutawatir sudah cukup memberi pemahaman bahwa hadis tersebut layak dijadikan dalil yang qoth’i (pasti).

Diantara keunggulan lain dalam artikel ini adalah, Idri tidak menghakimi sepenuhnya pada pendapat yang dianggap kontra dengannya, seperti dibagian akhir artikelnya disebutkan bahwa meskipun teori yang dikemukakan G.H.A. Juynboll dalam menanggapi hadis mutawatir ini kurang sesuai tapi setidaknya dengan mengetahui teori common link, kita dapat mengetahui ternyata ada pendekatan baru dalam mengkaji otentisitas hadis Nabi yang berkembang di Barat dan berbeda dengan pendekatan para ulama hadis sejak zaman klasik hingga sekarang. Tetapi seharusnya akan lebih baik jika ditambahkan tokoh-tokoh pembanding lain baik dari ahli hadis ataupun orientalis, setidaknya agar lebih memberikan bukti dan memprovokasi pembaca untuk mengikuti alur penulis.


Penulis merupakan mahasantri angkatan 2020