Radikalisme Agama: Penyebab dan Tugas Santri untuk Indonesia
Radikalisme Agama: Penyebab dan Tugas Santri untuk Indonesia
Oleh: Irfan Usriya (penikmat tafsir al-Qur’an, tinggal di Pare)
Pada zaman penjajahan, semangat nasionalisme mudah teraplikasikan dalam perlawanan pada penjajah serta segala bentuk intimidasi dari pihak lain. Hal ini wajar karena dalam masa pergerakan atau perjuangan kemerdekaan, semua lapisan masyarakat kita mempunyai musuh bersama yaitu penjajah yang nyata di depan mata kepala. Dan bangsa kita mempunyai cita-cita yang sama yaitu menuju puncak kebebasan yang disebut “kemerdekaan”.
Sekarang, nasionalisme sayup-sayup gelombang frekuensinya meredup di tengah era globalisasi dan terjangan arus kapitalisme yang mendorong setiap orang berpola pikir transaksional dan pragmatis. Persaingan yang tidak sehat selalu diperankan dalam berbagai segi kehidupan. Hilangnya kepedulian sosial, ekonomi, dan religi menjadi natijah dari meredupnya cahaya nasionalisme.
Di sini kehadiran santri sangat dirindukan aksi dan partisipasinya dalam rangka menjadi pribadi “paku” (meminjam bahasa KH. Abdul Aziz Mansyur) yang merangkai serpihan dan bongkahan yang beraneka ragam, dan harus bisa menyesuaikan dirinya di tengah kehidupan yang berbeda-beda latar belakangnya, sehingga bisa memposisikan dirinya sebagai sosok pemersatu dan menjembatani komunikasi yang baik antar umat beragama. Untuk mewujudkan Indonesia yang damai dan menjadi pioner negara yang paling demokratis di atas negara-negara lain.
Sosok “paku” itu tidak harus menjadi orang yang populer. Namun memerankan peran yang vital yang menyelinap dalam berbagai bentuk pengabdian dan bertujuan mencerdaskan kehidupan sosial yang kadang jasanya tidak terbayar oleh penghargaan, sebagaimana para pejuang santri saat kemerdekaan. Para kiai dan santri berhasil memukul mundur para penjajah, setelah itu para santri kembali mengaji dan mengabdi sehingga terlupakan dalam sejarah.
Ragam suku, agama, dan ras yang ada di Indonesia membuat negara ini rentan terjadi perpecahan. Yang paling mudah dijadikan akar konflik adalah agama, khususnya Islam sebagai agama mayoritas. Sebagian umat Islam Indonesia mudah sekali terprovokasi ketika ada tindakan-tindakan yang dianggap menyimpang atau menistakan Islam. Respon yang mereka lakukan adalah tindakan kekerasan dengan membakar atau merusak, bukannya dengan melalui jalur hukum sebagai jalan logis dan waras. Tindakan kekerasan tidaklah menyelesaikan masalah, malah menambah masalah baru. Wajah Indonesia yang oleh Walisongo sudah diberi wajah Islam yang ramah, berubah menjadi Islam yang marah. Tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama apapun sama sekali tidak dibenarkan, karena waktu dan tempatnya sudah berubah dan tidak tepat.
Oleh karena itu, untuk meminimalisir tindakan-tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama, kita perlu mengetahui terlebih dahulu penyebab-penyebabnya. Adapun penyebab radikalisme agama di antaranya:
- Pendangkalan ajaran agama
Menurut Gus Dur, pendangkalan ajaran agama merupakan akar dari radikalisme agama. Dangkalnya ajaran agama bisa disebabkan fanatisme buta terhadap sebuah madzhab atau kelompok ataupun ormas. Pun bisa juga karena tidak adanya kemauan untuk belajar agama dengan baik dan benar, dengan cara menimba ilmu agama dari pesantren atau lembaga lain, bukan dari Google.
Dangkal tidaknya seseorang terhadap ajaran agama bisa dilihat dari sikap benar sendiri dan menang sendiri, tidak mengakui perbedaan pendapat. Sikap ini mengarah pada pemaksaan sebuah pendapat atau ajaran kepada orang lain.
- Menganggap agama sebagai ghayah bukan wasilah
Menurut Gus Mus, ghayah artinya tujuan akhir sedangkan wasilah adalah perantara atau alat. Agama atau ajaran agama adalah wasilah, sedangkan ghayahnya adalah makrifatullah dan akhlaqul kharimah. Dan Agama dianggap sebagai sebuah institusi laksana lembaga-lembaga formal yang terbatas dalam sebuah bingkai dan label yang resmi. Sehingga dalil-dalil agama dijadikan alat perebutan kekuasaan dan kepentingan untuk saling menjatuhkan.
Sama dengan poin pertama, efek dari menganggap agama sebagai ghayah bukan wasilah adalah intoleransi dengan perbedaan dan menganggap aneh sebuah keanekaragamaan. Akhirnya tindakan ini berdampak pada radikalisme atau kekerasan atas nama agama.
- Ketidak mengertian bahwa Indonesia bukan negara agama
Sebagaimana kesepakatan para founding-father negara ini bahwa Indonesia adalah negara beragama bukan negara agama tertentu, yang artinya asasnya adalah Pancasila dan undang-undang dasar, bukan syariat Islam. Sehingga segala pelanggaran yang terjadi akan melalui proses hukum positif, bukan hukum agama. Apakah itu artinya agama kalah dari negara? Tidak, masing-masing punya wilayah dan wewenang sendiri, tidak perlu dicampuradukkan.
Tugas Santri
Santri dan dunia pesantren pernah menjadi ikon dari radikalisme agama atau tempat para teroris. Namun, tuduhan itu tentu tidak mendasar sama sekali dan buta akan sejarah perjuangan para santri, kiai, dan dunia pesantren di zaman sebelum dan sesudah kemerdekaan serta, dengan hadirnya sederet pahlawan kemerdekaan dari dunia pesantren.
Lantas, apa tugas santri untuk negeri ini? Banyak dan berat. Namun, tentu tugas itu dipikul bersama dan tidak keluar dari kodrat sebagai seorang santri: mendalami dan menyebarkan ilmu agama dan mendidik moral spritual masyarakat. Tugas santri untuk menangkal radikalisme agama adalah di antaranya:
- Menjadi ikon Islam yang ramah bukan Islam yang marah
Al-Qur’an sangat tegas mejelaskan eksistensi risalah kenabian Muhammad SAW dengan jargon wamaa arsalnaaka illa rahhmatan lil’aalamiin. Dalam sebagian penafsiran, kata “rahmatan” tidak hanya berarti karunia, tetapi diartikan silaturrahim. Jadi tidak hanya ramah, tapi keberadaan santri juga harus menjadi pelopor Islam toleran bukan Islam tawuran.
Sangat disayangkan ketika ada kasus yang “dianggap” sebagai penistaan agama atau ajaran agama yang dianggap sesat, umat Islam bereaksi berlebihan. Hal itu justru menghasilkan kesan Islam yang marah-marah daripada Islam yang ramah. Ironisnya mereka menganggapan Islam yang marah adalah indikasi kuatnya iman. Hal ini menjadi bumerang bagi umat Islam, yang mengakibatkan dunia internasioanal menganggap orang Islam berkarakter negatif, yang pada akhirnya justru menghambat dakwah Islam itu sendiri.
Di sinilah santri dituntut untuk lebih elegant dalam menyikapi semua itu. Seperti yang dicontohkan para kiai terdahulu yang memberi teladan positif seperti tabayyun (konfirmasi), diskusi yang indah, tidak memaksakan pendapat, serta mengedepankan kepentingan yang lebih besar. Karena bagaimanapun juga santri sering mendengar “la yu’tabaru qoulu mujtahidin ‘an khosmihi, darul mafasid muqoddamun”.
- Menjaga tradisi santri dan pesantren
Tradisi santri dan pesantren adalah pendidikan, budaya, dan ekspresi keagamaan yang khas dan diwariskan secara turun-temurun. Bahkan menurut Gus Mus, keilmuan di dunia pesantren sanadnya sampai pada Rasulullah SAW. Ini semua perlu dipertahankan. Alih-alih membuang tradisi positif yang dikira kolot, justru kita terjerumus pada budaya yang idiot. Meninggalkan hafalan pelajaran, sorogan dan bandongan, dan lain sebagainya. Digantikan metode-metode instan adalah malapetaka bagi pendidikan pesantren, yang berujung menjauhkan para santri dari para ulama salaf yang mberkahi dan tentunya berkarakter.
Tujuan dari menjaga tradisi ini adalah sebagai solusi dari pendangkalan ajaran agama, yang disebabkan jauhnya kita dari para ulama salaf, yang ahli dalam memahami ajaran agama dan “membumikan” dalam konteks nyata di lingkunganya. Karena mereka tidak terjebak dalam pemahaman parsial, yang disinyalir sebagai titipan orientalis ataupun orang yang tidak bertanggung jawab dan menghendaki Islam berubah dari rahmat menjadi laknat.
Hal ini tentu tidak mudah, karena permasalahan yang muncul ditambah dengan perkembangan zaman, menyebabkan munculnya beberapa kasus yang belum ditemukan dalam tradisi pesantren. Di samping itu, diperlukan kontekstualisasi ajaran agama dengan konteks keindonesiaan dan kekinian, sebagaimana maklum bahwa khazanah keilmuan dunia pesantren adalah produk abad pertengahan dan bukan dari Indonesia.
**
Akhirnya, “paku” harus kuat dengan pukulan dan hantaman keadaan yang bertubi-tubi, karena itu semua dalam rangka mewujudkan cita-cita persatuan. Sebagaimana paku, semakin besar posisi santri semakin besar pula ujiannya, karena paku yang besar membutuhkan palu yang besar pula. Dan sudah saatnya santri memegang predikat “mundzir” atau pemberi peringatan sebagaimana dalam al-Qur’an “liyundziru qoumahum idza roja’u ilaihim”, memberi pencerahan dan peringatan pada kaumnya, bukan menjadi momok dan penyakit masyarakat.
Tulisan ini dimuat dalam MAHA Media edisi 34