Jihad Santri: Antara Nasionalisme dan Fanatisme Beragama
Jihad Santri: Antara Nasionalisme dan Fanatisme Beragama
Oleh: Khuzaimatul Baroroh*
Santri identik dengan ketaatan dan ketawadlu’an. Tentunya di pondok pesantren, kiai juga mengajarkan tentang jihad. Sebagaimana yang dilakukan santri KH. Hasyim Asy’ari dalam tragedi 10 November 1945. Para santri melakukan perlawanan terhadap kolonial Inggris yang berpusat di Surabaya. Perlawanan yang dilakukan para santri ini tidak lain atas perintah KH. Hasyim Asy’ari. Jika kita perhatikan lagi dalam kasus ini, ada beberapa spekulasi mengenai jihad yang dilakukan santri dalam membela negara. Pertama, apakah jihad yang dilakukan santri dalam membela negara merupakan bentuk fanatisme beragama? Kedua, apakah aksi bela negara santri KH. Hasyim Asy’ari timbul karena ketawadlu’annya kepada kiai atau murni sikap nasionalis?
Terkadang kita mendengar seseorang melontarkan kata “fanatik” kepada muslim yang menjalankan ajaran Islam secara ketat dan hati-hati. Sebetulnya, apa definisi fanatik itu?
Fanatic diartikan sebagai adhering strickly to a religion yang artinya mendukung penerapan nilai-nilai agama secara ketat. Jadi, fanatik dalam beragama adalah sebuah keharusan. Yang dilarang adalah fanatisme dalam beragama, yaitu memaksakan pemahaman atas nilai agama kepada orang lain. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW, “Bukan termasuk golongan kami (kaum mukminin) orang yang mengajak kepada fanatisme, atau membunuh karena fanatisme, atau mati dalam keadaan fanatisme” (HR. Abu Dawud dari Jabir). Namun, kita pun jangan terjebak pada opini yang mendiskreditkan dakwah sebagai sebuah pemaksaan terhadap keberagamaan seseorang. Dakwah adalah sebuah kewajiban setiap Mukmin, bukan sebuah fanatisme. Jadi, fanatik beragama adalah suatu paham yang sangat yakin terhadap satu agama sehingga dapat menimbulkan ketaatan dan kesungguh-sungguhan dalam menjalankan agama tersebut.
Sedangkan pengertian dari nasionalisme adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan dan kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan. Sikap mencintai bangsa sendiri disebut dengan nasionalis.
Jika kita melihat kebelakang di masa penjajahan kolonialisme Inggris pada tahun 1945 setelah Indonesia merdeka, banyak terdapat aksi-aksi bela negara yang dilakukan oleh rakyat Indonesia termasuk diantaranya ialah para kiai dan santri-santrinya dengan seruan jihadnya.
Pada masa itu KH. Hasyim Asy’ari berusaha mengumpulkan para kiai se-Jawa dan Madura dengan tujuan untuk mendiskusikan hukum mengenai usulan Bung Karno tentang berjihad membela negara yang notabene-nya bukan negara islam seperti Indonesia.
Jihad merupakan salah satu ajaran yang terkandung dalam agama islam dalam membela negara dan merupakan perwujudan fanatik beragama yang berhubungan dengan nasionalisme umat islam. Rasyid Ridha pernah menyampaikan fatwanya tentang nasionalisme. Diambil dari kata ‘ashabiyyah(عصبيّة) yang memiliki arti semangat golongan. ‘Ashabiyyah berasal dari kata “isba“, kaum dimana seseorang tumbuh dan berkelompok, yang melindungi dan membelanya, apa pun alasannya. Bagi Ridha, islam melarang ta’ashub (fanatisme kelompok) ketika mereka menjadi penindas terhadap individu atau kelompok lain. Bagi Ridha, ‘ashabiyah yang dilarang Nabi adalah membela kelompoknya sendiri yang melakukan penindasan. Namun ketika satu kelompok ditindas atau diserang kelompok lain, maka mereka wajib membela diri (jihad), dan itu bukanlah ‘ashabiyah. Jadi, bagi Rida, ‘ashabiyah yang dilarang itu fanatisme kelompok untuk menyerang atau menindas pihak lain, seperti ‘ashabiyah kaum Aus dan Khazraj.
Mengenai nasionalisme, Ridha mengatakan dalam Bahasa Arab, yang jika diterjemahkan secara verbatim kira-kira begini: “Gagasan tentang nasion itu tak lain adalah persatuan suatu tanah air tertentu–mungkin mereka saling berbeda agama, bekerjasama mempertahankan kemerdekaan negeri, dan memajukan kemakmuran bersama—ide semacam itulah yang muncul di Mesir dan Indonesia. Menurut islam, adalah tugas umat muslim untuk membela siapapun—baik muslim atau nonmuslim yang hidup di dalam wilayahnya, dan memperlakukan non-muslim secara adil.
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa jihad membela negara dari kedzaliman (penjajahan) adalah wajib, baik dilakukan oleh negara yang menganut hukum islam maupun negara republik seperti Indonesia. Sehingga dari diskusi yang dilakukan oleh para ulama yang di antaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, KH. Hasan Abdullah, dan segenap kiai utama NU se-Jawa dan Madura melahirkan tiga rumusan penting yang di sebut dengan istilah Resolusi Jihad.
Seruan Resolusi Jihad ini memiliki pengaruh yang besar dalam menggalang umat islam khususnya untuk berjuang mengangkat senjata melawan kehadiran Belanda setelah diproklamirkannya kemerdekaan. Seruan ini juga diyakini memiliki sumbangan besar atas pecahnya Peristiwa 10 November 1945 yang terkenal dan kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan. Soetomo atau terkenal dengan panggilan Bung Tomo, pimpinan laskar BPRI dan Radio Pemberontakan, yang sering disebut sebagai penyulut utama peristiwa 10 November diketahui memiliki hubungan yang dekat dengan kalangan islam.
Apabila jihad dikaitkan dengan fanatik beragama, maka sesuai dengan ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (208)
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 208)
Al-Hafidl Ibnu Katsir menerangkan tafsir ayat tersebut sebagai berikut: Allah Ta’ala memerintahkan para hamba-Nya untuk beriman kepada-Nya dan membenarkan risalah utusan-Nya agar mereka melaksanakan seluruh kewajiban dan syariat islam, menjalankan segala perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.” Maka tidak heran jika para ulama, kiai, dan santri mereka dapat melakukan aksi bela negara, karena dalam islam diajarkan paham jihad fii sabiilillah.
Jihad dapat dikatakan sebagai salah satu wujud dari fanatisme beragama. Jika santri, mujahidin dan kiai tidak fanatik dalam beragama, maka tragedi 10 November mustahil terjadi. Karena jihad adalah wujud nyata seorang muslim yang melaksanakan ajaran agama islam secara totalitas. Tentunya fanatik di sini bernilai positif. Sedangkan fanatisme yang tercela, menurut Prof. Yusuf Qaradhawi adalah jika seseorang membela secara membabi buta terhadap keyakinannya, madzhabnya, pemikirannya, pendapatnya, kaumnya, dan kelompoknya, sehingga ia tidak mau melakukan dialog dengan orang yang berbeda dalam prinsip-prinsip dasar maupun variabel cabang dengannya. Atau jika ia menutup semua pintu rapat-rapat dari setiap orang yang hendak mendekat kepadanya, dan ia hanya mau menghadapi mereka dengan pedang.
Menurut Ibnu Taimiyah, fanatisme seseorang secara mutlak pada suatu kelompok merupakan perbuatan kaum jahiliyah. Ini jelas dilarang dan dicela. Berbeda dengan perbuatan mencegah orang dzalim atau membantu orang yang didzalimi, tanpa didorong oleh permusuhan, maka itu adalah baik, bahkan wajib hukumnya. Tak ada kontradiksi antara hal tersebut dengan ungkapan hadits, “Tolonglah saudaramu yang mendzalimi dan yang didzalimi.” Menolong yang didzalimi kita sudah paham, sedangkan menolong yang mendzalimi adalah dengan cara mencegah orang tersebut berbuat dzalim.
Definisi fanatisme di atas amat penting untuk dipahami. Sebab sebagian orang ada yang menganggap siapapun yang memiliki komitmen keagamaan yang tinggi sebagai orang fanatisme. Khususnya, jika ia berpegang teguh pada tuntunan perilaku yang ditinggalkan oleh kebanyakan orang. Seperti jihad yang dilakukan para santri, mujahidin, dan kiai dengan berperang melawan kolonialisme.
Bahwa jihad itu tidak harus dengan kekerasan. Bentuk sikap jihad dapat menyesuaikan keadaan dan zaman. Jihad dengan berperang merupakan bentuk nasionalis, tentu berlaku pada zamannya yaitu ketika zaman penjajahan. Sedangkan di zaman modern ini yang sudah terbebas dari kolonialisme, kita dapat berjihad membela negara dengan membangun dan menyebarkan kebaikan, memakmurkan negara beserta warganya, itu termasuk nasionalis.
Bagi kalangan muslim, agama dan nasionalisme tidak bertentangan. Bahkan sebaliknya, islam mengajarkan rasa cinta kepada Tanah Air serta ketundukan kepada pemerintah selama ia tidak melenceng dari syariat Islam.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa jihad merupakan wujud nyata dari sikap bersungguh-sungguh (fanatik) dalam melaksanakan ajaran agama yang berimplikasi pada sikap nasionalis. Dan ketawadlu’an santri juga termasuk dalam kesungguhan dalam beragama dan sama-sama berimplikasi pada rasa cinta kepada tanah air. Karena hanya dari pemahaman yang sungguh-sungguh dalam beragama saja yang mampu melahirkan jiwa nasionalis.
*Mahasantri angkatan 2015
Tulisan ini dimuat dalam MAHA Media edisi 34