Memilih Imam Shalat, Pandai Fikih atau Hafal Al-Qur’an?
Memilih Imam Shalat, Pandai Fikih atau Hafal Al-Qur’an?
Pada zaman ini, tak jarang kita temui di beberapa masjid besar perkotaan yang menjadi imam salat adalah para penghafal Al-Qur’an yang bersuara merdu, tanpa memerhatikan apakah seorang imam pandai fikih atau tidak dan dengan tanpa memandang umur, selama ia hafal Al-Qur’an dan memiliki suara yang merdu maka ia akan dipilih untuk menjadi imam salat di masjid tersebut. Padahal, di dalam memilih imam salat ada beberapa kriteria-kriteria tertentu yang perlu diperhatikan.
Namun, ketika di dalam memilih imam salat dan masing-masing dari kedua calon imam memiliki kredibilitas tertentu, yang satu ahli fikih dan yang satunya lagi penghafal Al-Qur’an, maka siapakah yang didahulukan untuk menjadi imam salat? Rasulullah Saw dalam hadisnya bersabda :
وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَأَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ كِلَاهُمَا، عَنْ أَبِي خَالِدٍ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ : حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ رَجَاءٍ، عَنْ أَوْسِ بْنِ ضَمْعَجٍ، عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَائَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَ فِي رِوَايَةٍ: سِنًّا، وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ. [رواه مسلم]
Rasulullah SAW bersabda: “Yang mengimami suatu kaum, hendaklah yang paling baik bacaan kitab Allah (Al-Quran) nya. Jika di antara mereka itu sama, maka hendaklah yang paling tahu tentang sunnah, dan apabila di antara mereka sama pengetahuannya dalam Sunnah, hendaklah yang paling dahulu berhijrah, dan apabila di antara mereka sama dalam berhijrah, hendaklah yang paling dahulu memeluk Islam. Dalam riwayat lain disebutkan “Yang paling tua usianya. Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya”. (HR.Muslim No: 673).
A. Takhrij Hadis
No. | Muallif | Kitab | No. Hadis |
1. | Imam Muslim | Sohih Muslim | 673 |
2. | Abi Dawud | Sunan Abi Dawud | 582 |
3. | Imam Al-Turmudzi | Sunan Al-Turdmuzi | 235 |
4. | Imam An-Nasa’i | Sunan An-Nasa’i | 780 |
5. | Imam Ibnu Majah | Sunan Ibnu Majah | 980 |
6. | Imam Ahmad Bin Hanbal | Musnad Ahmad | 17063 |
B. Hukum Hadis
Hadis ini tergolong hadis shahih, karena masing-masing perawi mencapai pada derajat tsiqah dan antara masing-masing perawi terkonfirmasi adanya hubungan guru dan murid.
C. Bagan Sanad
D. Syarah Hadis
Hadis di atas dijadikan dalil oleh mazhab Abi Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam pendapatnya yang mengatakan orang yang hafal Al-Qur’an lebih didahulukan menjadi imam dari pada orang yang pandai dalam masalah fikih. Sedangkan Imam Malik dan Imam Syafi’i dalam mensyarahi hadis ini berpendapat bahwasanya orang yang pandai fikih lebih didahulukan menjadi imam daripada orang yang hafal seluruh Al-Qur’an. Sebab kebutuhan akan fikih jauh lebih penting, karena kewajiban yang berkaitan dengan Al-Qur’an dalam salat sangat terbatas, sementara permasalahan hukum fikih di dalam salat tidak terbatas. Hal itu juga berlandaskan dari Rasulullah Saw yang lebih mendahulukan Sahabat Abu Bakar RA daripada sahabat yang lain dalam hal mengimami salat meski kenyataannya ada Sahabat yang lebih baik hafalannya. (Syarh Nawawi ‘Ala al-Muslim)
E. Aktualisasi Hadis
Dari hadis Abi Mas’ud di atas jika dilihat dari segi literal maka akan dipahami bahwasanya yang lebih diprioritaskan untuk menjadi seorang imam adalah orang yang hafal Al-Qur’an. Namun, jika hadis tersebut dilihat dari sisi kontekstualnya maka ada perbedaan pendapat di antara para ulama, Imam Abi Hanifa dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa orang yang hafal Al-Qur’an lebih didahulukan menjadi imam dari pada orang yang pandai dalam masalah fikih.
Sedangkan Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwasanya orang yang pandai fikih lebih didahulukan menjadi imam daripada orang yang hafal Al-Qur’an. Namun pendapat yang paling sahih adalah pendapat yang lebih mendahulukan ahli fikih dari pada orang yang hafal Al-Qur’an.
Sebagaimana penjelasan Imam Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj bahwasanya menurut pendapat yang lebih sahih, orang yang pandai fikih dalam bab salat meskipun tidak hafal Al-Qur’an lebih didahulukan daripada orang pandai bacaan dan hafal seluruh Al-Qur’an. Sebab kebutuhan akan fikih jauh lebih penting, karena kewajiban yang berkaitan dengan Al-Qur’an dalam salat sangat terbatas, sementara permasalahan hukum fikih di dalamnya tidak terbatas.
Hal ini juga berlandaskan dari Rasulullah SAW yang lebih mendahulukan Sahabat Abu Bakar RA daripada sahabat yang lain dalam hal mengimami salat meski kenyataannya ada Sahabat yang lebih baik hafalannya.
Sebab fakta pada zaman Rasulullah SAW, seluruh sahabat Nabi lebih dulu belajar fikih kemudian menghafal Al-Qur’an. Sehingga sahabat yang hafal Al-Qur’an sudah pasti pandai fikih. Bahkan pada zaman tersebut, tidak ada seorang penghafal Al-Qur’an yang tidak pandai fikih. Namun yang lebih dianjurkan untuk menerapkan kandungan hadis di atas adalah masjid-masjid besar perkotaan yang memiliki manajemen khusus. Misalnya, masjid Istiqlal Jakarta, atau masjid Nasional Al-Akbar Surabaya dan yang lainnya. Sedangkan untuk masjid-masjid yang ada di perkampungan atau pedesaan boleh saja untuk tidak menerapkan kandungan hadis di atas, baik itu karena minimnya orang di kampung tersebut atau karena adanya kendala lain. Wallahu a’lam.
Comment (1)
Hesbullah
Terimakasih atas pencerahan ilmunya